Kamis, 15 Mei 2014

Separuh

Separuh wanita, separuh pria. Seorang wanita yang hidup “terjebak” di dalam raga pria. Mereka yang dianggap tabu dan dipandang menyimpang oleh lingkungan. Dijauhi secara sosial dan pandangan religius. Bahkan kadang keluarga pun tidak mau lagi menerimanya sebagai bagian di dalamnya. Belum lagi kesulitan mendapat kerja, baik di sektor formal maupun informal, itu yang membuat mereka kebanyakan menggantungkan nasibnya pada kerja-kerja yang lagi-lagi menjadi stereotype bagi tindakan menyimpang mereka. Tapi sadarkah kamu kalau mereka juga manusia, yang butuh makan, butuh teman, butuh ibadah? Mereka juga butuh merasakan cinta yang sama, dari keluarga, dari lingkungan pertemanan.

Di Thailand, banyak orang yang menjadi ladyboy. Melihat waria di sana adalah hal biasa, bahkan ada sekolah khusus bagi waria. Artinya bahwa kecenderungan menjadi seorang waria memang sudah terlihat dari awal, dan artinya juga di Thailand penerimaan mereka akan hal itu sudah sangat tinggi. Thailand adalah sebuah Negara kerajaan yang aktivitas religiusnya cukup tinggi. Tuhan dalam pandangan mereka adalah sempurna. Sempurna dalam arti segalanya. Tuhan tidak bisa hanya dipandang sekadar laki-laki atau perempuan. Tuhan lebih sempurna dari dua jenis kelamin tersebut. Tidak ada yang bisa menghakimi mana jenis kelamin yang benar dan belum tentu ada salah satu yang salah.

Menjadi seorang waria bukanlah pilihan, bukan juga penyakit. Kalau bisa memilih, sejak lahir mereka pasti akan memilih salah satu. Kalau itu penyakit, coba carikan dokter yang bisa menyembuhkannya. Mereka akan dengan senang hati menerima obatnya. Seperti yang dikatakan oleh Bu Maryani, seorang waria yang mendirikan pesantren khusus waria di sekitar Notoyudan.
Pesantren Waria ini adalah tanda harapan dari kaum waria. Harapan mereka untuk sebuah penerimaan. Penerimaan dari orang-orang sekitar. Penerimaan akan keberadaan dan keberibadahan waria. Bahwa waria juga punya hak yang sama dalah beribadah. Bahwa Tuhan menciptakan mereka sempurna juga adanya, tidak hanya separuh.

Para waria seperti yang sering berkegiatan di pesantren waria itu semacam dipaksa untuk terus hidup di lingkungan kota besar. Hampir tidak tersedia penerimaan yang cukup di lingkungan sekitar ketika mereka ingin tinggal di desa yang hubungan antarindividunya masih intim. Untuk itulah mereka berkutat di tengah kota besar, di mana mereka bisa “bersembunyi” dengan cara melebur dalam kehidupan kota yang semakin individualis. Pergi ke kota dan meninggalkan masa lalu mereka, di mana banyak orang yang mengenal mereka sebelumnya.

Tantangan generasi orang tua kita adalah tentang penerimaan keputusan yang berhubungan dengan masalah keyakinan. Orang tua dari anak muda di masa seperti ini masih banyak yang merasa keberatan ketika anaknya memutuskan untuk pindah agama, atau misalnya memilih pasangan yang tidak seiman. Sepertinya hal itu menjadi masalah besar bagi keluarga. Masalah besar bagi nama baik orang tua, bisa dianggap tidak berhasil mendidik anak sesuai ajaran agamanya.

Bisa jadi tantangan generasi muda saat ini di masa depan adalah menerima orientasi seksual anak kita kelak. Buatku, akan sangat sulit rasanya ketika anak lelakiku mendatangiku dengan perasaan cemas dan berkata, “Pak, aku gay”. Bisa jadi anakku akan melontarkan protes yang sama atas kekolotan orang tuanya dalam menerima keadaan. Bisa jadi, sangat mungkin.
“Bahwa Tuhan tidak pernah menghakimi, hanya manusia yang selalu berusaha menuhani manusia lain” – Bu Maryani

I Come Back Because I Love You

I travel because I have to. I come back because I love you.
Ini ceritaku beberapa tahun yang lalu. 2 Januari 2010, aku ingat betul, hari itu menjadi kesempatanku mengalami penerbangan internasional pertamaku. Transit pertama di bandara Changi, Singapura. Dalam benakku, bandara ini sangat bersih teratur dan sangat besar. Sekitar 2 jam aku menunggu penerbangan selanjutnya. Selanjutnya aku harus duduk tenang selama sekitar 14 jam penerbangan ke arah barat laut Indonesia. Lalu Frankfurt, dan kemudian sampailah aku dan 23 temanku ke kota tujuan. Berlin, Ibu Kota Jerman.
Converse kenangan
Sepatu Kenangan














Kali itu aku berkesempatan pergi ke Jerman, gratis. Aku berhasil lolos tes untuk mengikuti Winter Course, kelas belajar bahasa Jerman selama sebulan di Berlin. Bersama sekitar 60an orang dari 9 negara, kami semua belajar bersama, bermain bersama.

Satu bulan aku tinggal di Berlin, di sebuah rumah yang memang didesain menjadi semacam asrama. Ada ruang aula kecil, ruang makan bersama, ruang hiburan, bar mini dan kamar-kamar untuk tinggal.
Sebenarnya aku sedikit mengharapkan melihat warna-warna indah dari bunga-bunga yang tumbuh di Eropa. Aku berharap melihat pemandangan-pemandangan yang aku biasa lihat di televisi saja. Lewat layar lebar atau gambar-gambar di Google. Sedangkan yang aku dapat hanya warna putih bersih.

Tentu saja, karena aku datang di saat musim dingin. Saat salju turun dan semua orang memakai pakaian hingga lapis 5. Tapi aku tidak kecewa, mana mungkin aku bisa lihat salju turun di Indonesia. Harusnya aku bisa lebih bangga karena pernah menginjak salju licin yang hampir meleleh.

Rasanya menyenangkan bisa berkesempatan datang ke negeri yang jauh. Berkesempatan untuk belajar tentang Negara yang pernah menjadi Negara fasis itu. Waktu itu aku sempat datang ke sebuah tempat bernama Sachsenhausen. Berkunjung ke sana adalah salah satu peristiwa yang sampai sekarang aku masih ingat rasanya seperti apa. Suram, hitam, takut, gelap. Tempat itu adalah bekas Kamp Konsentrasi Nazi. Tempat di mana ratusan, mungkin ribuan orang Yahudi ditahan, diperintah kerja paksa, dan dibunuh. Tempat dan pemikiran akan Sachsenhausen waktu itu juga jadi bumbu dalam bahan penelitianku untuk tugas akhir kuliahku saat ini.
Bukan Ini
Bukan Ini


Sebenarnya dari semua pengalaman tersebut, momen di akhirlah yang membuatku paling merinding. Bukan pendaratan pertama di tanah Eropa. Bukan punya banyak teman dari seluruh penjuru dunia. Bukan datang mengunjungi KBRI di Berlin. Bukan makan sosis babi sepanjang 20cm. Tapi peristiwa pulang ke Indonesia.

Momen di saat aku melihat hijaunya sawah dan birunya laut dari atas pesawat, setelah satu bulan hanya putih salju saja sejauh mata memandang. Ini kepulangan pertamaku dari pergi jauh. Jadi dari mulai saat itu aku selalu ingin pergi jauh untuk kembali merasakan indahnya pulang.

Pulang menurutku bukan hanya sekadar kembali ke rumah, ke bangunannya. Pulang lebih merujuk pada kembali pada suatu situasi yang nyaman. Setiap orang punya “rumahnya” masing-masing. Setiap orang pasti rindu pulang. Paling sederhana, ketika kamu lelah berada di kampus. Bertemu dengan dosen killer, bertemu dengan teman berisik, bertemu dengan tumpukan tugas yang harus kamu kerjakan. Ketika kamu pulang ke rumah, ke kos atau mungkin bertemu dengan seseorang yang jadi “rumah” bagimu pasti ada rasa aman, nyaman, tenang.

Banyak orang bilang kalau kamu tidak akan merasa memiliki sesuatu sampai kamu kehilangannya. Itu benar. Tapi ketika kamu berhasil menemukan kembali hal yang hilang itu rasanya kamu akan terus menjaganya dengan sekuat tenagamu, dengan segenap hatimu, dengan seluruh jiwa dan ragamu.
Aku punya saran buatmu. Coba rasakan pergi jauh, dan renungkan saat kamu rindu. Buat dirimu kehilangan dulu, kehilangan rasa Indonesia, lalu temukanlah lagi. Rasakan saat kamu bisa pulang. Semacam ada letupan-letupan kegembiraan dalam dadamu yang ingin membuncah keluar. Terbang sebebas-bebasnya menelusuri seluruh bagian dari rumahmu.

Kepergianku sampai ke Jerman waktu itu betul menyadarkanku kalau I.N.D.O.N.E.S.I.A adalah rumah bagiku. Bahwa keindahan dan keteraturan yang ditawarkan oleh negara lain tidak akan mengurangi kebanggaanku pada tanah airku.  Tempat di mana tali pusarku ditanam, tempat di mana darah pertamaku teresap dalam tanah. Lengkap dengan bau hujan bertemu tanah dan laut biru luas membentang.
Pulau Sempu, Jawa Timur
Pulau Sempu, Jawa Timur
Museum Mandiri, Jakarta
Museum Mandiri, Jakarta
Laut Aru, Kaimana, Papua
Laut Aru, Kaimana, Papua Barat
Kaimana, Papua Barat
Senja Kaimana, Papua Barat
Stadion Triton, Kaimana, Papua Barat
Stadion Triton, Kaimana, Papua Barat
*Keterangan foto : Pulau Sempu oleh Wawan Kristianto, Stadion Triton oleh Jason Iskandar, sisanya oleh Suryo Hapsoro

Reduksi Rindu

“Makna rindu itu semakin tereduksi oleh keberadaan teknologi”

Kalimat ini aku tulis di draft blog diefolgerung.blogspot.com milikku sejak tanggal 3 Mei 2013. Belum sempat aku lanjutkan karena aku masih belum bisa menjelaskan dengan kalimat yang tepat apa maksud kalimat yang tiba-tiba muncul di pemikiran aku itu.

Ternyata beberapa minggu kemudian, bahasan dalam kelas sama dengan apa yang aku pikirkan tersebur. Keintiman dalam hubungan dengan siapapun mengalami transformasi karena adanya teknologi Diakui atau tidak, disadari atau tidak, memang itu kenyataannya.

Teknologi membuat semuanya dapat diketahui dengan cepat, sangat cepat malah. Aku bisa dengan cepat mengetahui apa yang terjadi di jauh sana apa yang sedang dikerjakannya. Aku bisa dengan mudah mengetahui kecelakaan di seberang laut sana. Rasanya semua menjadi semakin mudah, terlalu mudah bahkan. Mengetahui menjadi suatu hal yang jauh lebih mudah daripada beberapa dekade terakhir.

Bahkan sampai saya berpikir bahwa sepertinya tidak ada lagi waktu untuk merasa rindu. Terlalu cepat kabar bisa diketahui. Semakin tidak ada jarak yang bisa memunculkan rasa rindu itu.

Saya mengetahui satu cerita paling romantis yang pernah saya dengar. Ini kisah nyata, dan pelakunya masih hidup di negeri ini. Usianya sudah senja, tapi bisa memberikan inspirasi bagi kita yang masih akan terbit ini. Kisah ini dijadikan Papermoon Puppet Theater untuk menjadi ide cerita salah satu pertunjukannya setahun yang lalu. Judulnya “Setjangkir Kopi dari Plaja”. (Secangkir Kopi dari Playa)

Adalah sepasang kekasih, tinggal di Jakarta. Waktu itu tahun 1960. Si lelaki adalah salah satu dari 17 mahasiswa terbaik yang dipilih oleh Ir. Soekarno untuk diberi beasiswa belajar di Rusia, Uni Soviet waktu itu. Ia dibiayai untuk belajar metalurgi di Negara komunis itu. 5 tahun harus dijalaninya untuk belajar, tidak ada kesempatan untuk pulang di sela-selanya, karena belum semudah sekarang untuk berpindah tempat. Janjinya pada kekasihnya, “aku akan menikahimu sekembalinya aku belajar”. Keduanya berpisah dengan ketakutan akan rasa rindu.

Hampir lima tahun berselang, si lelaki sudah hampir saatnya bisa pulang. Ternyata pecahlah konflik G30S, yang katanya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Konflik ini membuat hubungan Indonesia dengan Uni Soviet yang telah dibangun oleh Ir. Soekarno lewat NASAKOM-nya menjadi runtuh, seketika rusak. Si Lelaki tidak bisa pulang, passport-nya dicabut, tidak lagi dianggap sebagai warga Negara Indonesia, hanya karena ia belajar di Negara komunis (?)

Tidak ada handphone, tidak ada internet dengan facebook, twitter dan media jejaring sosial yang lainnya. Satu-satunya kesempatan bagi si lelaki untuk memberi kabar pada kekasihnya adalah dengan surat. Tapi hubungan kerja sama Indonesia dan Uni Soviet rusak. Jadi tidak ada lagi kesempatan itu. Tanpa sanak saudara dan keluarga, hanya dengan teman-teman, dan tanpa status kewarganegaraan.

Ia berjuang, dan mungkin sudah pasrah kalau memang sudah tidak lagi bisa pulang. Bertemu dengan seluruh keluarganya dan tentu saja kekasihnya yang sudah dijanjikan untuk menikah. Ia melanjutkan belajarnya hingga ia berpindah ke Kuba, Negara komunis yang lain. Tinggalah ia di sana, di sebuah kota bernama Playa. Ia menjadi ahli metalurgi, hingga diberi kewarganegaraan istimewa oleh Kuba, ia menjadi aset untuk Kuba. Padahal seharusnya ia bisa jadi aset berharga untuk negeri ini, itu hal yang sudah direncanakan oleh Soekarno waktu itu. Andai saja kejadian ’65 tidak seburuk itu.

Tiga puluh lima tahun lamanya ia tidak bisa memberi kabar pada semua yang ada di Indonesia. Sampai pada suatu waktu, Gusdur, yang menjadi Presiden kala itu mengetahui cerita tentang si lelaki dan beberapa teman yang lain, yang tidak bisa pulang. Dengan bantuan Presiden Gusdur itulah si lelaki bisa pulang. Satu orang yang paling ingin ditemuinya adalah kekasihnya. Ia masih ingat janji akan menikahi gadis yang dicintainya itu. Tiga puluh lima tahun si lelaki sama sekali tidak menikah, karena baginya janji harus ditepati. Ia mencari kabar tentang kekasihnya itu, mereka akhirnya bertemu dan ternyata kekasihnya sudah menikah dengan orang.

Aku tidak bisa membayangkan perasaan dua orang ini. Si lelaki yang bertahan bertahun lamanya untuk berusaha memenuhi janjinya, menikahi seorang gadis. Ternyata kekasihnya sudah tidak lagi sendiri. Kekasihnya juga pasti juga hancur perasaannya. Mengetahui kalau ternyata lelaki pujaannya berpuluh tahun lalu masih ingat dengan janjinya dan memenuhinya. Perempuan mana yang tidak tersanjung?

Pak Widodo dan Bu Widari. Keduanya masih hidup. Bu Widari tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Sedangkan Pak Widodo kembali ke Kuba, karena di sana ia dibutuhkan.

Kisah cinta yang rasanya klise, tetapi aku merasakan jika kisah seperti ini tidak akan bisa terulang. Romantis dan kisah cinta yang lain akan muncul sesuai dengan tanda-tanda zaman yang memang juga berubah.

Andai saja internet sudah bisa diakses dengan mudahnya seperti saat ini, andai saja informasi yang bisa didapat oleh seseorang sudah dengan luasnya menyebar pasti Pak Widodo dan Bu Widari bisa saling memberi kabar. Mungkin Pak Widodo dan Bu Widari bisa menjadi pasangan suami istri. Mungkin kisah cinta mereka akan berlanjut menjadi lebih baik, tidak ada penyesalan. Tapi mungkin juga mereka akan pecah di tengah jalan. Mungkin saja janji Pak Widodo pada Bu Widari tidak akan bertahan selama ini. Siapa yang tahu?

Ketiadaan teknologi kala itu membuat janji anak muda itu bertahan selamanya, dan menjadi fenomenal karenanya. Ketiadaan teknologi juga yang membuktikan bahwa kekuatan janji tentu bisa mengalahkan waktu. Saat ini, kita terlalu cepat merasa curiga, terlalu mudah berasumsi. Rasa rindu menjadi sekadar tanpa kabar 12 jam, 7 jam, 53 menit, bahkan 3 menit. Tidak ada lagi rasa rindu yang terikat kuat di dalam hati. Jadi, sampai saat ini aku masih bisa percaya bahwa rindu terdalam itu memang menunggu yang tak kembali.

Senin, 12 Mei 2014

Tidak Semudah Seperti Seharusnya

Karena kita tidak bisa selalu hidup dalam kungkungan “seharusnya” karena selalu ada “senyatanya”.

Menjelang empat tahun aku menuntut ilmu di kampus, dan tiga tahun mengenal sedikit tentang sosiologi, baru sekarang kalimat ini terlintas dalam pikiranku. Das sollen und das sein. Padahal itu inti dari selama ini aku belajar. Bahwa harapan dan kenyataan selalu akan membuat selisih di antara. Jarak ini yang dinamakan utopia, spasi di mana kamu akan sadar tidak semua hal yang kamu anggap seharusnya bisa menjadi senyatanya dalam hidupmu.

Aku harusnya mengerti semua hal ini. Waktunya sudah cukup di kelas untuk memahami semua materi yang menjelaskan tentang jarak di antara keduanya. Akan tetapi memang ternyata ilmu itu tidak pernah cukup sebatas pertemuan di kelas dan materi di buku pedoman. Bahwa waktu dan pengalaman yang perlahan akan memberimu ujian untuk kamu dipaksa mengerti. Waktu dan pengalaman adalah sistem pendidikan paling bijak, bukan sistem yang diakhiri dengan Ujian Nasional. Mereka tidak pernah memberimu penilaian, sehingga kamu dengan bebas mengeksplorasi ilmumu sendiri. Mereka selalu bisa memaksamu belajar dengan sendirinya, bahkan tanpa membuatmu merasa terpaksa belajar. Mereka tidak memberikanmu penghargaan, tapi kamu akan tahu bahwa kamu berharga ketika selalu bisa memaknainya. Setiap orang punya standar kompetensinya sendiri, karena memang setiap orang adalah pribadi yang merdeka.

Aku sering masih terjebak dalam pemikiranku sendiri. Aku masih mengungkung diriku dalam belenggu “seharusnya”. Aku masih suka memaksakan diri dengan apa yang seharusnya aku lakukan, atau apa yang orang lain mau dari apa yang seharusnya aku harapkan. Aku sering lupa melihat juga “senyatanya” yang aku inginkan. Aku sering lupa juga apa yang “senyatanya” bisa terjadi. Parahnya, aku sering lupa dengan utopia yang dimiliki oleh masing-masing orang, tiap orang kan juga punya masalah dan utopianya sendiri yang kadang ingin aku campuri.

“Seharusnya” yang aku mau, selalu bertabrakan dengan “senyatanya” yang ada di sekelilingku. Kenyataannya, aku tidak selalu bisa bertahan dengan hanya berpikir tentang yang seharusnya aku dapatkan. Bukan untuk mengecilkan harapan dan memaklumi apa yang tidak aku dapatkan, tetapi lebih kepada untuk berusaha memahami bahwa hidup tidak semudah seperti seharusnya.

*masih dalam rangkaian pertanyaan "Wie sollten wir sein?". (Apa yang seharusnya kita capai?) 
13/5/2014