Tampilkan postingan dengan label feature. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label feature. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Oktober 2012

Bukti Bakti

Hawa segar yang kadang ditiup angin dingin di sekitaran lereng Gunung Merapi selalu menemani langkah Mbah Wijiharjo setiap harinya. Mbah Wijiharjo tinggal di Dusun Ngetehan, letak tepatnya ada di Pakem, Sleman, tidak terlalu jauh dari Museum Gunung Merapi. Dusun tempat tinggal Mbah Wijiharjo ini adalah sentra tanaman bunga krisan dan juga letak peternakan kambing etawa yang cukup terkenal.
Mbah Wijiharjoharjo, begitu ia diminta untuk disebut, walaupun sebenarnya ia bernama Karsih. Wijiharjo adalah nama suaminya. “Lha kalau sudah jadi suami istri kan nama istrinya ikut nama suami,” kata Mbah Wijiharjoharjo menjelaskan menggunakan Bahasa Indonesia yang fasih dengan logat khas pedesaan Jawa. Tidak banyak orang seusia Mbah Wijiharjo yang tinggal di pedesaan yang dapat berbahasa Indonesia dengan cukup lancar. Ia bisa dengan baik berbicara bahasa Indonesia karena sewaktu kecil sempat bersekolah dan lulus dari Sekolah Rakyat[1]. Mbah Wijiharjo tidak ingat berapa usianya saat ini, tapi ia masih ingat betul kalau tahun 1950 adalah tahun ia lulus dari Sekolah Rakyat.


Mbah Wijiharjo tinggal di sebuah rumah kecil, sudah bertembok tapi terasa lembap di dalamnya. Mungkin karena kurang ada cahaya matahari yang bisa masuk ke dalam rumahnya. Dapurnya masih tradisional, tanpa kompor. Hanya ada tungku kayu untuk memasak dengan lubang di atapnya untuk jalan keluar asap dari pembakaran kayu. Rumahnya hanya ada tiga ruangan, gelap, dan kamar mandinya ada di luar rumah dekat sumur. Perabotnya banyak yang sudah tampak rapuh. Rumahnya memang bukan seperti rumah nyaman yang biasa dibayangkan oleh orang kebanyakan, tapi di sinilah ia tinggal bersama dengan suaminya.
Ketika masih muda dulu, suami Mbah Wijiharjo adalah seorang tukang kayu. Seorang tukang kayu yang melanglang buana kata seorang tetangganya, Bu Sigit, yang sambil bergurau minta dipanggil sebagai “Kanjeng Ratu”. Kata Kanjeng Ratu juga, usia suami Mbah Wijiharjo sama dengan Pak Harto jika masih hidup sekarang. “itu suaminya simbah lahirnya sama persis sama taun lahirnya Pak Harto,” ucap Kanjeng Ratu dengan bersemangat. Sejak dulu Mbah Wijiharjo sering tinggal sendiri di rumah selama suaminya bekerja berpindah-pindah tempat ke Sumatera, Kalimantan, dan sempat cukup lama menetap di Cilacap. Mbah Wijiharjo adalah istri kedua dari suaminya. Mereka tidak dikaruniai anak dari pernikahannya ini. Oleh karena itu maka keduanya mengangkat seorang anak. Ditambah dengan seorang anak dari pernikahan pertama suaminya jadilah Mbah Wijiharjo tinggal berempat, dulu.
Sekarang ini Mbah Wijiharjo selama sudah lebih dari lima tahun belakangan harus memanggul “beban” yang lebih, setelah suaminya jatuh sakit karena usianya yang sudah sangat renta. Sekarang sang suami hanya bisa terbaring di atas dipan kayunya dengan alas kasur kapuk yang sudah semakin tipis. Keadaannya yang sudah seperti itu membuat mbah Wijiharjo merasa sedikit terbebani. “Ya kadang suka menyesal,” katanya berkomentar mengenai keadaan suaminya. Penyesalan akan kondisi suaminya sekarang sama sekali tidak mengurangi semangat setianya. Kejujurannya tentang perasaan itu toh tidak juga membuat Mbah Wijiharjo kemudian menyerah pada keadaan. Ia masih terus setia mengurus suaminya sambil terkadang ditemani oleh anak angkatnya.
Setiap hari Mbah Wijiharjo harus mengerjakan tugas rumah tangga sendiri. Mulai memasak makanan untuk dirinya, mengambil air dari saluran air di depan rumahnya, sampai mengangkut kayu untuk dikeringkan yang selanjutnya dijadikan kayu bakar di dapurnya. Mbah Wijiharjo juga harus meladeni suaminya. Menyiapkan bubur bayi untuk makan suaminya setiap siang dan sore, sampai mengantarkan ke kamar mandi. Semuanya dijalani oleh Mbah Wijiharjo demi bakti pada suami yang dicintainya, suami yang berdua mereka telah mengikatkan janji sehidup semati.
Bagaimana pun juga, Mbah Wijiharjo tetap menjalani kehidupannya tersebut dan yang penting tetap menikmatinya. Mbah Wijiharjo ini adalah seorang yang sangat murah senyum, kalau istilah Jawanya sumeh. Dalam setiap cerita yang dilontarkannya selalu saja ada senyum yang menunjukkan garis-garis keriput di wajahnya tampak jelas terlihat. Garis wajah yang menggambarkan ketegaran dalam hidupnya. Teringat ketika Mbah Wijiharjo bercerita tentang ketika harus menolong suaminya pergi ke kamar mandi. Karena suaminya sudah tidak dapat lagi beraktivitas sendiri, Mbah Wijiharjo harus selalu membantunya melakukan apapun. Mbah Wijiharjo sering tidak kuat ketika harus memapah suaminya itu seorang diri ke kamar mandi. “Ra kuat. Trus yo mung nyendher tembok karo bengak-bengok njaluk tulung karo tanggane,” kata Mbah Wijiharjo lagi-lagi dengan ditemani tawa kecil darinya. Setianya terhadap suami seharusnya bisa jadi panutan nyata bagi semua orang yang mengenalnya.
Perasaan miris muncul ketika menemukan banyak kesetiaan yang ditunjukkan oleh seorang “cilik”, seperti Mbah Wijiharjo. Kepada suaminya, ia masih tetap mencintai dan memegang janji setianya tanpa pamrih. Padahal di dalam negeri yang sama, para penguasanya selingkuh terhadap rakyatnya sendiri, ironis. Janji yang terucap dulu ketika berusaha duduk di kursi pemerintahan hanya berhenti sampai di sana, sampai pada sekadar ucapan. Tak lebih. Janji setia untuk menjadi pelayan malahan menjadikan diri sebagai penampung harta kekayaan. Para penguasa yang selingkuh dengan uang yang membuat lupa pada ucapannya tersebut.

 “Nek wong gedhe konangan selingkuh malah kondhang
Nek wong cilik sing konangan diarak telanjang
Apa kaya ngene jeneng negara berjuang
Segala sesuatu ditentukan dengan uang”[2]

Janji bukanlah suatu hal yang mudah untuk ditepati, tapi bukan berarti setiap orang layak menjadikannya bisa dikebiri. Membuat sebuah janji bukanlah hal yang mudah, tetapi berusaha untuk menepati janji akan jadi jauh lebih sulit. Sosok Mbah Wijiharjo mengajarkan tentang kesetiaan dan usaha untuk menepatinya. Sikap yang sudah semakin miskin tinggal dalam hati kebanyakan orang di masa ini. Beruntunglah masih bisa menjumpai Mbah Wijiharjo yang membuktikan setianya, menunjukkan bakti seorang istri pada suami yang tidak lekang dimakan waktu, tidak habis dihapus usia.



[1] Sekolah pada masa Kolonialisme yang setingkat Sekolah Dasar. Menghabiskan waktu enam tahun untuk lulus.
[2] Ora Cucul Ora Ngebul ­– Romo Sindhunata

Senin, 02 Mei 2011

Berbagi dalam Kekurangan


Masih tentang pengalaman saya di Cilacap, masih tentang sebuah desa nelayan di seberang Pulau Nusakambangan. Kali ini saya ingin bercerita tentang pengalaman yang membuat saya sangat tersentuh. Pengalaman tentang berbagi, tentang kesederhanaan, dan tentang kasih sayang.

Ini tentang sebuah keluarga. seorang suami, Pak Ismail atau yang lebih suka dipanggil Pak Gendut atau Pak Jenggot. Istrinya yang bernama Bu Wiji, dan seorang anak laki-laki berumur 11 tahun, Fais. Mereka tinggal di sebuah gubug reyot dalam arti yang sesungguhnya. Gubug itu hanya terbuat dari anyaman bambu, atau yang disebut gedheg. Atapnya juga bukan terbuat dari daun kering yang kalau hujan lebat tidak kuat menahan derasnya laju air hujan untuk masuk ke dalam. Bukan bocor lagi namanya, lebih mirip hujan dalam rumah.

Untungnya mereka dipercaya untuk menjaga sebuah depot tempat distribusi ikan hasil tangkapan nelayan. Depot itu lebih mampu melindungi penghuninya dari hujan, jadi jika hujan lebat mereka bertiga memilih untuk tidur di sebuah kamar kecil di depot tersebut.

Awal pertemuan dengan Bu Wiji dan Pak Gendut, saya merasa tsayat dengan mereka. Pak Gendut dengan kulit hitam khas nelayan, jenggot tebal dan rambut gondrong, di lengannya masih tersisa bekas tato yang sudah mulai memudar, tanpa baju sambil memegang rokok kretek di tangannya. Saya pikir awalnya dia adalah seorang preman dermaga, karena tempat pertemuan saya memang di dermaga.

Bu Wiji juga tidak kalah sangar. Perempuan gendut, lusuh rambut panjangnya selalu diikat melingkar ke atas dan juga merokok. Berkulit hitam, mungkin memang karena pengaruh matahari yang tidak bersahabat di Cilacap.

Ketika bertemu mereka sedang duduk-duduk bersama beberapa warga lain yang tidak kalah sangar di pinggir dermaga, dekat dengan timbunan sampah. Tatapan awal dari orang-orang ini juga benar-benar tidak ramah. Coba bayangkan! Mungkin kalau teman-teman yang ada di posisi saya juga merasa tsayat.

Saya dan empat teman saya, semuanya laki-laki, melewati kumpulan orang-orang ini. Kami ingin menuju ke dermaga dan melihat-lihat lingkungan sekitar. Ketika kami berbelok di satu jalan setapak, Bu Wiji ini berteriak, “Mas, jangan lewat sana. Itu buntu jalannya, balik lagi lewat sini aja.” Inilah awal perbincangan panjang dengan keluarga Bu Wiji.

Saya memberanikan diri membuka perbincangan dengan mereka. Saya bertanya tentang ikan yang sedang langka, dia bertanya kami dari mana. Sampai kami diajak masuk ke depot yang mereka jaga. Begitulah awalnya hingga hampir setiap hari selama di Cilacap, kami bermain sambil berbincang di depot tersebut.

Banyak sekali cerita yang disampaikan oleh Pak Gendut dan Bu Wiji. Pak Gendut bercerita sekitar tahun lalu ia pernah mengalami kapal karam. Selama sehari semalam dia bertahan di laut lepas hanya berpegangan pada bangkai kapal yang terbalik itu. Katanya dari 12 orang yang ada di kapal itu, yang bisa selamat kembali ke darat hanya 11 orang saja. Satu orang hilang sebelum sempat diselamatkan.

Pak Gendut ini juga bercerita tentang masa lalunya, sekitar tahun 1992-1995. Sebelum menikah dengan Bu Wiji, Pak Gendut pernah bekerja sebagai penangkap lumba-lumba di kapal milik peneliti dari Australia. Dari ceritanya, saya berpikir bahwa Pak Gendut ini bisa saja kaya sampai sekarang. Waktu bekerja menangkap lumba-lumba itu, ia mendapat bayaran yang cukup besar. Gajinya Rp 50.000 sehari selama 3 tahun. Belum lagi bonus kalau mendapat lumba-lumba yang dapat dipakai penelitian Rp 100.000 per lumba-lumba. 

Bayaran itu sangat besar, mengingat makan dan hidup sudah ditanggung pemilik kapal juga harus diingat itu tahun di mana krisis keuangan belum mencapai puncaknya.

Lucunya uang itu bisa habis, lucu menurut saya. Ya, kehidupan nelayan memang keras. Setiap kali merapat selama 3 tahun tersebut, uang bayarannya bisa langsung habis. “buat foya-foya, Mas. Masih muda waktu itu”
Sekarang, Pak Gendut sudah tidak lagi foya-foya, tidak bisa. Ia jadi seorang bapak, dan suami yang bertanggung jawab. Bekerja apapun untuk membiayai hidup keluarganya. Mengantarkan anaknya ngaji, dan yang buat saya terkejut adalah Pak Gendut hafal beberapa ayat dalam Al-quran dan mengerti artinya. Sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.

Malam terakhir di Cilacap adalah malam yang membuat saya sangat terharu. Saya dan teman-teman yang selama di Cilacap berbincang dengan keluarga Pak Gendut diundang untuk “bakar-bakar ikan”. Ragil yang kebetulan bertemu di hari sebelumnya dipanggil oleh Bu Wiji “Gil, Agil.. Besok malem main ke gudang ya. Kalo dapet ikan nanti dibakarin ikan sama Pak Gendut”

Siapa yang menolak makan ikan bakar segar di pinggir dermaga di malam terakhir? Tidak ada. Tentu saja saya dan teman-teman memenuhi undangan itu.

Satu hal yang benar-benar menunjukkan kehebatan mereka sebagai seorang manusia yang utuh. Ini pikiran saya ketika diundang. Hari-hari ini adalah masanya paila atau paceklik ikan di Cilacap. Sebagai penjaga depot ikan, mereka hanya mendapat bayaran uang makan yang pasti setiap harinya Rp 10.000 saja. Nominal yang tipis dari kata cukup.

Hari itu untungnya depot kedatangan ikan tongkol cukup banyak setelah sangat lama tidak ada ikan. Mereka menyisakan 4 kg ikan tongkol untuk menjamu kami. Menjamu orang-orang baru yang mungkin belum bisa disebut “kenal”. Harga ikan tongkol itu bisa mencapai Rp 13.500 per kilogramnya. Kalikan saja 4 kg, hasilnya lebih dari Rp 50.000 kan. Andai saja ikan itu dijual kepada tengkulak, pasti mereka bisa mendapat penghasilan lebih besar. Tapi ternyata mereka ikhlas membakarkan 4 kg tongkol itu untuk kami.

Sedap sekali ikan bakar malam itu. ikan tongkol dibakar di atas tungku buatan sendiri dari kayu kering dan kulit kelapa kering. Dilumuri minyak goreng dan penyedap rasa, disajikan bersama kecap manis dengan rajangan bawang merah dan cabai. Pedas, mantap, apalagi malam itu hujan gerimis. Muka kami penuh peluh karena terlalu pedas. Sambil didongengi Pak Gendut dan Bu Wiji tentang pengalamannya selama hidup. Seru sekali mendengarkan perjalanan keras kehidupan mereka, karena logat Banyumasan-nya dan gurauan spontan yang dilontarkan.

Malam itu saya belajar tentang bagaimana berbagi yang sebenarnya. Berbagi dari kekurangannya, bukan berbagi dari kelebihan. Sampai sekarang hal itu masih sangat sulit saya lakukan sendiri. Saya masih bisa hidup enak di rumah, makan tanpa merasa sulit, tapi tetap saya masih belum mengerti bagaimana cara berbagi seperti itu. Saya bersekolah sampai perguruan tinggi dan saya harus belajar berbagi dari pasangan suami istri yang tidak pernah lulus SMP.

Mereka tidak pernah mengharap bantuan dari kami, sedikit pun tidak terlisankan keinginan itu. hanya doa dari saya untuk keluarga Pak Gendut agar kebaikan mereka mendapat balasannya apapun bentuknya. Lindungilah mereka dan biarkan mereka tetap menjadi guru untuk berbagi.