Tampilkan postingan dengan label perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perjalanan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Mei 2014

I Come Back Because I Love You

I travel because I have to. I come back because I love you.
Ini ceritaku beberapa tahun yang lalu. 2 Januari 2010, aku ingat betul, hari itu menjadi kesempatanku mengalami penerbangan internasional pertamaku. Transit pertama di bandara Changi, Singapura. Dalam benakku, bandara ini sangat bersih teratur dan sangat besar. Sekitar 2 jam aku menunggu penerbangan selanjutnya. Selanjutnya aku harus duduk tenang selama sekitar 14 jam penerbangan ke arah barat laut Indonesia. Lalu Frankfurt, dan kemudian sampailah aku dan 23 temanku ke kota tujuan. Berlin, Ibu Kota Jerman.
Converse kenangan
Sepatu Kenangan














Kali itu aku berkesempatan pergi ke Jerman, gratis. Aku berhasil lolos tes untuk mengikuti Winter Course, kelas belajar bahasa Jerman selama sebulan di Berlin. Bersama sekitar 60an orang dari 9 negara, kami semua belajar bersama, bermain bersama.

Satu bulan aku tinggal di Berlin, di sebuah rumah yang memang didesain menjadi semacam asrama. Ada ruang aula kecil, ruang makan bersama, ruang hiburan, bar mini dan kamar-kamar untuk tinggal.
Sebenarnya aku sedikit mengharapkan melihat warna-warna indah dari bunga-bunga yang tumbuh di Eropa. Aku berharap melihat pemandangan-pemandangan yang aku biasa lihat di televisi saja. Lewat layar lebar atau gambar-gambar di Google. Sedangkan yang aku dapat hanya warna putih bersih.

Tentu saja, karena aku datang di saat musim dingin. Saat salju turun dan semua orang memakai pakaian hingga lapis 5. Tapi aku tidak kecewa, mana mungkin aku bisa lihat salju turun di Indonesia. Harusnya aku bisa lebih bangga karena pernah menginjak salju licin yang hampir meleleh.

Rasanya menyenangkan bisa berkesempatan datang ke negeri yang jauh. Berkesempatan untuk belajar tentang Negara yang pernah menjadi Negara fasis itu. Waktu itu aku sempat datang ke sebuah tempat bernama Sachsenhausen. Berkunjung ke sana adalah salah satu peristiwa yang sampai sekarang aku masih ingat rasanya seperti apa. Suram, hitam, takut, gelap. Tempat itu adalah bekas Kamp Konsentrasi Nazi. Tempat di mana ratusan, mungkin ribuan orang Yahudi ditahan, diperintah kerja paksa, dan dibunuh. Tempat dan pemikiran akan Sachsenhausen waktu itu juga jadi bumbu dalam bahan penelitianku untuk tugas akhir kuliahku saat ini.
Bukan Ini
Bukan Ini


Sebenarnya dari semua pengalaman tersebut, momen di akhirlah yang membuatku paling merinding. Bukan pendaratan pertama di tanah Eropa. Bukan punya banyak teman dari seluruh penjuru dunia. Bukan datang mengunjungi KBRI di Berlin. Bukan makan sosis babi sepanjang 20cm. Tapi peristiwa pulang ke Indonesia.

Momen di saat aku melihat hijaunya sawah dan birunya laut dari atas pesawat, setelah satu bulan hanya putih salju saja sejauh mata memandang. Ini kepulangan pertamaku dari pergi jauh. Jadi dari mulai saat itu aku selalu ingin pergi jauh untuk kembali merasakan indahnya pulang.

Pulang menurutku bukan hanya sekadar kembali ke rumah, ke bangunannya. Pulang lebih merujuk pada kembali pada suatu situasi yang nyaman. Setiap orang punya “rumahnya” masing-masing. Setiap orang pasti rindu pulang. Paling sederhana, ketika kamu lelah berada di kampus. Bertemu dengan dosen killer, bertemu dengan teman berisik, bertemu dengan tumpukan tugas yang harus kamu kerjakan. Ketika kamu pulang ke rumah, ke kos atau mungkin bertemu dengan seseorang yang jadi “rumah” bagimu pasti ada rasa aman, nyaman, tenang.

Banyak orang bilang kalau kamu tidak akan merasa memiliki sesuatu sampai kamu kehilangannya. Itu benar. Tapi ketika kamu berhasil menemukan kembali hal yang hilang itu rasanya kamu akan terus menjaganya dengan sekuat tenagamu, dengan segenap hatimu, dengan seluruh jiwa dan ragamu.
Aku punya saran buatmu. Coba rasakan pergi jauh, dan renungkan saat kamu rindu. Buat dirimu kehilangan dulu, kehilangan rasa Indonesia, lalu temukanlah lagi. Rasakan saat kamu bisa pulang. Semacam ada letupan-letupan kegembiraan dalam dadamu yang ingin membuncah keluar. Terbang sebebas-bebasnya menelusuri seluruh bagian dari rumahmu.

Kepergianku sampai ke Jerman waktu itu betul menyadarkanku kalau I.N.D.O.N.E.S.I.A adalah rumah bagiku. Bahwa keindahan dan keteraturan yang ditawarkan oleh negara lain tidak akan mengurangi kebanggaanku pada tanah airku.  Tempat di mana tali pusarku ditanam, tempat di mana darah pertamaku teresap dalam tanah. Lengkap dengan bau hujan bertemu tanah dan laut biru luas membentang.
Pulau Sempu, Jawa Timur
Pulau Sempu, Jawa Timur
Museum Mandiri, Jakarta
Museum Mandiri, Jakarta
Laut Aru, Kaimana, Papua
Laut Aru, Kaimana, Papua Barat
Kaimana, Papua Barat
Senja Kaimana, Papua Barat
Stadion Triton, Kaimana, Papua Barat
Stadion Triton, Kaimana, Papua Barat
*Keterangan foto : Pulau Sempu oleh Wawan Kristianto, Stadion Triton oleh Jason Iskandar, sisanya oleh Suryo Hapsoro

Jumat, 24 Februari 2012

Warna Cinta Alam

Pantai sadranan, pantai indrayanti membuktikan lagi satu pendapatku tentang alam. Menurutku, alam tidak pernah gagal memadukan warna warna jadi satu kombinasi yang indah. Biru muda, biru tua dan biru langit bisa begitu indah berpadu dengan coklat kayu, hijau rumput laut dan sedikit abu-abu mendung. Apalagi yang bisa didefinisikan untuk menyebut indah?

Semacam begitu banyak cinta yanga dicurahkanNya untuk menciptakan alam ini. Dan kemudian memang ada begitu banyak cinta yang tercipta di dalamnya. Seperti hanya bahagia yang ditawarkannya padaku hari ini. Padaku dan pada orang lain yang mungkin juga bahagia karena alam.

Aku selalu suka dengan langit dan pantai, aku suka dengan gunung dan awan. Mereka begitu banyak memberikan kedamaian dan kebahagiaan ketika memang kita mau meluangkan waktu untuk menghargainya, menikmati keindahannya.

Karena alam memang indah atau mungkin juga segala hal bisa jadi indah? Mungkin panasnya kota, dengan asap abu-abu dan warna warni sampah pun bisa jadi indah kalau kita benar-benar mau menikmatinya? Sedikit sulit, tapi aku tak yakin kalau alam membiarkan dirinya tidak lagi dipenuhi cinta. Atau mungkin manusia yang tidak punya cukup cinta untuk dibagi kepada alam ini sebagaimana alam pada manusia sehingga manusia tidak lagi bisa menikmati segala sudut yang ada di alam ini.

Diawali dengan sedikit saja setitik noda di sudut alam yang mulai tidak bisa dinikmati oleh manusia. Bukannya menghapus titik itu, malahan menjadikannya bercak yang semakin besar. Akibatnya kemudian manusia harus meluangkan waktu untuk benar-benar mencari sudut yang tidak terkena bercak tanpa cinta manusia tersebut. Manusia semakin sulit untuk menemukan keindahan bersama alam, bersama yang mencintainya.

Aku tak tahu apakah memang cinta itu semakin langka, atau mungkin sampai pada saatnya nanti cinta hanya jadi mitos. Yang jelas aku seperti ditunjukkan bahwa sesungguhnya cinta tak berbalas itu dapat terus dijalankan oleh alam ini.
Maaf, dan terimakasih atas warnaMu.

11/2/2012

Rabu, 17 Agustus 2011

Merah Putih di Puncak Merapi

Hari ini tanggal 17 Agustus 2011. Biasanya saya tidak pernah tertarik dengan upacara bendera atau sekadar mengibarkan bendera di depan rumah. menurut saya, nasionalisme tidak selalu harus dipupuk dengan cara upacara, atau nasionalisme juga tidak hanya sekadar mengibarkan bendera di depan rumah tiap acara 17an. 

Berbeda dengan ulang tahun Tanah Air tercinta kali ini. Ajakan dari seorang teman untuk mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Merapi sangat membuat saya tertarik. Saya belum pernah sekalipun pergi naik gunung, tentunya sebelum hari ini. Dan tawaran untuk membuat kali pertama naik gunung sambil merayakan hari ulang tahun negeri ini adalah hal yang sulit untuk ditolak. 

Mulailah saya mendaki Merapi bersama dengan 4 teman yang lain pada tanggal 16 Agustus siang menjelang sore hari. Pemandangan alam dari ketinggian adalah selalu membuat saya kagum. Kagum dengan keindahan dan takut dengan kekuatan alam (dan tentu takut ketinggiannya)

Jalan yang kami lalui kebanyakan adalah jalan setapak yang berbatu, yang menjadi agak berbeda adalah debunya yang sangat banyak, terlalu banyak bisa dibilang.  Karena memulai pendakian saat matahari masih bersinar cukup kuat, makanya kami cukup sering berhenti, sekadar ingin bersembunyi dari curahan sinar matahari.

Hari menjelang gelap dan kami memutuskan mendirikan tenda dekat gua batu, sesuai dengan saran teman yang belum lama yang lalu mendaki merapi juga. Hangat di dalam gua itu, tapi yang menyedihkan adalah orang yang memakai gua itu sebelum kami tidak membersihkan sampahnya. Masih berserakan bungkus kertas bekas nasi, bungkus mie instan, dll.  

Tepat di hari ulang taun kemerdekaan Negara ini, saya disuguhkan lagi lagi dengan keindahan alam Indonesia. Lepas dari segala berita tentang Indonesia yang tidak jauh-jauh dari korupsi, tawuran, berebut pengaruh, perkosaan, perusakan, dll. Jarang bisa merasa tambah cinta tanah air hanya dengan mengikuti berita dari mana pun.

Merenung di gunung membuat saya jadi lebih bisa mencintai negeri ini. Terlalu sering diberi pengetahuan tentang kebobrokan negeri tidak nyaman buat saya sendiri. Makanya, kan ada baiknya kalau bisa menggali sendiri bagian dari Indonesia yang bisa dicintai, bukan korupsi, bukan tawuran, dan bukan pemaksaan keseragaman.

Mengibarkan bendera Merah Putih di puncak merapi jadi puncak kegembiraan saya juga selama perjalanan dua hari ini. Melihat alam terbentang di bawah gunung rasanya saya ingin berusaha lebih menghargai lagi negeri yang sudah jadi tempat tumbuh dan berkembang saya selama ini. Melihat banyaknya lagi orang-orang yang masih bertujuan sama, mengibarkan Merah Putih di puncak Merapi, menunjukkan masih banyak juga yang ingin menggali sesuatu untuk mencintai negerinya ini.

Semoga saya semakin banyak menemukan alasan untuk makin cinta dengan Indonesia dan bisa ikut serta dalam perkembangannya menuju semakin baik. Dan saya yakin bisa!

17 Agustus 2011, Selamat Ulang Tahun Indonesia

puncak di belakang itu tujuaanya
The Team
udah deket tempat camp, hari 1
di camp, mau pulang, hari 2



Kamis, 04 Agustus 2011

Memanggil Semua Bertamasya


 “Nyiur melambai di tepi pantai. Menghias indah wajah Tanah Airku. Siulan burung di puncak bambu Berirama pujaan tumpah darahku. Sawah ladang luas Lenggang padi kuning berayun. Memanggil semua bertamasya. Memuja alam Indonesia. Sungguh indah pemandangan Tanah Airku”

Baru saja aku menyelesaikan perjalanan berwisataku bersama dengan 6 teman yang lain. Kali ini destinasi utamanya adalah Pulau Karimunjawa. Sebuah pulau kecil, 6 jam perjalanan laut dengan KM Muria dari Jepara.

Herzlich Willkommen

Perjalanan laut selama 6 jam menuju jepara serasa neraka menurutku. Gelombang yang besar, ditambah lagi kapal yang penuh sesak sehingga harus berada di atas kapal, di tengah terik matahari. Bukan suatu perjalanan yang cukup bisa dinikmati.

Wisata di Karimunjawa adalah wisata kepulauan, jadi banyak pulau kecil di sekitarnya yang memiliki pantai yang sangat indah. Laut di sekitar Karimunjawa juga bukan laut dalam, sehingga menjadi tempat yang cocok untuk ber-snorkling ria.

Sudah banyak cerita tentang keindahan Pulau Karimunjawa. Aku juga tidak menyangkal bahwa Karimunjawa adalah tempat yang indah. Sangat indah malahan. kalau ditanya orang, “gimana Karimun?” jawabanku seperti ini, “pantainya kayak pantai indah yang selalu kamu bayangkan. Pasir putih, laut biru dengan gradasi warnanya, pohon kelapa. Pokoknya kamu bayangkan aja pantai indah menurutmu gimana, nah itu Karimun.”

Karimunjawa punya spesies ikan yang cukup lengkap. Sepertinya itu karena ada pertemuan arus dingin dan panas di sekitarnya. Aku merasakan sendiri waktu snorkling di sekitar pulau tengah. Air laut yang dingin dan hangat bergantian mengalir menuju badanku. Karena pertemuan arus itu maka plankton, yang jadi makanan ikan banyak hidup di sana. Ikan hias yang biasanya hanya bisa dilihat dalam akuarium, sekarang aku pernah berenang di sebelahnya.

Aku tidak merasa cukup perlu menggambarkan eloknya alam di sana. Sepertinya juga kata-kata kurang bisa menggambarkan. Kalau kamu mau tahu keindahannya ada satu caranya, datanglah sendiri ke sana! Rasakan sensasi perjalanannya, cipratan air asin di ambang kapal, udara laut minim polusi, angin laut yang menggoyang nyiur, dan masih banyak lainnya.

Cocok dengan yang disampaikan dari peribahasa “berakit rakit ke hulu, berenang renang ketepia. Bersakit sakit  dahulu, bersenang senang kemudian.”  Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, Karimunjawa seperti surga keindahan dunia. Warnanya, suasananya, auranya semuanya menyenangkan.

Satu hal yang aku sadari ketika melakukan perjalanan ini. Kekagumanku terhadap alam, antara terpesona dengan keindahannya dan takut akan kekuatannya. Lautan, gelombangnya menunjukkan gerak dinamis yang kamu juga pasti akan bisa menikmati keindahannya. Tapi ketika di dalam kapal dan terombang-ambing gelombang itu, kamu bisa merenung betapa mudahnya gelombang menggulung kapalmu itu.
Indonesia masih menyimpan kekayaan akan keindahan alam yang masih belum pernah aku singgahi. 

Karimunjawa seperti langkah pertama yang terus jadi dorongan buatku untuk menjelajah negeri ini. Semoga saja masih ada waktu dan masih ada kesempatan untuk jadi petualang. Menapaki setiap langkah di tempat baru, bertemu dengan orang dengan budayanya yang beragam, dan terus menambah kekaguman akan karya-Nya yang luar biasa indah yang jangan sampai dirusak oleh manusia.

Dan keindahan Karimunjawa memang memanggil semua untuk bertamasya.

*foto oleh : Benno Lintang Abhinawa, Diptya Lalita, dan saya sendiri

ini saya

biru sejauh mata memandang

Pulau Gosong. Luasnya 2m x 10m di tengah laut
main air

Bintang Laut merah di pasir putih

resort disewakan. Rp 500.000 per malam
mengembalikan alat sehabis bakar ikan di pantai

berenang di kolam hiu









Senin, 02 Mei 2011

Berbagi dalam Kekurangan


Masih tentang pengalaman saya di Cilacap, masih tentang sebuah desa nelayan di seberang Pulau Nusakambangan. Kali ini saya ingin bercerita tentang pengalaman yang membuat saya sangat tersentuh. Pengalaman tentang berbagi, tentang kesederhanaan, dan tentang kasih sayang.

Ini tentang sebuah keluarga. seorang suami, Pak Ismail atau yang lebih suka dipanggil Pak Gendut atau Pak Jenggot. Istrinya yang bernama Bu Wiji, dan seorang anak laki-laki berumur 11 tahun, Fais. Mereka tinggal di sebuah gubug reyot dalam arti yang sesungguhnya. Gubug itu hanya terbuat dari anyaman bambu, atau yang disebut gedheg. Atapnya juga bukan terbuat dari daun kering yang kalau hujan lebat tidak kuat menahan derasnya laju air hujan untuk masuk ke dalam. Bukan bocor lagi namanya, lebih mirip hujan dalam rumah.

Untungnya mereka dipercaya untuk menjaga sebuah depot tempat distribusi ikan hasil tangkapan nelayan. Depot itu lebih mampu melindungi penghuninya dari hujan, jadi jika hujan lebat mereka bertiga memilih untuk tidur di sebuah kamar kecil di depot tersebut.

Awal pertemuan dengan Bu Wiji dan Pak Gendut, saya merasa tsayat dengan mereka. Pak Gendut dengan kulit hitam khas nelayan, jenggot tebal dan rambut gondrong, di lengannya masih tersisa bekas tato yang sudah mulai memudar, tanpa baju sambil memegang rokok kretek di tangannya. Saya pikir awalnya dia adalah seorang preman dermaga, karena tempat pertemuan saya memang di dermaga.

Bu Wiji juga tidak kalah sangar. Perempuan gendut, lusuh rambut panjangnya selalu diikat melingkar ke atas dan juga merokok. Berkulit hitam, mungkin memang karena pengaruh matahari yang tidak bersahabat di Cilacap.

Ketika bertemu mereka sedang duduk-duduk bersama beberapa warga lain yang tidak kalah sangar di pinggir dermaga, dekat dengan timbunan sampah. Tatapan awal dari orang-orang ini juga benar-benar tidak ramah. Coba bayangkan! Mungkin kalau teman-teman yang ada di posisi saya juga merasa tsayat.

Saya dan empat teman saya, semuanya laki-laki, melewati kumpulan orang-orang ini. Kami ingin menuju ke dermaga dan melihat-lihat lingkungan sekitar. Ketika kami berbelok di satu jalan setapak, Bu Wiji ini berteriak, “Mas, jangan lewat sana. Itu buntu jalannya, balik lagi lewat sini aja.” Inilah awal perbincangan panjang dengan keluarga Bu Wiji.

Saya memberanikan diri membuka perbincangan dengan mereka. Saya bertanya tentang ikan yang sedang langka, dia bertanya kami dari mana. Sampai kami diajak masuk ke depot yang mereka jaga. Begitulah awalnya hingga hampir setiap hari selama di Cilacap, kami bermain sambil berbincang di depot tersebut.

Banyak sekali cerita yang disampaikan oleh Pak Gendut dan Bu Wiji. Pak Gendut bercerita sekitar tahun lalu ia pernah mengalami kapal karam. Selama sehari semalam dia bertahan di laut lepas hanya berpegangan pada bangkai kapal yang terbalik itu. Katanya dari 12 orang yang ada di kapal itu, yang bisa selamat kembali ke darat hanya 11 orang saja. Satu orang hilang sebelum sempat diselamatkan.

Pak Gendut ini juga bercerita tentang masa lalunya, sekitar tahun 1992-1995. Sebelum menikah dengan Bu Wiji, Pak Gendut pernah bekerja sebagai penangkap lumba-lumba di kapal milik peneliti dari Australia. Dari ceritanya, saya berpikir bahwa Pak Gendut ini bisa saja kaya sampai sekarang. Waktu bekerja menangkap lumba-lumba itu, ia mendapat bayaran yang cukup besar. Gajinya Rp 50.000 sehari selama 3 tahun. Belum lagi bonus kalau mendapat lumba-lumba yang dapat dipakai penelitian Rp 100.000 per lumba-lumba. 

Bayaran itu sangat besar, mengingat makan dan hidup sudah ditanggung pemilik kapal juga harus diingat itu tahun di mana krisis keuangan belum mencapai puncaknya.

Lucunya uang itu bisa habis, lucu menurut saya. Ya, kehidupan nelayan memang keras. Setiap kali merapat selama 3 tahun tersebut, uang bayarannya bisa langsung habis. “buat foya-foya, Mas. Masih muda waktu itu”
Sekarang, Pak Gendut sudah tidak lagi foya-foya, tidak bisa. Ia jadi seorang bapak, dan suami yang bertanggung jawab. Bekerja apapun untuk membiayai hidup keluarganya. Mengantarkan anaknya ngaji, dan yang buat saya terkejut adalah Pak Gendut hafal beberapa ayat dalam Al-quran dan mengerti artinya. Sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.

Malam terakhir di Cilacap adalah malam yang membuat saya sangat terharu. Saya dan teman-teman yang selama di Cilacap berbincang dengan keluarga Pak Gendut diundang untuk “bakar-bakar ikan”. Ragil yang kebetulan bertemu di hari sebelumnya dipanggil oleh Bu Wiji “Gil, Agil.. Besok malem main ke gudang ya. Kalo dapet ikan nanti dibakarin ikan sama Pak Gendut”

Siapa yang menolak makan ikan bakar segar di pinggir dermaga di malam terakhir? Tidak ada. Tentu saja saya dan teman-teman memenuhi undangan itu.

Satu hal yang benar-benar menunjukkan kehebatan mereka sebagai seorang manusia yang utuh. Ini pikiran saya ketika diundang. Hari-hari ini adalah masanya paila atau paceklik ikan di Cilacap. Sebagai penjaga depot ikan, mereka hanya mendapat bayaran uang makan yang pasti setiap harinya Rp 10.000 saja. Nominal yang tipis dari kata cukup.

Hari itu untungnya depot kedatangan ikan tongkol cukup banyak setelah sangat lama tidak ada ikan. Mereka menyisakan 4 kg ikan tongkol untuk menjamu kami. Menjamu orang-orang baru yang mungkin belum bisa disebut “kenal”. Harga ikan tongkol itu bisa mencapai Rp 13.500 per kilogramnya. Kalikan saja 4 kg, hasilnya lebih dari Rp 50.000 kan. Andai saja ikan itu dijual kepada tengkulak, pasti mereka bisa mendapat penghasilan lebih besar. Tapi ternyata mereka ikhlas membakarkan 4 kg tongkol itu untuk kami.

Sedap sekali ikan bakar malam itu. ikan tongkol dibakar di atas tungku buatan sendiri dari kayu kering dan kulit kelapa kering. Dilumuri minyak goreng dan penyedap rasa, disajikan bersama kecap manis dengan rajangan bawang merah dan cabai. Pedas, mantap, apalagi malam itu hujan gerimis. Muka kami penuh peluh karena terlalu pedas. Sambil didongengi Pak Gendut dan Bu Wiji tentang pengalamannya selama hidup. Seru sekali mendengarkan perjalanan keras kehidupan mereka, karena logat Banyumasan-nya dan gurauan spontan yang dilontarkan.

Malam itu saya belajar tentang bagaimana berbagi yang sebenarnya. Berbagi dari kekurangannya, bukan berbagi dari kelebihan. Sampai sekarang hal itu masih sangat sulit saya lakukan sendiri. Saya masih bisa hidup enak di rumah, makan tanpa merasa sulit, tapi tetap saya masih belum mengerti bagaimana cara berbagi seperti itu. Saya bersekolah sampai perguruan tinggi dan saya harus belajar berbagi dari pasangan suami istri yang tidak pernah lulus SMP.

Mereka tidak pernah mengharap bantuan dari kami, sedikit pun tidak terlisankan keinginan itu. hanya doa dari saya untuk keluarga Pak Gendut agar kebaikan mereka mendapat balasannya apapun bentuknya. Lindungilah mereka dan biarkan mereka tetap menjadi guru untuk berbagi.

Pesan dari Sampah-Sampah


Berada di kampung nelayan di Cilacap kemarin rasanya seperti membuka satu lagi celah untuk melihat dunia nyata. Hawa tidak berahabat yang ditawarkan, keramahan dan penerimaan yang disuguhkan, serta makanan berbahan ikan segar yang disajikan mewarnai kehidupan saya selama lima hari di sana.

Sebuah desa kecil tempat tinggal nelayan yang hidup berdampingan dengan kilang minyak milik Pertamina menjadi tempat tinggal yang cukup menyenangkan selama lima hari berada di sana. Di balik semua pengalaman di Cilacap, ada hal yang membuat saya prihatin. Sampah.

Sepintas, mendengar “pesisir pantai di halaman belakang rumah” yang terbayangkan adalah laut biru muda dengan pasir putih bersih yang bisa dinikmati sambil minum kopi, duduk di kursi kayu di belakang rumah.  Tapi yang saya dapatkan ketika sampai di Cilacap adalah laut biru tua sedikit pekat, mungkin karena minyak mentah, dengan pasir hitam yang penuh sampah rumah tangga. Walaupun masih bisa duduk di kursi kayu di belakang rumah sambil minum kopi. Tapi baunya? Campuran antara bau ikan yang diasinkan dan dijemur, bau laut yang amis, bercampur dengan bau sampah seperti di TPA. Sama sekali bukan aroma yang menyenangkan, bahkan mungkin aroma neraka seperti itu.
Jemuran ikan asin
Tumpukan sampah rumah tangga pinggir di laut

Permasalahan buang sampah di belakang rumah (baca : pinggir laut) ini hanyalah masalah yang tampak di permukaan saja, ada masalah-masalah lain yang berada di dasarnya, dan lebih banyak lagi yang timbul karenanya.

Sampah-sampah di pinggir laut itu memang sengaja dibuang oleh masyarakat sekitar. Bagi mereka membuang sampah ke laut itu adalah hal yang benar. Dengan logat ngapak khas Banyumasan seorang ibu yang saya tanya tentang buang sampah di laut mengatakan “kalo sampahnya saya buang ke laut kan nanti kalo pas air pasang naik sampahnya bersih, Mas”.

Benar memang ketika air pasang naik, gelombang membawa sampah-sampah itu pergi dari tempat awal membuang sampah, tapi sampah itu hanya akan berpindah tempat saja. Tetap saja masih ada sampah yang terkumpul di pesisir dan kemudian membusuk sehingga membuat bau yang sangat tidak enak.
Masalah sebenarnya tidak hanya berhenti pada aroma saja. Masalah keindahan, kesehatan, dan kelestarian alam jadi efek lain dari sampah-sampah itu. saya sangat suka melihat pantai dan laut, tapi sampah-sampah di pesisir itu benar-benar menghancurkan kecintaan saya pada laut.

Saya sempat bertanya juga pada warga sekitar, apakah tidak ada petugas yang mengambil sampah-sampah rumah tangga tersebut. Jawaban yang saya dapatkan sangat ironis kedengarannya. Ternyata dulu ada petugas yang setiap kali bertugas mengambil sampah dari perkampungan itu. “di sini kan MCK-nya sulit, Mas. Jadi orang-orang itu kalo buang air besar dimasukin ke dalem tas plastik terus dibuang bareng sama sampah, jadi petugasnya males ngambilin sampah lagi.”

Dalam suatu kesempatan, saya berbincang dengan ketua RW setempat. Saya bertanya apakah pemerintah pernah memberikan penyuluhan misalnya untuk masyarakat agar sadar akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Jawaban yang saya terima pun sesuai dengan tebakan saya sebelum menjawab, belum pernah. Saya tidak menyalahkan pemerintah karena tidak memberikan penyuluhan tersebut karena masyarakat juga memang tidak peduli dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Menurut saya sampah di pinggir laut ini mungkin menjadi alasan paila selama 2 tahun belakangan ini. Paila adalah sebutan masyarakat sekitar untuk menyebut paceklik ikan. Selama 2 tahun ini, ikan sangat sedikit bisa ditangkap. Sangat sedikit pendapatan yang diperoleh para nelayan tersebut. Bayangkan saja nelayan yang tiap harinya menyandarkan kehidupan pada ada tidaknya ikan di laut harus bertahan dalam keadaan tidak ada ikan selama 2 tahun. Artinya selama 2 tahun itu otomatis tidak ada pemasukan bagi para nelayan.

Kalau saya jadi ikan juga pasti saya berusaha pergi menjauh dari sampah-sampah itu. baunya mengerikan, dan belum lagi sampah plastik yang mungkin saja tersangkut di insang dan membuat saya tidak bisa bernafas. Jadi tidak heran kalau 2 tahun ini paila terus berlangsung.

Sayangnya para nelayan di Cilacap itu tidak menyadari kerugian dari membuang sampah di pinggir laut tersebut. Hal itu dianggap biasa, tidak ada efek sampingnya. Coba saja masyarakat sekitar sedikit lebih peduli dengan lautnya. Laut yang menyediakan kehidupan bagi mereka sendiri. Mungkin saja ikan-ikan tidak perlu langka, mungkin saja nelayan tetap bisa melaut dan kembali dengan beberapa blong ikan tongkol segar, mungkin saja keindahan pantai dan laut tetap terjaga.

Bisa dilihat kan bahwa hal kecil seperti membuang sampah bisa berakibat pada banyak hal. Saya tidak mengerti apa sulitnya membuang sampah di tempatnya, kesulitannya juga pasti hanya berujung pada satu jawaban, malas.

Sampah-sampah di pantai Cilacap itu menyampaikan pesan pada saya bahwa lagi-lagi hal kecil bisa jadi solusi bagi hal yang lebih besar. Sampah sekecil puntung rokok pun tetap lah sampah, dan kalau tidak dibuang pada tempatnya pasti akan mengganggu, mengganggu kebersihan setidaknya.

Cerita dari Seberang Pulau Penjahat


Baru saja pulang dari Cilacap. Kota di seberang pulau penjahat. Banyak sekali hal yang saya dapatkan dalam perjalanan kali ini. Banyak pula dari pengalaman itu yang jadi bahan renungan saya yang ingin saya bagikan.
Perjalanan ini dalam rangka latihan penelitian jurusan Sosiologi UGM 2010. Sebagai mahasiswa Sosiologi, kemampuan kami untuk melihat kehidupan social secara kritis memang harus dilatih. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penelitian lapangan ini.
Selama di Cilacap saya tinggal di sebuah Desa nelayan, Sentolo Kawat, namanya. Tepatnya di kawasan sekitar RW 01. Deretan rumah kecil berdempetan, dengan ataupun tidak dengan tembok permanen menyambut kedatangan kami. Jalan tanah dan di beberapa tempat berkonblok jadi pijakan awal kami di Cilacap.
Bayangan awal saya ketika berangkat hampir semuanya terputarbalikkan. Saya sudah menduga bahwa desa yang akan saya tinggali dengan 80 teman lain ini adalah desa yang sedikit kurang layak karena bayangan saya tentang pekerjaan nelayan adalah kerja dengan penghasilan kurang juga. Kesan pertama juga sudah mendukung dugaan awal saya itu, tapi ternyata semuanya jadi terbalik karena ternyata banyak juga nelayan yang kaya.
Tempat tinggal saya saja punya televisi yang lebih besar daripada milik saya di rumah. Kamar saya dan 5 teman yang lain berada di lantai atas, mirip loteng tapi cukup besar untuk kami semua. Dan, ada televisi lainnya di dalam kamar kami. Paling menarik adalah pemandangan dari kamar, laut dalam yang dibatasai pulau Nusakambangan dan kapal tanker super besar yang mengapung di atasnya. Pemandangan yang tidak akan bisa ditemui di kota Yogyakarta.
Tapi memang nelayan kaya itu hanya segelintir dari nelayan kebanyakan. Lebih banyak nelayan yang hidup susah di Sentolo Kawat, apalagi dengan adanya paceklik ikan atau yang disebut paila selama 2 tahun belakangan.
Disambut dengan kesenian angklung dari pemuda kampung nelayan, kami serombongan diperlakukan bak rombongan kehormatan. Sedikit tidak nyaman memang dengan keadaan seperti itu, rasanya semua perhatian tertuju pada kami semua. Tapi kemudian yang terpikir adalah bahwa penerimaan masyarakat sekitar sangat baik terhadap kami, dan ini merupakan kabar gembira bagi rencana penelitian kami. Kabar baik bagi keterbukaan yang diperlukan dalam wawancara yang akan kami laksanakan untuk penelitian.
Lima hari bagi saya cukup lama berada di Cilacap, mungkin karena saya sedikit tidak betah berada di sana. Masalah utama yang menyebabkan ketidakbetahan saya adalah masalah hawa dan udara. Waktu tidur malam adalah waktu yang sedikit tidak menyenangkan karena sumuk. Parahnya lagi di rumah saya, khususnya di kamar saya tidak ada kipas angin. Jadilah setiap malam saya tidur hanya berselimutkan sarung. Ya, hanya sarung dan celana dalam. Itu pun setiap pagi badan saya masih selalu basah oleh keringat. 
Untungnya kegiatan selama di Cilacap menyenangkan, ditambah lagi orang-orangnya yang ramah membuat rasa sumuk itu tersejukkan. Melihat nelayan berangkat melaut pada pagi hari dari atas jembatan yang setiap kali harus bergoyang karena dilewati truk atau bus. Sekelompok pria berbadan hitam lusuh dengan kaos lengan panjang berbahan saringan tahu menyiapkan perahu untuk mencari ikan dan berharap mendapat beberapa blong ikan setiap pulang. Anak-anak kecil yang selalu terlihat gembira, bermain-main bersama mungkin tidak tahu kesusahan orang tuanya menghadapi paila.

Bertemu dengan banyak orang baru yang sangat menyenangkan. Berkenalan dengan orang-orang dari sisi lain kehidupan. Mendengar banyak cerita dari sepasang suami istri mantan preman pelabuhan yang dermawan. Yang pernah juga bekerja menangkap lumba-lumba bersama kelompok peneliti dari Australia untuk keperluan penelitian. Diberi wejangan dari seorang pengusaha udang yang tidak pernah lulus SD, yang pernah rugi hingga milyard-an rupiah. Berbagi cerita tentang kenakalan remaja dari seorang Haji pemilik kapal nelayan besar yang mantan pemabuk minuman dan ganja asal Sumatera Utara.
Papan Administratif Pemprov Jateng
anak-anak di sana suka sekali difoto
2 hari pertama, ada kapal tanker super besar di dekat lampu yang menyala itu
ini hasil tangkapan nelayan setempat, hiu 200kg
pertandingan melawan PSN (Persatuan Sepakbola Nelayan)

Ini adalah sebuah pengalaman baru. Pengalaman baru yang akan menjadi bekal bagi perjalanan saya selanjutnya. Memepatkan waktu dan jarak dalam tulisan-tulisan yang akan saya lakukan agar selalu terikat baik dalam mengahadapi guncangan-guncangan di perjalanan nantinya. 

*foto-foto oleh Jason Iskandar