Rabu, 12 Juni 2013

Separuh



Separuh wanita, separuh pria. Seorang wanita yang hidup “terjebak” di dalam raga pria. Mereka yang dianggap tabu dan dipandang menyimpang oleh lingkungan. Dijauhi secara sosial dan pandangan religius. Bahkan kadang keluarga pun tidak mau lagi menerimanya sebagai bagian di dalamnya. Belum lagi kesulitan mendapat kerja, baik di sektor formal maupun informal, itu yang membuat mereka kebanyakan menggantungkan nasibnya pada kerja-kerja yang lagi-lagi menjadi stereotype bagi tindakan menyimpang mereka. Tapi sadarkah kamu kalau mereka juga manusia, yang butuh makan, butuh teman, butuh ibadah? Mereka juga butuh merasakan cinta yang sama, dari keluarga, dari lingkungan pertemanan.

Di Thailand, banyak orang yang menjadi ladyboy. Melihat waria di sana adalah hal biasa, bahkan ada sekolah khusus bagi waria. Artinya bahwa kecenderungan menjadi seorang waria memang sudah terlihat dari awal, dan artinya juga di Thailand penerimaan mereka akan hal itu sudah sangat tinggi. Thailand adalah sebuah Negara kerajaan yang aktivitas religiusnya cukup tinggi. Tuhan dalam pandangan mereka adalah sempurna. Sempurna dalam arti segalanya. Tuhan tidak bisa hanya dipandang sekadar laki-laki atau perempuan. Tuhan lebih sempurna dari dua jenis kelamin tersebut. Tidak ada yang bisa menghakimi mana jenis kelamin yang benar dan belum tentu ada salah satu yang salah.

Menjadi seorang waria bukanlah pilihan, bukan juga penyakit. Kalau bisa memilih, sejak lahir mereka pasti akan memilih salah satu. Kalau itu penyakit, coba carikan dokter yang bisa menyembuhkannya. Mereka akan dengan senang hati menerima obatnya. Seperti yang dikatakan oleh Bu Maryani, seorang waria yang mendirikan pesantren khusus waria di sekitar Notoyudan.

Pesantren Waria ini adalah tanda harapan dari kaum waria. Harapan mereka untuk sebuah penerimaan. Penerimaan dari orang-orang sekitar. Penerimaan akan keberadaan dan keberibadahan waria. Bahwa waria juga punya hak yang sama dalah beribadah. Bahwa Tuhan menciptakan mereka sempurna juga adanya, tidak hanya separuh.

Para waria seperti yang sering berkegiatan di pesantren waria itu semacam dipaksa untuk terus hidup di lingkungan kota besar. Hampir tidak tersedia penerimaan yang cukup di lingkungan sekitar ketika mereka ingin tinggal di desa yang hubungan antarindividunya masih intim. Untuk itulah mereka berkutat di tengah kota besar, di mana mereka bisa “bersembunyi” dengan cara melebur dalam kehidupan kota yang semakin individualis. Pergi ke kota dan meninggalkan masa lalu mereka, di mana banyak orang yang mengenal mereka sebelumnya.

Tantangan generasi orang tua kita adalah tentang penerimaan keputusan yang berhubungan dengan masalah keyakinan. Orang tua dari anak muda di masa seperti ini masih banyak yang merasa keberatan ketika anaknya memutuskan untuk pindah agama, atau misalnya memilih pasangan yang tidak seiman. Sepertinya hal itu menjadi masalah besar bagi keluarga. Masalah besar bagi nama baik orang tua, bisa dianggap tidak berhasil mendidik anak sesuai ajaran agamanya.

Bisa jadi tantangan generasi muda saat ini di masa depan adalah menerima orientasi seksual anak kita kelak. Buatku, akan sangat sulit rasanya ketika anak lelakiku mendatangiku dengan perasaan cemas dan berkata, “Pak, aku gay”. Bisa jadi anakku akan melontarkan protes yang sama atas kekolotan orang tuanya dalam menerima keadaan. Bisa jadi, sangat mungkin.

“Bahwa Tuhan tidak pernah menghakimi, hanya manusia yang selalu berusaha menuhani manusia lain” – Bu Maryani

Senin, 03 Juni 2013

Ayo Pulang, Teman!

Kadang-kadang secara tiba-tiba pikiranku sering memikirkan tentang bagaimana negeri ini dapat dipandang secara positif. Setiap kali menyaksikan, mendengar, membaca berita sehari-hari tentang apa-apa saja yang terjadi di negeri ini selalu saja muncul alasan untuk sangsi dengan kemampuan negeri ini. Pejabat gila wanita, wanita gila harta, kelamin lelaki yang dipotong, hingga tuntutan kaum waria untuk diduakan.

Pemerintahnya, masyarakatnya. Mahasiswa (sok) menjadi agen perubahan dengan teriakan lantang di hadapan gedung MPR, bertampang sangar dan menjadi jagoan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap menyengsarakan rakyat kecil. Kebijakan yang dirasa hanya menguntungkan satu pihak saja. Tapi di sisi lain, untuk menghormati sebuah peraturan kecil pun tidak dilaksanakan, “membuang sampah di tempatnya,” misalnya. Pemerintahnya merasa selalu benar dan apa yang dilakukannya menjadi apa yang dirasa dibutuhkan oleh rakyatnya.

Mereka yang di kursi pemerintah sana, kamu, dan aku juga sama saja. Tidak ada yang ingin disalahkan dalam setiap permasalahan. Lagipula siapa yang mau?

Masalah-masalah seperti itu yang rasanya membuat negeri ini sudah semakin miskin dalam penanaman rasa ingin “pulang”. Banyak sekali anak muda yang lahir dan besar di negeri ini, makan dan mencari bekal ilmu sampai dirasa cukup di negeri ini kemudian pergi keluar negeri. Mencari ilmu dan masa depan yang lebih cerah, katanya, untuk dirinya sendiri. Mereka tinggal di negeri orang, dengan keadaan yang jauh lebih baik. Tapi tidak banyak yang ingat pulang. Padahal menurut saya, negeri ini sangat membutuhkan kepulangan anak muda dengan berjuta ide dan inovasi seperti itu.

“Kenapa harus pulang kalau negara tidak menghargai kemampuanku?” Kalau tujuan pulang memang untuk mencari penghargaan, rasanya memang masih sulit. Tapi tujuan pulang untuk membawa perubahan itu harus diakui memang lebih sulit. Jadi kenapa tidak pulang? Kalau alasanmu adalah mencari tantangan di luar negeri, Tanah airmu punya tantangan yang jauh lebih besar untukmu. Tanah ini tidak akan pernah kurang menyediakan tantangan bagi anak mudanya.

Apa kamu tidak merasa punya hutang hidup bertahun-tahun menginjak tanah ini, minum dari mata air gunung kepulauan ini, makan beribu ikan dari laut negeri ini, dan menghirup oksigen dengan segala campurannya dari udara di sini? Walaupun dengan segala masalah, sakit, dan derita juga. Tapi siapa yang tidak punya masalah?
Jadi sebetulnya negeri ini butuh makin banyak orang untuk pulang. Untuk kembali ke rumah. Untuk memanfaatkan ilmunya di tanah air. Untuk membawa perubahan. Ayo pulang, teman!