Kamis, 15 Mei 2014

I Come Back Because I Love You

I travel because I have to. I come back because I love you.
Ini ceritaku beberapa tahun yang lalu. 2 Januari 2010, aku ingat betul, hari itu menjadi kesempatanku mengalami penerbangan internasional pertamaku. Transit pertama di bandara Changi, Singapura. Dalam benakku, bandara ini sangat bersih teratur dan sangat besar. Sekitar 2 jam aku menunggu penerbangan selanjutnya. Selanjutnya aku harus duduk tenang selama sekitar 14 jam penerbangan ke arah barat laut Indonesia. Lalu Frankfurt, dan kemudian sampailah aku dan 23 temanku ke kota tujuan. Berlin, Ibu Kota Jerman.
Converse kenangan
Sepatu Kenangan














Kali itu aku berkesempatan pergi ke Jerman, gratis. Aku berhasil lolos tes untuk mengikuti Winter Course, kelas belajar bahasa Jerman selama sebulan di Berlin. Bersama sekitar 60an orang dari 9 negara, kami semua belajar bersama, bermain bersama.

Satu bulan aku tinggal di Berlin, di sebuah rumah yang memang didesain menjadi semacam asrama. Ada ruang aula kecil, ruang makan bersama, ruang hiburan, bar mini dan kamar-kamar untuk tinggal.
Sebenarnya aku sedikit mengharapkan melihat warna-warna indah dari bunga-bunga yang tumbuh di Eropa. Aku berharap melihat pemandangan-pemandangan yang aku biasa lihat di televisi saja. Lewat layar lebar atau gambar-gambar di Google. Sedangkan yang aku dapat hanya warna putih bersih.

Tentu saja, karena aku datang di saat musim dingin. Saat salju turun dan semua orang memakai pakaian hingga lapis 5. Tapi aku tidak kecewa, mana mungkin aku bisa lihat salju turun di Indonesia. Harusnya aku bisa lebih bangga karena pernah menginjak salju licin yang hampir meleleh.

Rasanya menyenangkan bisa berkesempatan datang ke negeri yang jauh. Berkesempatan untuk belajar tentang Negara yang pernah menjadi Negara fasis itu. Waktu itu aku sempat datang ke sebuah tempat bernama Sachsenhausen. Berkunjung ke sana adalah salah satu peristiwa yang sampai sekarang aku masih ingat rasanya seperti apa. Suram, hitam, takut, gelap. Tempat itu adalah bekas Kamp Konsentrasi Nazi. Tempat di mana ratusan, mungkin ribuan orang Yahudi ditahan, diperintah kerja paksa, dan dibunuh. Tempat dan pemikiran akan Sachsenhausen waktu itu juga jadi bumbu dalam bahan penelitianku untuk tugas akhir kuliahku saat ini.
Bukan Ini
Bukan Ini


Sebenarnya dari semua pengalaman tersebut, momen di akhirlah yang membuatku paling merinding. Bukan pendaratan pertama di tanah Eropa. Bukan punya banyak teman dari seluruh penjuru dunia. Bukan datang mengunjungi KBRI di Berlin. Bukan makan sosis babi sepanjang 20cm. Tapi peristiwa pulang ke Indonesia.

Momen di saat aku melihat hijaunya sawah dan birunya laut dari atas pesawat, setelah satu bulan hanya putih salju saja sejauh mata memandang. Ini kepulangan pertamaku dari pergi jauh. Jadi dari mulai saat itu aku selalu ingin pergi jauh untuk kembali merasakan indahnya pulang.

Pulang menurutku bukan hanya sekadar kembali ke rumah, ke bangunannya. Pulang lebih merujuk pada kembali pada suatu situasi yang nyaman. Setiap orang punya “rumahnya” masing-masing. Setiap orang pasti rindu pulang. Paling sederhana, ketika kamu lelah berada di kampus. Bertemu dengan dosen killer, bertemu dengan teman berisik, bertemu dengan tumpukan tugas yang harus kamu kerjakan. Ketika kamu pulang ke rumah, ke kos atau mungkin bertemu dengan seseorang yang jadi “rumah” bagimu pasti ada rasa aman, nyaman, tenang.

Banyak orang bilang kalau kamu tidak akan merasa memiliki sesuatu sampai kamu kehilangannya. Itu benar. Tapi ketika kamu berhasil menemukan kembali hal yang hilang itu rasanya kamu akan terus menjaganya dengan sekuat tenagamu, dengan segenap hatimu, dengan seluruh jiwa dan ragamu.
Aku punya saran buatmu. Coba rasakan pergi jauh, dan renungkan saat kamu rindu. Buat dirimu kehilangan dulu, kehilangan rasa Indonesia, lalu temukanlah lagi. Rasakan saat kamu bisa pulang. Semacam ada letupan-letupan kegembiraan dalam dadamu yang ingin membuncah keluar. Terbang sebebas-bebasnya menelusuri seluruh bagian dari rumahmu.

Kepergianku sampai ke Jerman waktu itu betul menyadarkanku kalau I.N.D.O.N.E.S.I.A adalah rumah bagiku. Bahwa keindahan dan keteraturan yang ditawarkan oleh negara lain tidak akan mengurangi kebanggaanku pada tanah airku.  Tempat di mana tali pusarku ditanam, tempat di mana darah pertamaku teresap dalam tanah. Lengkap dengan bau hujan bertemu tanah dan laut biru luas membentang.
Pulau Sempu, Jawa Timur
Pulau Sempu, Jawa Timur
Museum Mandiri, Jakarta
Museum Mandiri, Jakarta
Laut Aru, Kaimana, Papua
Laut Aru, Kaimana, Papua Barat
Kaimana, Papua Barat
Senja Kaimana, Papua Barat
Stadion Triton, Kaimana, Papua Barat
Stadion Triton, Kaimana, Papua Barat
*Keterangan foto : Pulau Sempu oleh Wawan Kristianto, Stadion Triton oleh Jason Iskandar, sisanya oleh Suryo Hapsoro

1 komentar:

  1. Yeay, pertamax :D
    Nice post, Yok!
    Ditunggu tulisannya sepulang dari Koreaaa~

    BalasHapus