Jumat, 04 Oktober 2013

Karena Cinta Masih Ada

30 September 1965.

Saat di mana negeri ini mengalami masa kelam. Masa lalu abu-abu yang hingga sekarang belum pasti warnanya. Bukan putih bukan hitam. Abu-abu. Bagaimana peristiwanya, siapa pelakunya, mengapa terjadi? Semuanya masih samar, tidak jelas. Hanya satu yang mungkin bisa diyakini, semuanya jadi korban. Semuanya merasa kehilangan, semuanya dirugikan, atau paling tidak, akan ada saatnya mereka merasa rugi.

Mengenang masa lalu. Orang punya caranya masing-masing. Punya caranya sendiri untuk menghargai masa lalunya, yang harusnya tidak ada yang boleh, walaupun bisa, mengatur jalan cerita dan sejarah seseorang.

Hari tanggal yang sama, empat puluh delapan tahun kemudian. Papermoon membawakan kenangan dengan caranya sendiri. “Secangkir Kopi dari Playa” mengisahkan tentang kisah nyata, romansa sepasang kekasih yang sempat terganggu kejadian puluhan tahun silam.

Ini tentang mencintai. Ini tentang bagaimana seseorang menepati janjinya. Ini tentang kekuatan kenangan yang bisa membuat seseorang bertahan hidup.




“Secangkir Kopi dari Playa” sudah pernah dipentaskan sebelumnya pada tahun 2011 di Yogyakarta. Waktu itu, pentas ini diadakan di sebuah toko barang antik. Di sebuah ruangan penuh barang yang sarat dengan cerita dan kenangan.

Kali ini, berbeda. Bukan lagi di toko barang antik seperti sebelumnya. Dilangsungkan di sebuah rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pertunjukan di Jakarta kali ini gratis, tapi  setiap orang yang mau menyaksikan pentasnya harus memulai dulu dengan berbagi. Mereka harus menukarkan tiket pertunjukan dengan sebuah barang yang ingin dilupakan, serta alasan mengapa ia ingin melupakan barang tersebut.

Menurutku, pementasan “Secangkir Kopi dari Playa di Jakarta kali ini lebih intim. Suasana dan koneksi antara penonton, boneka dan pemainnya mulai dibangun bahkan sebelum pertunjukkan berlangsung. Konsepnya adalah pengumpulan barang untuk pembukaan museum. “Museum Pahit Manis” namanya.



Museum ini mengumpulkan barang dari siapapun yang ingin berbagi kenangan, tentang apapun. Tentang keluarga, tentang refleksi diri, tapi yang akhirnya paling banyak terkumpul adalah tentang kisah cinta dengan pasangannya. Memang kisah cinta seperti ini tidak akan pernah ada habisnya  Barang-barang yang dikumpulkan itu kemudian dipajang di luar area pertunjukan, lengkap dengan cerita pahit-manisnya.

 “Secangkir Kopi dari Playa” itu seperti menceritakan lagi sebuah kenangan pahit manis. Rasanya seperti cangkir kenangan penikmatnya diisi lagi dengan tuangan kenangan lain dengan cara yang indah. Lewat boneka-boneka yang tampak hidup, punya jiwa, punya rasa.




Proses pengumpulan benda dan ceritanya itu seperti proses menuang dan mengisi cangkir dan teko kenangan. Teko kenangan yang terus diisi mungkin akan penuh suatu saat, maka penontonnya sekarang diminta untuk menuangkan dulu kenangan yang pernah dialaminya sendiri untuk dinikmati orang lain. Berbagi kenangan masa lalu, baru kemudian “Secangkir Kopi dari Playa” mengisi lagi hati penontonnya dengan kenangan tentang kisah romansa pemuda pemudi.

Kenangan tentang 30 September 1965 di Indonesia, menjadi kenangan pahit bagi siapapun, terutama untuk negeri ini. Tragedi itu akan selamanya terkenang. Terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, harus disadari bahwa kejadian itu benar pernah terjadi. Kejadian mengerikan itu benar-benar pernah ada.

Hari tanggal yang sama, empat puluh delapan tahun kemudian aku mengingatnya dengan cara yang indah. Dengan cara yang menyenangkan. Dengan cerita cinta, bukan permusuhan seperti yang biasanya dilakukan. Karena aku pernah mendengar kalau apa yang kita rasakan saat ini sebagai kebenaran, suatu hari  nanti akan kita jumpai sebagai sesuatu yang indah[1], seperti yang selalu disampaikan Frans, tour guide, Museum Pahit Manis.

Secangkir Kopi dari Playa ini menjadi semacam jalan untukku memaknai kenangan negeri ini lewat konflik yang pernah terjadi. Bahwa dalam tragedi sebesar itu, dalam kisah sedih semasif itu masih tersisa berkas-berkas kasih. Walaupun samar. Karena cinta masih ada.







[1] "What We Have Here Perceived as Truth, We Shall Encounter Some Day as Beauty” – judul pameran karya FX Harsono tanggal 1-22 Juli di Jogja National Museum di Yogyakarta