Jumat, 30 Januari 2015

Gara-Gara Panakawan


DI Sriwedari jadi Petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya jualan ciu cangkol 
dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
Nong ji nong roo... 

***
Untuk yang belum kenal, Semar dan ketiga adanya : Petruk, Gareng dan Bagong, dalam cerita pewayangan sering disebut dengan Panakawan (baca : ponokawan). Mereka adalah pelayan para ksatria. Keempat tokoh ini adalah penanda utama kisah pewayangan Nusantara. Mereka adalah pembeda bagi cerita wayang Nusantara dengan kisah pewayangan dunia lainnya. Merekalah yang membedakan wayang Nusantara dengan tayangan televisi yang sedang heboh disaksikan masyarakat Indonesia. Kamu tidak akan pernah menemukan sosok jenaka Semar, Petruk, Gareng dan Bagong selain di kisah pewayangan asli Nusantara.


Panakawan (atau banyak juga yang menyebut Punakawan) pertama dikenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu tokoh paling penting dalam penyebaran Agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Aku masih sangat ingat, tertulis di buku pelajaran sejarah, penyebaran Islam di Indonesia kebanyakan melalui jalan kebudayaan. Sunan Kalijaga menggunakan kisah pewayangan untuk menyebarkan paham dan ajaran Islam ke masyarakat Jawa.

Paling tidak ada dua kisah besar pewayangan, Ramayana dan Mahabharata. Kedua kisa ini pertama kali dibawa dari kebudayaan Hindhu-Budha dari India. Kita semua tahu kalau Nusantara dulunya menjadi tempat kejayaan kerajaan-kerajaan besar Hindhu-Budha karena letaknya yang strategis.

Belum ada listrik, bahkan belum ada sepeda, apalagi wifi – wayangan menjadi salah satu dari tidak banyak pilihan hiburan yang dimiliki masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu. D.I Yogyakarta, di tempatku tinggal, masih sering diadakan pertunjukan wayang kulit. Cukup banyak juga orang yang datang menyaksikannya. Tetapi biasanya dipenuhi oleh orang-orang paruh baya, atau malahan anak-anak kecil yang dibawa serta oleh orang tuanya. Sangat sedikit anak muda yang tertarik untuk menghibur diri dengan datang ke pertunjukan wayang kulit. Anak muda lebih suka menghabiskan semalam suntuk di cafĂ© dengan meminum milkshake atau cocktail daripada sekadar menghirup teh manis panas, atau wedang jahe sembari duduk lesehan mendengar uyon-uyon dari para pesinden dengan alunan gamelannya (pun berlaku untuk penulis)

Gara-gara (baca: goro-goro) menjadi babag paling menarik dalam sebuah pagelaran wayang kulit. Gara-gara ditandai dengan kemunculan para Panakawan. Dialog dalam gara-gara bisa sangat menyimpang dari keseluruhan cerita wayang pada malam itu. Semacam waktu istirahat dalam pertunjukan semalam suntuk itu. Sangat ringan, tetapi membawa pesan yang dalam. Biasanya juga, dhalang menyampaikan pesan moral lewat perbincangan jenaka di antara Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Dalam gara-gara jugalah Sunan Kalijaga memasukkan da’wah untuk menyebarkan ajaran Islam. 

Kini panakawan menjelma dalam berbagai macam wujud. Banyak yang membuat bentuk visualnya menjadi sangat kekinian. Tentu untuk mendekatkan keempat tokoh ini kepada kaum muda di Nusantara ini. Karena buatku menjadi penting untuk mengetahui bahwa Panakawan adalah empat tokoh penting yang jadi penanda kisah pewayangan Nusantara. Paling tidak kamu bisa dengan yakin bercerita apa sebab kisah wayang dari Nusantara dengan yang beredar di dunia. Jawabmu, "Beda gara-gara Panakawan!"


Panakawan, buatku mengajarkan banyak hal. Salah satunya adalah menertawakan kesusahan diri. Menerima segala manis dan pahit kehidupan untuk menjadi pribadi yang menerima kenyataan dan berusaha menghadapinya dengan ringan hati. Nilai hidup yang kebanyakan keluarga Jawa ajarkan turun temurun: pasrah dan nrimo.

-------------------------------------------------
sumber gambar :

Jumat, 02 Januari 2015

Merayakan Rasa Kebaruan



Aku selalu menunggu momen pergantian tahun. Entah kenapa, mungkin karena momen itu dekat dengan momen Natal. Dulu, sekitar sepuluh hingga lima belas tahun yang lalu, Natal dan Tahun Baru adalah saat-saat paling kutunggu-tunggu. Bukan hanya karena biasanya akhir Desember adalah libur sekolah, sehingga aku bisa berpuas-puas menonton televisi, karena biasanya televisi di rumahku tidak boleh menyala di malam hari untuk memberiku dan kakak-kakakku waktu untuk belajar, walaupun tidak jarang juga masing-masing dari kami menghabiskan waktu di dalam kamar untuk tidur-tiduran atau membaca buku komik sampai akhirnya lupa mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang kemudian diselesaikan pada pagi harinya di kelas sebelum guru mata pelajaran pertama datang ke kelas untuk mulai memberikan materi.

Seiring waktu terus berjalan momen Natal tidak lagi seistimewa seperti waktuku kanak-kanak. Aku sadar, kalau itu hari yang istimewa bagi kepercayaan yang kubawa sejak lahir ini. Akan tetapi suasana itu semakin hari semakin menjadi sesuatu yang sekadar dirayakan tanpa betul benar dirasakan. Malah beberapa waktu terakhir ini, perdebatan nyinyir segelintir orang tentang boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal tidak menambah baik suasana perayaan tersebut.

Berbeda dengan yang aku rasakan dengan tahun baru. Hingar-bingar perayaan tahun baru menjadi lebih melekat dalam memoriku. Padahal tahun baru bukan berasal juga dari kepercayaan keimananku. Tidak ada dogma, tidak ada kewajiban, tidak ada paksaan pada setiap orang untuk merayakannya. Tahun baru tidak sekadar perayaan hingar-bingar gegap gempita penuh orang yang bertempik sorak menghitung mundur detik-detik yang tidak pernah terpengaruh pada perayaan atau peringatan apapun. Detik jadi menit, melanjut jam - tetap, konstan - jadi konsep waktu yang disepakati oleh manusia untuk mereka bisa membedakaan hari ini, kemarin, besok, tulat, dan tubin - sekarang, tadi, nanti dan sebentar lagi.

Tahun baru buatku jadi semacam pembatas antara sudah melakukan banyak hal dan akan melakukan apa lagi. Momentum pergantian ini jadi semacam ruang dan waktu hampa antara kemarin dan esok. Saat ketika aku mencoba memanfaatkan 'saat ini' dengan merenungkan yang telah lalu untuk memasuki tahap khawatir dengan apa yang belum terjadi setelah ini.
...
Bersyukur. Tidak ada hal yang lebih baik kulakukan kecuali bersyukur dalam momen ini. Melihat sejenak perjalan tahun ini, apa yang sudah kuraih dan yang belum bisa - apa sudah kuselesaikan dan yang masih kutunda. Segala kepuasan dan kekecewaan, segala cabang yang harus dituntaskan dengan pilihan, seluruh kebimbangan yang berlanjut dengan keputusan - semuanya hanya bisa disyukuri sekarang. Ketimbang aku menyesali hal-hal yang tidak sesuai keinginanku, toh aku tak bisa lagi mengulangi saat itu, lebih baik aku bersyukur karena seburuk apapun keputusan yang kubuat, aku sudah bisa melalui tahun ini dengan keadaan yang tidak mungkin bisa lebih baik dan tidak lebih baik. Hidup cuma sekali, jadi percayalah segala yang sudah berhasil kamu lewati adalah keputusanmu yang terbaik.

Aku juga percaya bahwa bersyukur adalah cara untuk mendapatkan lebih banyak hal yang kemudian harus disyukuri lagi kemudian, buatku ini semacam sebuah lingkaran positif. Seperti perdebatan mana yang lebih dulu ayam ataukah telurnya? (Walaupun di kitab suci sudah tertulis jawabnya. Tuhan tidak pernah menciptakan telur). Bersyukur karena sudah mendapat banyak, atau bersyukur untuk mendapat lebih banyak? Atau mungkin kamu lebih suka sekadar bersyukur tanpa memikirkan kausalitasnya. Kamu bisa bersyukur pada siapapun (apapun?). 

Penafsiranku, bersyukur tidak selalu merujuk pada hubungan vertikal manusia dan Tuhannya. Bersyukur juga merupakan cara berkomunikasi pada diri sendiri, pada alam bawah sadarmu, pada hati nurani. Bersyukur, melepaskan segala beban yang selama ini sudah berhasil kubawa juga berarti aku memberi penghargaan pribadi atas segala kepuasan dan kekecewaan, segala cabang yang harus dituntaskan dengan pilihan dan seluruh kebimbangan yang berlanjut dengan keputusan.
...
Tahun baru dengan segala keriaannya selalu menyentak ditunggu. Menutup satu periode waktu dan bersiap untuk periode berikutnya. Menutup dengan bergembira supaya bersemangat pula membuka pagina yang baru. Detonasi bunga api yang membakar malam, menyisakan asap dan redusi padat belerang dan mesiu, turut berdentum juga dalam dadaku. Membakarku untuk mengerjakan sesuatu lebih baik lagi di kesempatan yang lain.

Kebaruan adalah sesuatu yang menyenangkan bagi para pecinta hal dinamis. Tidak ada yang tetap konstan kecuali waktu yang sudah terkonsepsi. Itu kenapa aku menikmati Tahun Baru dengan kegembiraan, dengan kesenangan. Bukan hanya sekadar merayakan kebaruan itu, merasakan juga kebaruan perlu juga dengan mengubah hal-hal lama yang perlu diubah, mengubah sesuatu yang baik jadi lebih baik. Terpenting satu rasa yang tidak boleh dilupa, syukur