Jumat, 04 Maret 2011

Tentang Waktu


Berjalan kulewati tepi jalan itu. Langit kelabu menyelimuti seluruh cakrawala yang baru saja dua jam yang lalu masih dengan sombongnya menampakkan kekuatan sang matahari. Rintik hujan yang terasa tajam menerpa permukaan wajahku. Kulihat orang-orang di sekitarku mulai berlari menepi, bernaung di bawah atap-atap toko di sepanjang jalan itu.

Aku tak peduli walaupun hujan tak lagi hanya rintik. Ada perjalanan lain dalam diriku yang sudah melanglang jauh dari jalanku kini.

Semalam aku bertemu dengan sahabatku, Waktu. Tak biasanya ia berwajah semuram itu. “Menurutmu apa artinya aku?” suaranya lirih tapi cukup membuatku berhenti bernafas sejenak. Aku memang tidak pernah memikirkan keberadaan sahabatku ini. Baru kusadari sekarang bahwa ia adalah yang selalu ada untukku.
           
Sambil berusaha untuk tenang aku mulai menjawab,


“Waktu itu tentang perjalanan hidup.”

Ami, Ibu rumah tangga, pernah bercerita, waktu itu saat…

Meregang nyawa untuk kehidupan baru buah hatinya. Mencari makna dalam waktu yang dimulai dengan adanya cinta. Cinta tulus yang tak mungkin terhapus. Tidak akan pernah ada kehidupan dalam dunia yang tercipta tanpa melalui pengorbanan.

Waktu selalu punya awal untuk terus dapat berlalu. Dalam sebuah perjalanan, langkah pertama adalah yang tersulit dilakukan. Seringkali butuh berkorban supaya dapat terus berjalan.
Ibuku bilang waktu adalah tentang pengorbanan


Malam itu di ruang tamu, listrik di rumahku sedang mendapat giliran pemadaman. Aku mulai berpikir ini terlalu kerap terjadi. Temaram dari cahaya lilin yang bergoyang menciptakan suasana dalam perbincangan kami.  

Aku diam, menunggu sahabatku memperlihatkan responnya terhadap ceritaku. Kuperhatikan matanya mulai berkaca-kaca, dan sampai sekarang aku belum mengerti apa yang membuatnya datang kemari dan menanyakan tentang arti dirinya.

Kulanjutkan bicaraku,


Bagas, Produser TV, sering mengatakan…

Waktu itu penuh dengan mimpi yang tak cukup hanya menjadi inspirasi. Akan jadi kurang berarti kalau hanya terus menjadi mimpi. Semangat mewujudkan harus turut disertakan. Mimpi harus jadi landasan kokoh untuk berbakti. Mencurahkan bakti bagi Tuhan dan Bangsa ini.

Wong jowo, kudu nrimo. Tapi kan tidak harus seperti itu? Jangan pernah terjebak pada kepasrahan, karena hanya akan membuatmu berada di tempat namun merasa berjalan. Pasrah bukan jalan untuk ketidakmampuan tetapi sebagai ungkapan syukur atas kerja keras yang telah dilakukan.

Kata kakak lelakiku, waktu itu tentang mimpi dan perwujudannya.


Kudekatkan tanganku pada nyala lilin itu agar ia bisa membagi sedikit kehangatannya. Udara mulai terlalu dingin sekarang. Masih terasa udara dingin sisa hujan lebat pada sore hari. Hujan hampir setiap hari turun di bulan Desember seperti ini.

Kutinggalkan Waktu sejenak untuk menutup pintu. Sedikit berderit engselnya sedikit berkarat, tampaknya meminta diberi pelumas. Tak terlalu mengganggu untuk saat ini, jadi kubiarkan saja pintu itu sedikit mengganjal. Lagipula pintu masih dapat menutup walaupun tidak terlalu rapat.


Reno, Pegawai Departemen Luar Negeri, memberi teladan..

Waktu itu menghitung hari sebelum janji sehidup semati. Tentang sebuah ikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena yang telah disatukan oleh yang Mahakuasa tidak bisa dipatahkan manusia.

Tak mudah membuat sebuah janji, tapi lebih sulit lagi menepati. Janji selaiknya adalah untuk ditepati bukan malah dikebiri. Terlalu banyak orang berjanji tapi tak tahu diri. Sumpah dan janjinya sendiri yang akhirnya mengikis harga diri.

Kakak perempuanku berucap waktu itu menghargai janji


Aku kembali di kursi itu, sebelumnya kuseret agar dapat lebih dekat dengan Waktu, temanku itu. Derak kaki kursi yang bergesekan dengan lantai kelabu ini terdengar membuat telinga tak nyaman, tapi kuteruskan saja, toh hanya sebentar dan tanganku masih terlalu malas mengangkatnya.

Waktu masih saja terus diam, hanya raut mukanya saja yang berubah mencoba memikirkan setiap ceritaku. Tetap masih saja belum kumengerti mengapa ia tampak sangat biru malam itu . Tampaknya memang aku tak perlu tahu alasannya. Cukup kujawab saja pertanyaannya sebisaku, hanya itu yang mungkin ia butuhkan saat ini.


Aku, Mahasiswa, mulai berpikir…

Waktu adalah usaha menggapai cita-cita yang tak pernah sirna. Seorang candala tak berkasta pun pasti punya cita-cita dalam hidupnya. Paling tidak selalu ada usaha menghapus lapar dan dahaga. Lalu apalah guna seorang yang takut untuk melangkahkan kakinya menghadapi dunia nyata?

Waktu memang kadang tidak bersahabat dengan keinginan kita, tapi kita tidak mungkin memintanya berjalan lebih lambat hanya agar kita bisa bersiap untuk jadi lebih kuat. Tidak pula cukup mengharapkan keberuntungan. Ini semua bukan sekadar tentang keberuntungan, adalah persiapan dan usaha yang selalu dibutuhkan.

Kataku, waktu itu tentang segala daya untuk mengembangkan diri berkarya


Langit gelap itu tiba-tiba saja sangat terang dalam sekejap, diikuti suara gemuruh yang ikut menggetarkan hati setiap orang yang mendegarnya. Hujan semakin mengganas, langit semakin tak bersahabat. Kilat dan guntur bersahutan sepertinya ada masalah luar biasa besar yang membuat mereka saling berteriak.

Waktu bergeming, seakan tak ada yang terjadi di sekitarnya. Padahal mobil di seberang jalan meraung sangat keras, mungkin karena kekuatan guntur barusan. masih dalam posisi yang sama, masih menunduk merenung.

Mulai bergerak, ia melihat jam tangan di tangan kirinya. Mimiknya tampak sedikit bingung, lantas ia mengambil secangkir kopi hangat yang tadi sudah kubuatkan. Meminumnya sedikit kemudian kembali diam.

Tetesan air sebesar biji buah papaya jatuh tepat di hidungku. Aku mendongak ke atas, ternyata atap tepat di bagian atas kepalaku tak lagi kuat menahan serbuan air hujan yang begitu dahsyat. Berjalan sedikit berlari aku hendak menuju dapur. Dalam rak kucari panci atau apapun yang bisa menampung air dari lubang di atap rumahku itu.

Aku menemukan sebuah panci putih bergambar buah-buahan dengan pegangan berwarna hitam, lantas kuambil dan segera kembali ke ruang tengah untuk meletakkan panci itu sebelum air hujan yang menetes dalam rumah itu semakin membuat basah lantai rumahku.

Ternyata di ruang tengah Waktu sudah tidak ada lagi di tempat sebelum kutinggalkan dia. Ia pergi tanpa berpamitan, kurang sopan juga temanku ini. Tapi pasti ada hal yang sangat mendesak sehingga berpamitan pun tidak.

Panci putih yang masihada di tanganku kuletakkan tepat di tempat air hujan menetes. Mengatur posisinya agar tetesannya tidak keluar dari panci itu. aku duduk lagi, kali ini kuhempaskan tubuhku pada sofa biru motif kotak-kotak. Masih terpikirkan tentang Waktu, dan lalu kuingat…
           
Tembong, mantan Freelance Motivator, memperlihatkan bahwa…

Hidupmu akan sempurna jikalau waktumu sudah tiba. Hanya waktu yang bisa membuatmu menjadi sempurna.

Banyak orang mencari kesempurnaan tanpa menyadari sedang berada dalam perjalanan. Karena pada akhirnya setiap insan akan menjadi sempurna dan pasti menjadi sempurna. Maka lengkapilah perjalananmu agar menjadi lengkap kesempurnaanmu.

Bapak George ‘Tembong’ Prasetya sudah bahagia dalam sempurnanya.