Berada di kampung nelayan di Cilacap kemarin rasanya seperti membuka satu lagi celah untuk melihat dunia nyata. Hawa tidak berahabat yang ditawarkan, keramahan dan penerimaan yang disuguhkan, serta makanan berbahan ikan segar yang disajikan mewarnai kehidupan saya selama lima hari di sana.
Sebuah desa kecil tempat tinggal nelayan yang hidup berdampingan dengan kilang minyak milik Pertamina menjadi tempat tinggal yang cukup menyenangkan selama lima hari berada di sana. Di balik semua pengalaman di Cilacap, ada hal yang membuat saya prihatin. Sampah.
Sepintas, mendengar “pesisir pantai di halaman belakang rumah” yang terbayangkan adalah laut biru muda dengan pasir putih bersih yang bisa dinikmati sambil minum kopi, duduk di kursi kayu di belakang rumah. Tapi yang saya dapatkan ketika sampai di Cilacap adalah laut biru tua sedikit pekat, mungkin karena minyak mentah, dengan pasir hitam yang penuh sampah rumah tangga. Walaupun masih bisa duduk di kursi kayu di belakang rumah sambil minum kopi. Tapi baunya? Campuran antara bau ikan yang diasinkan dan dijemur, bau laut yang amis, bercampur dengan bau sampah seperti di TPA. Sama sekali bukan aroma yang menyenangkan, bahkan mungkin aroma neraka seperti itu.
Jemuran ikan asin |
Tumpukan sampah rumah tangga pinggir di laut |
Permasalahan buang sampah di belakang rumah (baca : pinggir laut) ini hanyalah masalah yang tampak di permukaan saja, ada masalah-masalah lain yang berada di dasarnya, dan lebih banyak lagi yang timbul karenanya.
Sampah-sampah di pinggir laut itu memang sengaja dibuang oleh masyarakat sekitar. Bagi mereka membuang sampah ke laut itu adalah hal yang benar. Dengan logat ngapak khas Banyumasan seorang ibu yang saya tanya tentang buang sampah di laut mengatakan “kalo sampahnya saya buang ke laut kan nanti kalo pas air pasang naik sampahnya bersih, Mas”.
Benar memang ketika air pasang naik, gelombang membawa sampah-sampah itu pergi dari tempat awal membuang sampah, tapi sampah itu hanya akan berpindah tempat saja. Tetap saja masih ada sampah yang terkumpul di pesisir dan kemudian membusuk sehingga membuat bau yang sangat tidak enak.
Masalah sebenarnya tidak hanya berhenti pada aroma saja. Masalah keindahan, kesehatan, dan kelestarian alam jadi efek lain dari sampah-sampah itu. saya sangat suka melihat pantai dan laut, tapi sampah-sampah di pesisir itu benar-benar menghancurkan kecintaan saya pada laut.
Saya sempat bertanya juga pada warga sekitar, apakah tidak ada petugas yang mengambil sampah-sampah rumah tangga tersebut. Jawaban yang saya dapatkan sangat ironis kedengarannya. Ternyata dulu ada petugas yang setiap kali bertugas mengambil sampah dari perkampungan itu. “di sini kan MCK-nya sulit, Mas. Jadi orang-orang itu kalo buang air besar dimasukin ke dalem tas plastik terus dibuang bareng sama sampah, jadi petugasnya males ngambilin sampah lagi.”
Dalam suatu kesempatan, saya berbincang dengan ketua RW setempat. Saya bertanya apakah pemerintah pernah memberikan penyuluhan misalnya untuk masyarakat agar sadar akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Jawaban yang saya terima pun sesuai dengan tebakan saya sebelum menjawab, belum pernah. Saya tidak menyalahkan pemerintah karena tidak memberikan penyuluhan tersebut karena masyarakat juga memang tidak peduli dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Menurut saya sampah di pinggir laut ini mungkin menjadi alasan paila selama 2 tahun belakangan ini. Paila adalah sebutan masyarakat sekitar untuk menyebut paceklik ikan. Selama 2 tahun ini, ikan sangat sedikit bisa ditangkap. Sangat sedikit pendapatan yang diperoleh para nelayan tersebut. Bayangkan saja nelayan yang tiap harinya menyandarkan kehidupan pada ada tidaknya ikan di laut harus bertahan dalam keadaan tidak ada ikan selama 2 tahun. Artinya selama 2 tahun itu otomatis tidak ada pemasukan bagi para nelayan.
Kalau saya jadi ikan juga pasti saya berusaha pergi menjauh dari sampah-sampah itu. baunya mengerikan, dan belum lagi sampah plastik yang mungkin saja tersangkut di insang dan membuat saya tidak bisa bernafas. Jadi tidak heran kalau 2 tahun ini paila terus berlangsung.
Sayangnya para nelayan di Cilacap itu tidak menyadari kerugian dari membuang sampah di pinggir laut tersebut. Hal itu dianggap biasa, tidak ada efek sampingnya. Coba saja masyarakat sekitar sedikit lebih peduli dengan lautnya. Laut yang menyediakan kehidupan bagi mereka sendiri. Mungkin saja ikan-ikan tidak perlu langka, mungkin saja nelayan tetap bisa melaut dan kembali dengan beberapa blong ikan tongkol segar, mungkin saja keindahan pantai dan laut tetap terjaga.
Bisa dilihat kan bahwa hal kecil seperti membuang sampah bisa berakibat pada banyak hal. Saya tidak mengerti apa sulitnya membuang sampah di tempatnya, kesulitannya juga pasti hanya berujung pada satu jawaban, malas.
Sampah-sampah di pantai Cilacap itu menyampaikan pesan pada saya bahwa lagi-lagi hal kecil bisa jadi solusi bagi hal yang lebih besar. Sampah sekecil puntung rokok pun tetap lah sampah, dan kalau tidak dibuang pada tempatnya pasti akan mengganggu, mengganggu kebersihan setidaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar