Kamis, 29 November 2012

Dilema Nation Building


Seminggu yang lalu, selama lima hari, saya mengikuti sebuah rangkaian acara Nation Building Beswan Djarum di Semarang. Selama lima hari itu juga saya bertemu dengan lima ratusan teman dari seluruh Indonesia yang sama-sama menjadi penerima beasiswa dari Djarum Foundation. 

Ya, saya bangga berkesempatan menjadi salah satu bagian dari Beswan. Sejak dari SMA saya sering melihat iklan Beswan di televisi, dan sejak saat itu saya selalu ingin bisa bergabung. Ternyata setelah melalui beberapa tes, saya benar bisa mewujudkan lagi satu keinginan saya. Yang membuat saya lebih senang adalah paling tidak selama setahun ke depan, saya tidak (terlalu) tergantung pada curahan finansial dari Ibu dan kakak kakak saya. Sejak Bapak saya hanya bisa dirindu tanpa pernah kembali, saya selalu ingin untuk bisa belajar mandiri. Tidak tergantung.



Selama lima hari saya dan 500an teman yang lain mendapat pengalaman yang menyenangkan. Selalu bersama teman, tidur di hotel mewah, naik bus yang selalu dikawal voorijder. Pengalaman yang mungkin untuk sebagian peserta adalah yang pertama kalinya. 

Di balik kegembiraan dan euforia selama mengikuti Nation Building sebenarnya ada kegelisahan dalam pemikiran saya. Lagi-lagi saya merasa latar belakang ilmu sosiologi yang saya pelajari ini membuat saya skeptic dan cenderung sinis. Kadang saya merasa ilmu yang saya pelajari ini sangat “kiri”. Punya mimpi membantu orang-orang tertidas sekaligus orang-orang yang sewenang-wenang. Hal-hal kecil yang bisa jadi kadang mengganggu tetapi saya syukuri bisa peka terhadap hal tersebut. Untungnya adalah selalu ada tuntutan untuk selalu menjadi obyektif dalam memandang semua hal.

Akan saya bagikan kegundahan dan kegelisahan yang saya rasakan itu. Ilmu Sosiologi yang saya pelajari sangat dekat dengan ajaran Marx. Dia adalah salah satu dedengkot ilmu sosial yang sangat brilian, cenderung gila menurut saya. Dia adalah pejuang kaum proletar, pejuang bagi mereka yang tidak punya akses untuk mencapai impiannya. Dengan segala daya dan upaya dia menjelaskan sudut pandangnya tentang kebusukan system kapitalisme yang mengungkung seorang manusia dalam kerja yang merugikan diri tapi menguntungkan system. Mudahnya, dia adalah pejuang kaum buruh yang tereksploitasi.

Dalam satu kesempatan, 500 penerima Beswan Djarum ini dibawa melihat keadaan pabrik rokok milik PT. Djarum di Kota Kudus. Kami semua berkunjung ke SKT atau Sigaret Kretek Tangan. Pabrik ini berisi ribuan orang yang bekerja melinting rokok kretek yang menjadi komoditas PT. Djarum. Dimulai dari hitungan ini :
           
Ada 5000 orang pekerja dalam satu ruangan SKT setiap shift kerja yang kesemuanya adalah perempuan. Setiap pekerja dapat membuat kurang lebih 2000 batang rokok dalam satu shift yang biasanya 6 jam. Kalau asumsinya harga per batang rokok adalah Rp 800,00 maka setiap orang akan menghasilkan rokok seharga Rp 1.600.000.

Rp 1.600.000 itu dikalikan dengan jumlah pekerja di SKT, hasilnya Rp 8.000.000.000 per hari, per shift. Saya tidak tahu pasti ada berapa shift dalam sehari. Tapi anggaplah ada 2 shift saja per hari, berarti ada barang seharga Rp 16.000.000.000 Itu adalah hitungan omset kotor PT Djarum setiap HARI. Seminggu? Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun?  Banyak? Hitung sendiri.

Sedangkan pekerjanya? Kalau sehari dia bekerja satu shift, dan selama satu minggu dia bekerja 5 kali berarti barang yang dihasilkannya adalah Rp 1.600.000 dikali 5 kali kerja, Rp 8.000.000 seminggu, Rp 32.000.000 sebulan. Gaji yang didapatnya? Tidak mungkin lebih dari UMR Jakarta sebesar Rp 2.200.000. Ada selisih kurang lebih Rp 30.000.000 dari apa yang dihasilkannya dengan yang didapatkannya. Setiap bulannya, dan berkali lipat kalau dihitung per bulan dst.

Sisi baiknya, pabrik SKT di Kota Kudus itu menurutku jauh lebih manusiawi daripada pabrik-pabrik lain yang pernah saya lihat di TV atau film semacam “Ruler of The World” karya John Pilger. Pabrik PT. Djarum itu terbuka, udara dapat dengan mudah bersirkulasi, terang karena masih ada sinar matahari yang bisa masuk.

Masalahnya, memang tidak mungkin kalau pekerja mendapat upah sesuai dengan apa yang dihasilkannya. Dari mana perusahaan dapat terus eksis kalau tidak punya profit? Itulah yang membuat saya menjadi lebih gundah lagi. (Hampir) Tidak ada yang bisa dilakukan dengan system yang terjadi sampai sekarang.

Dari hitungan kasar tadi saja, bisa dibayangkan besar profit yang dihasilkan oleh PT. Djarum. Tidak heran kalau mereka menjadi salah satu perusahaan terkaya di Indonesia. Untuk apa saja profit besar tersebut? Salah satunya adalah untuk memberikan uang saku bagi para Beswan. Bisa jadi uang sebesar Rp 750.000 yang kita dapat setiap bulannya, plus bekal lain yang tidak kita dapat dalam bentuk uang besarannya lebih daripada yang didapat oleh para pekerja di pabrik SKT. Padahal siapa yang berkontribusi besar bagi perusahaan? Beswan? Jelas bukan. Kita hanya penerima, belum jadi pemberi.

Apa kita bisa membantu kehidupan para pekerja? Tidak, secara langsung. Tapi paling tidak kita bisa menghargai kerja mereka dengan menggunakan beasiswa dengan sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya seperti apa? Cuma pribadi teman-teman sendiri yang bisa menjawabnya. Dan salah satu kesempatan terbaik kita adalah dengan menyelenggarakan Community Empowerment secara maksimal. Katanya kan kita “generasi yang membanggakan bersama Beswan Djarum”. Hahaha :D


Senin, 05 November 2012

Marah

Marah adalah suatu saat di mana kamu memandang rendah orang lain dan menganggap diri bisa melakukan sesuatu dengan lebih baik. Dengan marah kamu memposisikan diri berada di atas daripada yang lain. Ketinggian hatimu yang mendominasi. Itu kenapa dalam cerita, orang rendah hati selalu digambarkan dengan orang yang tenang dan tidak mudah marah. Karena dirinya tidak mau memposisikan diri berada di atas orang lain. 

Kesalahan tidak selalu membuat seseorang dapat begitu saja direndahkan. Karena pada dasarnya setiap orang tidak bisa memandang dan dipandang rendah, sekaligus merasa tinggi daripada yang lain 

Sabtu, 06 Oktober 2012

Bukti Bakti

Hawa segar yang kadang ditiup angin dingin di sekitaran lereng Gunung Merapi selalu menemani langkah Mbah Wijiharjo setiap harinya. Mbah Wijiharjo tinggal di Dusun Ngetehan, letak tepatnya ada di Pakem, Sleman, tidak terlalu jauh dari Museum Gunung Merapi. Dusun tempat tinggal Mbah Wijiharjo ini adalah sentra tanaman bunga krisan dan juga letak peternakan kambing etawa yang cukup terkenal.
Mbah Wijiharjoharjo, begitu ia diminta untuk disebut, walaupun sebenarnya ia bernama Karsih. Wijiharjo adalah nama suaminya. “Lha kalau sudah jadi suami istri kan nama istrinya ikut nama suami,” kata Mbah Wijiharjoharjo menjelaskan menggunakan Bahasa Indonesia yang fasih dengan logat khas pedesaan Jawa. Tidak banyak orang seusia Mbah Wijiharjo yang tinggal di pedesaan yang dapat berbahasa Indonesia dengan cukup lancar. Ia bisa dengan baik berbicara bahasa Indonesia karena sewaktu kecil sempat bersekolah dan lulus dari Sekolah Rakyat[1]. Mbah Wijiharjo tidak ingat berapa usianya saat ini, tapi ia masih ingat betul kalau tahun 1950 adalah tahun ia lulus dari Sekolah Rakyat.


Mbah Wijiharjo tinggal di sebuah rumah kecil, sudah bertembok tapi terasa lembap di dalamnya. Mungkin karena kurang ada cahaya matahari yang bisa masuk ke dalam rumahnya. Dapurnya masih tradisional, tanpa kompor. Hanya ada tungku kayu untuk memasak dengan lubang di atapnya untuk jalan keluar asap dari pembakaran kayu. Rumahnya hanya ada tiga ruangan, gelap, dan kamar mandinya ada di luar rumah dekat sumur. Perabotnya banyak yang sudah tampak rapuh. Rumahnya memang bukan seperti rumah nyaman yang biasa dibayangkan oleh orang kebanyakan, tapi di sinilah ia tinggal bersama dengan suaminya.
Ketika masih muda dulu, suami Mbah Wijiharjo adalah seorang tukang kayu. Seorang tukang kayu yang melanglang buana kata seorang tetangganya, Bu Sigit, yang sambil bergurau minta dipanggil sebagai “Kanjeng Ratu”. Kata Kanjeng Ratu juga, usia suami Mbah Wijiharjo sama dengan Pak Harto jika masih hidup sekarang. “itu suaminya simbah lahirnya sama persis sama taun lahirnya Pak Harto,” ucap Kanjeng Ratu dengan bersemangat. Sejak dulu Mbah Wijiharjo sering tinggal sendiri di rumah selama suaminya bekerja berpindah-pindah tempat ke Sumatera, Kalimantan, dan sempat cukup lama menetap di Cilacap. Mbah Wijiharjo adalah istri kedua dari suaminya. Mereka tidak dikaruniai anak dari pernikahannya ini. Oleh karena itu maka keduanya mengangkat seorang anak. Ditambah dengan seorang anak dari pernikahan pertama suaminya jadilah Mbah Wijiharjo tinggal berempat, dulu.
Sekarang ini Mbah Wijiharjo selama sudah lebih dari lima tahun belakangan harus memanggul “beban” yang lebih, setelah suaminya jatuh sakit karena usianya yang sudah sangat renta. Sekarang sang suami hanya bisa terbaring di atas dipan kayunya dengan alas kasur kapuk yang sudah semakin tipis. Keadaannya yang sudah seperti itu membuat mbah Wijiharjo merasa sedikit terbebani. “Ya kadang suka menyesal,” katanya berkomentar mengenai keadaan suaminya. Penyesalan akan kondisi suaminya sekarang sama sekali tidak mengurangi semangat setianya. Kejujurannya tentang perasaan itu toh tidak juga membuat Mbah Wijiharjo kemudian menyerah pada keadaan. Ia masih terus setia mengurus suaminya sambil terkadang ditemani oleh anak angkatnya.
Setiap hari Mbah Wijiharjo harus mengerjakan tugas rumah tangga sendiri. Mulai memasak makanan untuk dirinya, mengambil air dari saluran air di depan rumahnya, sampai mengangkut kayu untuk dikeringkan yang selanjutnya dijadikan kayu bakar di dapurnya. Mbah Wijiharjo juga harus meladeni suaminya. Menyiapkan bubur bayi untuk makan suaminya setiap siang dan sore, sampai mengantarkan ke kamar mandi. Semuanya dijalani oleh Mbah Wijiharjo demi bakti pada suami yang dicintainya, suami yang berdua mereka telah mengikatkan janji sehidup semati.
Bagaimana pun juga, Mbah Wijiharjo tetap menjalani kehidupannya tersebut dan yang penting tetap menikmatinya. Mbah Wijiharjo ini adalah seorang yang sangat murah senyum, kalau istilah Jawanya sumeh. Dalam setiap cerita yang dilontarkannya selalu saja ada senyum yang menunjukkan garis-garis keriput di wajahnya tampak jelas terlihat. Garis wajah yang menggambarkan ketegaran dalam hidupnya. Teringat ketika Mbah Wijiharjo bercerita tentang ketika harus menolong suaminya pergi ke kamar mandi. Karena suaminya sudah tidak dapat lagi beraktivitas sendiri, Mbah Wijiharjo harus selalu membantunya melakukan apapun. Mbah Wijiharjo sering tidak kuat ketika harus memapah suaminya itu seorang diri ke kamar mandi. “Ra kuat. Trus yo mung nyendher tembok karo bengak-bengok njaluk tulung karo tanggane,” kata Mbah Wijiharjo lagi-lagi dengan ditemani tawa kecil darinya. Setianya terhadap suami seharusnya bisa jadi panutan nyata bagi semua orang yang mengenalnya.
Perasaan miris muncul ketika menemukan banyak kesetiaan yang ditunjukkan oleh seorang “cilik”, seperti Mbah Wijiharjo. Kepada suaminya, ia masih tetap mencintai dan memegang janji setianya tanpa pamrih. Padahal di dalam negeri yang sama, para penguasanya selingkuh terhadap rakyatnya sendiri, ironis. Janji yang terucap dulu ketika berusaha duduk di kursi pemerintahan hanya berhenti sampai di sana, sampai pada sekadar ucapan. Tak lebih. Janji setia untuk menjadi pelayan malahan menjadikan diri sebagai penampung harta kekayaan. Para penguasa yang selingkuh dengan uang yang membuat lupa pada ucapannya tersebut.

 “Nek wong gedhe konangan selingkuh malah kondhang
Nek wong cilik sing konangan diarak telanjang
Apa kaya ngene jeneng negara berjuang
Segala sesuatu ditentukan dengan uang”[2]

Janji bukanlah suatu hal yang mudah untuk ditepati, tapi bukan berarti setiap orang layak menjadikannya bisa dikebiri. Membuat sebuah janji bukanlah hal yang mudah, tetapi berusaha untuk menepati janji akan jadi jauh lebih sulit. Sosok Mbah Wijiharjo mengajarkan tentang kesetiaan dan usaha untuk menepatinya. Sikap yang sudah semakin miskin tinggal dalam hati kebanyakan orang di masa ini. Beruntunglah masih bisa menjumpai Mbah Wijiharjo yang membuktikan setianya, menunjukkan bakti seorang istri pada suami yang tidak lekang dimakan waktu, tidak habis dihapus usia.



[1] Sekolah pada masa Kolonialisme yang setingkat Sekolah Dasar. Menghabiskan waktu enam tahun untuk lulus.
[2] Ora Cucul Ora Ngebul ­– Romo Sindhunata

Sabtu, 29 September 2012

Berhati-hatilah (Mengenang G30S)

Hati-hati dengan tetangga yang tiba-tiba enggan menyapa, hati-hati dengan anjing gila yang menyerang membabi-buta,  hati-hati dengan badut yang berbaik hati menyajikan pertunjukan gratis, hati-hati dengan pintu dan jendelamu.

Bisa jadi ketika kamu bangun nanti sudah ada tanda merah di atap rumahmu. Waspadalah saja, itu yang dibutuhkan saat ini. Coba ingat-ingat dengan siapa saja kamu bertemu belakangan ini, di mana saja kamu pernah menari di hadapan orang banyak, buku dan bacaan apa yang kamu simpan di bawah ranjangmu. Semuanya bisa jadi bahan untuk menuduhmu membahayakan negara.

Kalau memang kamu temukan pamflet partai itu di dalam tas kanvasmu, atau kamu pernah menari untuk tentara merah itu, atau kamu punya musuh yang ingin menjeratmu dengan tanda di jendela rumahmu, pergilah yang jauh! Jangan kembali pada keluargamu. Tinggalkan pasanganmu, anak, bapak, dan ibumu. Bahkan juga tinggalkan Om, dan Tantemu. Karena bisa jadi kamu membawa mereka pada hal yang mereka tidak mengerti. Oh iya, bahkan kamu tidak mengerti. Tapi yang jelas, pergilah!

Mungkin kalau kamu tertangkap nanti, kamu akan langsung ditembak. Bisa jadi lehermu diikat bersama orang-orang yang kamu temui sudah dengan memar dan darah di sekujur tubuhnya, diperintahkan menuju sebuah lubang dan DAR! Bisa jadi kamu menyesal punya payudara dan vagina seperti yang diceritakannya padaku.


Ini malam, tanggal 30 September 2012. Empat puluh tujuh tahun yang lalu, beberapa orang sedang berkumpul menjalankan aksi penculikan hingga terbunuhnya para jenderal yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi. Mereka bisa jadi anggota PKI seperti yang telah puluhan tahun dituduhkan atau mungkin sama sekali bukan. Pastinya, mereka telah jadi bagian dalam sejarah negeri ini. Sejarah yang menjadi tonggak perubahan besar dalam usia hidup negeri ini.

Ketahuilah, bisa jadi kejadian mirip seperti ini terulang. Belajar dan waspadalah! Bisa saja kamu yang jadi tertuduh saatnya nanti.

Jumat, 28 September 2012

Masa Lalu

Kalau ditanya apa aku mau kembali ke masa lalu? Jawabku pasti tidak.

Beberapa hal yang sudah lewat mungkin tidak dapat diperbaiki, tapi yang pasti semua bisa dihadapi.

Tahu kenapa spion itu kecil dan fleksibel bergerak?
Supaya kita bisa mengarahkan sudut pandang yang sesuai dan melihat ke belakang sedikit saja. hanya untuk memastikan semua yang dari belakang tidak mengganggu jalan. Sama seperti masa lalu

Selasa, 17 Juli 2012

Anwesha

This night, I watched a beautiful performance at Padepokan Bagong Kusudiardjo. "Anwesha" by Maya Dance Theater LTD.

"Anwesha" is a dance performance. Tells a part from Ramayana story about Shinta who can't express her feeling because of her status. As a king's wife, Shinta has to obey all of the rule in the palace. She is silenced by the rules. This performance is a collaboration of seven persons from three countries : Indonesia (Bali dance), Malaysia, and Singapore. With simple lighting and simple stage, "Anwesha" still a lovely performance for me. 

I took some pics use my Canon Ixus 230 :D









Sabtu, 07 Juli 2012

Something New

The last three days, I met with some new friends that they doesn't speak bahasa. I never feel confidence to use English to chat with my friend, or everyone I know, till now. I think English is just an instrument of people communication, like the other language, even body language. When I know what do you want to tell me, and you know what I mean, it's all okay.

Two days ago, i was invited by my De Britto's teacher to go to PPSJ. She asked me to accompany a group of students from Holland. I ask my friend, Ragil, to go with me. We went to PPSJ by motorcycle because we late. Actually, we have to came to De Britto at 6.00 o'clock and I just woke up at 6.00 too.

Those students from Holland came to Indonesia to learn about the culture and social life here. They came here with a organization in their country, Global Exploration. Global Exploration is an organization non profit, they have a mission to introduce culture and social life from periphery countries.

I met two beautiful and friendly girls, Heleen Bosch and Eva Haanen. We shared about a lot of thing. About our family, about their activity before we met, and next plan with Global Exploration. On Monday they will fly to Borneo and do many activity on Kampung Dayak. They told me that they do love Indonesia and they want to come back here again someday.

I chat with Eva. and  Ragil with Heleen
De Britto + Global Exploration

This day, I met other "bule" again. This time, I watched three films by 7 students from Nourish International. They came to Indonesia to do internship at Kampung Halaman. They made films with 3 communities in Jogjakarta exploring the power of participative media production, and this night was the films screening. I didn't have much time to chat, but we did a short discussion about their films.

Screening "Kita Belajar"
Daniel, Nicole, Kevin, Amirah from North Carolina
The point is, I feel more confidence to use this language now. Before two days activity I always afraid to talk with other people who don't use bahasa. I realize that my structure of this writing is bad, so I have to learn more and more to be better. At the end I have to say thanks to all of my new friends and also people who gave me this opportunity, so I can enjoy new learning experience.

Sabtu, 30 Juni 2012

Detaknya Masih Bedegup Dalam Denyutku

Rindu itu artinya menunggu yang tak kembali. Hari ini berati menjelang enam tahun saat Bapak mulai dirindu. Dirindu olehku, ibu, kedua kakakku, dirindu semua. Waktu terus berlalu dan sampai sekarang aku merasa dia tetap hidup. Tidak pernah dia akan mati. Karena semangatnya. Semangatnya hidup kekal dalam rindu semua muridnya. Hidupnya kekal di surga setiap benak sahabatnya. Dan memorinya selalu tertanam dalam hati keluarganya.

Semakin kemari, semakin aku berpikir kalau memang tidak ada lagi yang mungkin dilakukan untuk membuat raganya hidup lagi. Orang harus mengakui kalau mau tidak mau nafasnya di dunia ini akan terhenti. Untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain di sampingnya, semuanya sama. Pada akhirnya jadi debu. Tidak ada lagi yang mungkin dilakukan untuk membuat raganya hidup lagi, tapi selalu tersedia berjuta kemungkinan untuk membuat karyanya kekal dikenang.

Bagiku setiap hari dia selalu bisa memberi inspirasi. Untuk setiap karyaku, langkahku, bahkan sekadar lamunku. Rasanya menyenangkan bisa seperti itu. Punya sumber inspirasi yang tak pernah mati, bahkan dalam waktu enam tahun tak bertemu.

Beberapa hari belakangan, jantungku lebih terasa berdetak keras, ada banyak rasa bercampur yang tidak terjelaskan. Mungkin sombongku tidak pernah mau mengaku rindu, tapi ya mungkin ini rindu. Kemudian tadi pagi kakak laki-lakiku mengatakan, "probably because he lives in you" untuk menjawab pertanyaanku kenapa Bapak tidak masuk di mimpiku sedangkan ia masuk di mimpi beberapa yang lainnya. Jawaban itu semacam sekaligus menjawab mengapa jantungku lebih keras berdetak. Karena detak jantungnya masih bedegup juga dalam setiap denyutku.



We miss you, Pak. Always.

Rabu, 20 Juni 2012

Rasanya Masih Sama

Printed Artwork by Iwan Effendi. 

Mungkin lebih dari lima kali saya menyaksikan pertunjukan ini, dan sudah puluhan kali melihat proses latihannya. Mulai dari Tupu, Moyo, Baba, Haki, dan Lacuna belum “lahir” sampai mereka tumbuh dan berubah penampilannya. Mulai dari Tupu yang dilihat sebagai anak perempuan, sampai Tupu yang sudah bisa pipis berdiri. Mulai dari suara asli kotak musik Lacuna dipakai untuk latihan pertama kali sampai menjadi lagu yang selalu terngiang di setiap pentas dengan diiringi dengan tarikan nafas sesenggukan penontonnya.

Masih selalu sama rasanya melihat adegan-adegan itu. Iba luar biasa. Rasanya ingin sekali melihat Tupu tertawa lebih banyak, rasanya ingin sekali membantu Moyo mencari Babanya, dan masih saja selalu kecewa karena tidak bisa mengingatkan Lacuna supaya tidak bermain-main dengan peluit milik Tupu itu.
Mwathirika memang seperti benar-benar nyata, benar-benar ada dunia lain yang penghuninya adalah keluarga Baba, dan Haki yang bertetangga, anjing lincah yang taringnya sangat besar, badut yang tampak ramah tapi menyimpan kepentingan politis yang besar. Semuanya benar nyata telah dihidupkan di mana pun mereka dipentaskan.

Rasanya tidak bisa mengatakan, “padahal mereka hanya boneka.” Ya, mereka memang boneka, tapi tidak menjadi sekadar “hanya”. Rasa kagum masih selalu ada ketika semua pemainnya berhasil menghembuskan nafasnya untuk menghidupkan gerak para boneka. Tidak heran kalau US Department dan Center Stage memilih Papermoon dengan Mwathirika-nya untuk dipentaskan di Amerika Serikat. Mereka tidak akan pernah menyesal jika harus menghabiskan banyak dana untuk mendatangkan Geng Papermoon ini.

Pentas di Bandung kali ini membuat saya menjadi semakin tidak bisa bicara terlalu banyak. Dengan material baru dan kematangan karakter yang semakin baik tidak ada rasa bosan dalam diri saya sampai sekarang saya selalu menjadi penonton dalam pentas ini. Dan ketika rasa yang sama masih selalu timbul ketika melihat tontonan yang selalu sama itu adalah luar biasa.

Perjalanan menghidupkan dunia Mwathirika ke benua seberang semakin dekat, masih banyak yang direncanakan sebelum benar berangkat ke sana. Semoga rasa yang muncul masih akan selalu sama dirasakan oleh semuanya. Semoga juga pesan yang ingin disampaikan Tupu, Moyo, Baba, Haki, dan Lacuna lewat kisah hidup mereka diterima dengan baik juga oleh semuanya. Terimakasih Mwathirika!

Senin, 09 April 2012

Donna, Gie, Donna!


Setelah kesekian kalinya saya menonton film tentang pergerakan mahasiswa Indonesia yang dipimpin oleh Soe Hok Gie, Seorang Tionghoa yang sangat kritis menentang Soekarno di akhir kepemimpinannya. Ada hal yang tiba-tiba menarik perhatian saya saat menonton film “Gie” kali ini. Satu adegan saat ada malam keakraban di kampus, Ira, yang diperankan oleh Sita Nursanti menyanyikan folks song yang terkenal saat itu. “Donna Donna” lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Joan Baez ini kata Ibu saya adalah lagu wajib mahasiswa pecinta alam di masa itu. Jadi memang wajar sebenarnya kalau lagu ini dipilih untuk menjadi soundtrack film “Gie”. Tapi waktu itu saya merasa harusnya ada hal lain yang berhubungan dengan setting film itu.

Bertanya pada Google yang mahatahu, saya menemukan hal-hal yang sangat menarik untuk dapat menjelaskan rasa penasaran saya. Mungkin ini hanya pikiran sok tau saya saja atau memang ada hubungannya, saya tidak bisa meyakinkan kecuali saya bertanya langsung pada sutradara atau music scoring film “Gie” itu. Ada simbol-simbol yang bisa dijelaskan dan ternyata berhubungan dengan keadaan politik Indonesia di tahun 1960an tersebut.

Kata Ibu saya, “Donna Donna” itu memang sangat terkenal di tahun-tahun sekitar 1960. Apalagi di kalangan mahasiswa pecinta alam di Indonesia. Hampir di setiap acara pecinta alam, di camp saat mendaki, mereka menyanyikan lagu itu. Kata Ibu mirip sepert lagu wajib pecinta alam. Dan seperti yang sudah saya tuliskan tadi bahwa folks song sedang menjadi hype. Joan Baez adalah seorang ratu folks song tersebut, maka jadilah ia sangat terkenal.

Lirik lagu itu menceritakan tentang anak lembu yang dipekerjakan oleh petani dan berakhir pada penyembelihan. Lembu atau kerbau, yang saya ketahui dalam tradisi suku-suku di Indonesia juga adalah hewan yang biasa dijadikan pekerja atau hewan sembelihan. Kecuali di Solo dengan kebo bule-nya seperti itulah nasib lembu atau kerbau.

Lembu tidak bisa melawan majikannya, ia diikat dan selalu dipaksa untuk bekerja. Membajak sawah, memutar penggilingan gandum dalam pembuatan mie secara tradisional, itu tugas kerbau. “Stop complaining!” said the farmer”. Kebo saja tidak bisa melawan apalagi gudel (anak kerbau dalam bahasa Jawa). Dan yang dibahasa dalam lirik lagu “Donna Donna” adalah calf bukan buffalo. Menurutku ini sebagai ungkapan ekstrim yang menjelaskan keadaan kaum yang teraniaya. Pada akhirnya lembu yang tidak produktif atau mecoba melawan berakhir pada penyembelihan itu. “Calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why.”

Lembu yang terikat pada cincin yang ditusukkan ke hidung, membuatnya harus patuh dan tidak dapat melawan. Kehidupan kaum buruh di masa itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia kebanyakan. Pengaruh politik PKI dan koalisinya dengan Soekarno membuat paham komunis cukup kuat tertanam pada akar kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat juga tidak ubahnya seperti lembu yang terikat. Harus patuh dan tidak dapat melawan. Kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya membatasi gerak masyarakat untuk meperoleh kebenaran dan menyuarakan kebenaran, karena semuanya dibungkam.

Perhatian saya pribadi tertuju pada keadaan politik di setting film tahun 1960an. Politik pada masa itu identik dengan pergerakan PKI, kedekatannya dengan Soekarno, serta gerakan “menghilangkan” segala unsur PKI di Indonesia. PKI bergerak membela kaum buruh, kaum yang tereksploitasi. Ketika mereka berupaya untuk sadar akan kondisi kelasnya mereka dibungkam bahkan dihancurkan. PKI waktu itu dituduh sebagai dalang pembunuhan 8 jenderal yang kemudian menyulut emosi seluruh masyarakat Indonesia. PKI sebenarnya bergerak membela kaum tersingkir, kaum buruh.

Soeharto dengan cerita-ceritanya kemudian menanamkan kebencian terhadap PKI dan ajaran komunisnya. Melalui buku sejarah yang dipakai untuk kurikulum sekolah, film tentang G30S/PKI yang setiap tahun selalu ditayangkan di televisi kebencian itu dipupuk dan dilestarikan. “Reproduksi stigma adalah alat politik. Soeharto dianggap pahlawan karena dia berhasil memproduksi stigma terhadap PKI tersebut.” (Arie Sudjito, 22 Maret 2012).

Kemudian yang terjadi adalah banyak kasus yang menceritakan tentang kesewenang-wenangan tentara dalam menghancurkan PKI. Mereka yang terlibat atau dianggap terlibat atau dituduh terlibat menghilang begitu saja. Dari buku yang saya baca “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65” hasil penelitian Ita F Nadia, mantan anggota Komnas Perempuan, juga diceritakan pengalaman mereka yang dituduh menjadi anggota Gerwani. Perkosaan fisik dan mental harus mereka alami. Pelakunya? Para tentara yang menangkap mereka atas nama komando. Ini hal yang ingin disampaikan pada lirik Calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why.” Mereka kemudia ditindas lebih jauh tanpa tahu apa alasannya. Mereka menjadi hanya menjadi orang yang tertuduh, walaupun tidak semuanya benar.

Mengulang lagi mengenai tulisan ini, saya tidak yakin ini pemikiran sok tahu saya yang sok menggabung-gabungkan lagu dengan fakta atau memang ini benar. Jadi jangan langsung percaya dengan apa yang kamu baca, dan jangan langsung menghakimi siapa pun juga. Karena jadinya hanya akan mengulang sejarah kehilangan, sejarah kelam yang pernah dilalui oleh bangsa ini di tahun 1960an. Sejarah yang seharusnya dipahami dan bukan langsung dianggap sebagai kebenaran mutlak dari para penguasa.


Senin, 19 Maret 2012

Brani Turun ke Jalan, Rapatkan Barisan

Hari ini, setelah sekian lama tinggal di Negara yang menjunjung tinggi demokrasi ditunjukkan dengan banyaknya demonstrasi masyarakatnya, akhirnya saya mendapat kesempatan melihat demonstrasi tersebut. Yah walaupun agak terlambat, tapi saya masih bisa melihat sisa-sisa keramaian yang disebabkan oleh demonstrasi mahasiswa tersebut.


Demonstrasinya adalah tentang menuntut pasangan pemimpin Negara SBY – Budiono mundur dari jabatannya karena dianggap telah gagal memajukan Indonesia. Issue yang diangkat adalah tentang kenaikan harga BBM yang akan dimulai per tanggal 1 April 2012.

Bukan tentang setuju atau tidak setuju saya dengan kebijakan dari presiden itu, saya lebih ingin berbagi tentang apa yang saya rasakan terhadap apa yang disebut mengekspresikan aspirasi terhadap pemerintah, demonstrasi.

Sebenarnya kadang saya merasa kasihan dengan para mahasiswa yang berpanas-panas berdiri, berteriak di bawah terik matahari. Masih lagi menambah panas dengan membakar. Membakar ban bekas, membakar foto sang pemimpin, membakar amarah pasukannya. Usaha-usaha seperti itu sampai sekarang masih tampak sangat sia-sia. Entah karena pemerintah yang kelewat tutup telinga, dan matanya. Atau memang karena cara menuntut dengan berteriak itu sudah tidak relevan. Untuk didengarkan dan diperhatikan kan juga tidak selamanya harus dengan berteriak.

Sekarang coba dibandingkan, setelah demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto mundur dari jabatannya, ada berapa banyak demonstrasi yang berhasil mengubah pemikiran para pembuat kebijakan? Sejauh yang saya tau ada lebih banyak demo yang tidak berhasil mencapai tujuannya daripada yang berhasil. Bahkan saya mencapai kesimpulan kalau demonstrasi itu hanya akan menghasilkan dua kemungkinan : tidak didengarkan atau ricuh. Kalau demonya damai, tidak didengarkan. Kalau tidak didengarkan kemudian menghalalkan kegiatan destruktif. Intinya, demonstrasi tidak menghasilkan keuntungan.

Orang-orang yang berdiri di jalan, di barisan depan, yang mengaku mahasiswa atau orang yang peduli dengan keadaan negaranya. Atau mungkin peduli dengan lima puluh ribu rupiah?

Bekas-bekas "peperangan"


Pak Pulisi : Mau jadi pahlawan? pahlawan kesiangan lo!

Solusinya? Jelas kalau menurut saya demonstrasi bukanlah suatu solusi. Apalagi jika harus dengan cara merusak. Banyak cara yang bisa dicari atau mungkin diciptakan. Tapi sekali lagi kerusuhan dan membakar ban itu tidak menyelesaikan masalah.

Kalau saya boleh berbagi, mungkin boleh kalau rakyat negeri ini mulai dengan memercayai pemerintah. Kenaikan harga BBM bukan sesuatu yang pantas dilawan dengan lemparan batu. Kalau semua mau mencari tahu alasan kenapa BBM dinaikkan, bisa saja menemukan sisi positifnya. Kalau setiap kebijakan pemerintah sudah dilawan dengan berbagai alasan, tidak aka nada kepercayaan, dan tidak ada kerja sama juga antara pemerintah dan rakyat.

Harusnya orang-orang yang berdemonstrasi itu bisa berefleksi juga, karena bahkan menaati peraturan tentang membuang sampah dan lampu lalu lintas saja banyak orang yang menolak. Itu kan tidak sulit.



Kamis, 15 Maret 2012

Menciptakan Surga

Ini pemikiran yang saya dapat ketika mengikuti kuliah Sosiologi Agama. Maaf kalau mengganggu keimanan, dan mungkin agak berpemikiran sekuler. Tapi bukan berarti saya tidak beragama. Saya tetap berdoa dengan cara saya sendiri kepada Tuhan yang sama dengan Tuhan yang kamu tujukan doanya.

Kuliahnya adalah tentang teori-teori dari para pemikir sosial. Bagaimana cara pandang mereka terhadap agama. Empat raksasa-raksasa teori sosial : Auguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber dan Karl Marx punya cara pandang yang berbeda mengenai agama. Karl Marx tentang agama itu candu dan Max Weber tentang etika protestan mungkin yang paling terkenal. Tapi saya paling tertarik pandangan Auguste Comte terhadap apakah itu agama, khususnya mengenai hidup kekal.

Dalam salah satu bagian dari pemikirannya, Comte berpendapat bahwa kehidupan kekal itu adalah hidup dalam kenangan. Seorang itu bisa saja meninggal, mati raganya tapi kebanyakan akan tetap hidup dalam kenangan orang-orang di sekitarnya.

Kemudian saya mencoba menghubung-hubungkan dengan konsep surga dan neraka yang selalu dijelaskan secara imajinatif. Surga tempat yang nyaman di awan ke tujuh, pakaian serba putih dengan pintu gerbang emas besar yang dijaga oleh seorang kudus, tempat di mana orang kehilangan nafsu duniawinya dan hidup bahagia selamanya. Neraka yang panas, merah, penuh dengan penyesalan dan teriakan kesakitan dari orang-orang yang tidak pernah berbuat baik bagi sesamanya. Tempat di mana orang-orang yang sudah merasakan kebahagiaan duniawi menghabiskan sisa hidupnya yang selamanya itu.

Ide-ide orang tentang konsep surga dan neraka ini tidak pernah memuaskan rasa penasaranku terhadap apa itu surga dan apa itu neraka. Karena bagaimana pun juga mengenai “when you never try you’ll never know” itu masih tetap tinggal dalam pemikiran setiap manusia. Walaupun ada di Alkitab dituliskan mengenai “berbahagialan orang yang tidak melihat namun percaya” masih sulit rasanya. Tapi sekali lagi bukan berarti saya menolak keagamaan saya, saya tetap merasa agama ini penting bagi saya. Hanya sisi penasaran saya juga butuh dipuaskan kan?

Kalau hidup kekal itu adalah hidup dalam kenangan orang lain, berarti hidup kekal surga itu timbul dari kenangan-kenangan baik seseorang dalam ingatan orang lain. Kenangan-kenangan tentang semangat berbagi, kesetiaan, kepahlawanan, dan hal lainnya yang dianggap baik oleh si pemilik kenangan. Begitu pula dengan neraka. Neraka adalah tempat di mana kenangan buruk seseorang menetap dalam ingatan orang lain. Perilaku-perilaku yang tidak sesuai keinginan dan dianggap buruk oleh si pemilik ingatan. Ingatan berdasar kebencian, sirik, dan lain sebagainya.

Saya lebih percaya dengan konsep neraka dan surga yang satu ini. Daripada surga dan neraka yang imajinatif yang biasa dikenalkan pada saya sampai beberapa waktu yang lalu. Mengapa saya lebih percaya pada konsep ini? Karena bagaimana pun juga saya pernah punya kenangan yang artinya saya bisa jadi pernah mengalami surga dan neraka dalam diri saya sendiri. Artinya surga dan neraka itu bukanlah sesuatu yang pasti. Itu adalah konsep yang dapat diciptakan, yang artinya bisa jadi seorang yang sama itu tinggal dalam surga kenangan A tapi tinggal di neraka milik D. sama sekali tidak menutup kemungkinan karena pengalaman orang tidak akan sama, kalau pun sama pasti ada perbedaan cara memaknainya.

Saya bisa membuat surga sendiri bagi orang-orang yang saya kenal, dan bisa jadi saya memilih untuk tidak menciptakan neraka untuk semua orang. Biarlah mereka hidup kekal dengan cara yang baik. Yang jelas surga yang saya ciptakan sudah ditinggali oleh banyak orang, salah satunya Bapak.

Jumat, 24 Februari 2012

Warna Cinta Alam

Pantai sadranan, pantai indrayanti membuktikan lagi satu pendapatku tentang alam. Menurutku, alam tidak pernah gagal memadukan warna warna jadi satu kombinasi yang indah. Biru muda, biru tua dan biru langit bisa begitu indah berpadu dengan coklat kayu, hijau rumput laut dan sedikit abu-abu mendung. Apalagi yang bisa didefinisikan untuk menyebut indah?

Semacam begitu banyak cinta yanga dicurahkanNya untuk menciptakan alam ini. Dan kemudian memang ada begitu banyak cinta yang tercipta di dalamnya. Seperti hanya bahagia yang ditawarkannya padaku hari ini. Padaku dan pada orang lain yang mungkin juga bahagia karena alam.

Aku selalu suka dengan langit dan pantai, aku suka dengan gunung dan awan. Mereka begitu banyak memberikan kedamaian dan kebahagiaan ketika memang kita mau meluangkan waktu untuk menghargainya, menikmati keindahannya.

Karena alam memang indah atau mungkin juga segala hal bisa jadi indah? Mungkin panasnya kota, dengan asap abu-abu dan warna warni sampah pun bisa jadi indah kalau kita benar-benar mau menikmatinya? Sedikit sulit, tapi aku tak yakin kalau alam membiarkan dirinya tidak lagi dipenuhi cinta. Atau mungkin manusia yang tidak punya cukup cinta untuk dibagi kepada alam ini sebagaimana alam pada manusia sehingga manusia tidak lagi bisa menikmati segala sudut yang ada di alam ini.

Diawali dengan sedikit saja setitik noda di sudut alam yang mulai tidak bisa dinikmati oleh manusia. Bukannya menghapus titik itu, malahan menjadikannya bercak yang semakin besar. Akibatnya kemudian manusia harus meluangkan waktu untuk benar-benar mencari sudut yang tidak terkena bercak tanpa cinta manusia tersebut. Manusia semakin sulit untuk menemukan keindahan bersama alam, bersama yang mencintainya.

Aku tak tahu apakah memang cinta itu semakin langka, atau mungkin sampai pada saatnya nanti cinta hanya jadi mitos. Yang jelas aku seperti ditunjukkan bahwa sesungguhnya cinta tak berbalas itu dapat terus dijalankan oleh alam ini.
Maaf, dan terimakasih atas warnaMu.

11/2/2012

Senin, 30 Januari 2012

Run, Let's Have Some Fun!


Haloo!
Postingan kali ini aku akan sedikit bercerita tentang kesukaanku dengan sebuah olah raga yang mungkin belum banyak yang tahu. American Flag Football namanya. Dari namanya bisa dipahami kalau olah raga ini dasarnya adalah olah raga yang mungkin sedikit brutal yang sangat popular di Amerika Serikat. Atlet-atlet berbadan besar berbaris, berlari, melempar dan menangkap bola (sulit juga menganggap ini sebuah bola) lengkap dengan semua pelindung, sepatu di ujung kaki sampai helm dan gum shield yang melengkapi perlindungan bagian kepala.

Y2K, Garuda #1

Nah! American Flag Football ini adalah versi lebih aman dari permainan tubruk-tubrukan itu. Nggak perlu pelindung seperti di film “The Gameplan” atau “Facing The Giant” atau “The Replacement”. Permainannya sedikit diubah dengan menggunakan flag. Ya, betul. Kami menggunakan sabuk dengan 3 bendera untuk menggantikan tackle. Kalau bendera bisa dilepaskan dari pinggang si pemain itu artinya down, dan permainan dimulai lagi di scrimmage line. Aturan mainnya sama seperti American Football itu, Cuma bagian tackle aja yang jadi perbedaan utamanya.

Di Indonesia, permainan ini masih dalam masa pertumbuhan. Yah masih remaja, masih belum terlalu banyak orang yang tau dan main flag football. Diwadahi oleh IFFA (Indonesian Flag Football Association), flag football terus berkembang. Sejauh yang aku tahu sudah ada 6 daerah yang punya tim flag football: Jakarta, Jogja, Bandung, Bogor, Semarang, dan Jawa Timur (Surabaya dan Malang).

Tanggal 21-22 Januari 2012 kemarin, Bandung berhasil mengumpulkan enam daerah ini dalam satu liga persahabatan. Delapan tim dari enam daerah berkumpul untuk saling belajar dan menjajal sampai sejauh mana flag football dimainkan di daerah masing-masing. Jakarta, sebagai tim yang paling tua paling banyak sumber belajarnya jadi tim dengan performa terbaik (ya iyalah, kalau Jakarta bukan juara pasti ada yang salah dengan mereka).

Daan, dalam kompetisi persahabatan ini aku dan Tim Garuda Jogja juga ikut serta. Bersama 22 teman yang lain aku berangkat ke Bandung untuk bersenang-senang di lapangan bermain flag football bersama teman-teman baru dari daerah lain yang pastinya punya passion yang sama, FLAG FOOTBALL.

Posisiku dalam tim adalah running back atau wide receiver. Terlalu panjang kalau harus dijelaskan satu persatu posisinya, yang jelas tugasku adalah berlari sesuai rute taktik kemudian menerima umpan dari quarter back dan mencetak touchdown. Kenapa aku suka permainan ini? Karena aku bisa bebas berlari secepat yang aku mau, dan memang itu tugas aku. Menjadi yang tercepat. Perbandingannya, misalnya bermain futsal. Lapangan futsal tidak menyediakan cukup tempat untuk bisa berlari secepat itu. Lomba lari sprint, aku tidak terlalu suka karena jalur yang sudah ditentukan. Dalam flag football, ketika sudah memegang bola semua bagian di lapangan adalah jalurku, berlari lalu tiba tiba memindah jalur lari membuatku puas ketika melihat ada yang tertipu dan kehilangan langkah mengejarku.

Kepuasan terbesar seorang yang bertugas dalam tim menyerang adalah ketika bisa menciptakan touchdown. Kemarin dalam pertandingan melawan tim juara, Jakarta, aku mencetak touchdown yang akan selalu aku ingat, dan akan diingat oleh tim lawan juga. Aku berlari dari ujung lapangan melewati semua lawan sampai ujung lapangan yang lain. Satu touchdown yang fenomenal untukku karena melawan tim sekuat Jakarta. Karena touchdown itu juga aku jadi banyak dikenal (sok artis bangat). Yang pasti jadi membuatku punya peluang lebih besar untuk mendapat lebih banyak teman.

Postur tubuh semua orang bisa dapat posisi masing-masing dalam permainan ini. Tidak harus selalu tinggi, berotot, besar. Semua orang dengan semua postur kurus, gendut, pendek, tinggi, berotot bisa punya keahlian masing masing. Jadi jangan takut untuk mencoba bermain. Datang, perhatikan lalu bergabunglah bermain!

ini link bagi yang tertarik belajar Indonesia Flag Football Association Community Page
ini khusus buat yang di Jogja Garuda Flag Football

Garuda Jogja! Istimewa
beberapa pemain Jakarta 2
berusaha merebut flag di pinggangku
ini proses touchdown fenomenal itu :p
Ready? Set. HUT!
dan ini yang paling berharga. Teman-teman baru