Senin, 09 April 2012

Donna, Gie, Donna!


Setelah kesekian kalinya saya menonton film tentang pergerakan mahasiswa Indonesia yang dipimpin oleh Soe Hok Gie, Seorang Tionghoa yang sangat kritis menentang Soekarno di akhir kepemimpinannya. Ada hal yang tiba-tiba menarik perhatian saya saat menonton film “Gie” kali ini. Satu adegan saat ada malam keakraban di kampus, Ira, yang diperankan oleh Sita Nursanti menyanyikan folks song yang terkenal saat itu. “Donna Donna” lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Joan Baez ini kata Ibu saya adalah lagu wajib mahasiswa pecinta alam di masa itu. Jadi memang wajar sebenarnya kalau lagu ini dipilih untuk menjadi soundtrack film “Gie”. Tapi waktu itu saya merasa harusnya ada hal lain yang berhubungan dengan setting film itu.

Bertanya pada Google yang mahatahu, saya menemukan hal-hal yang sangat menarik untuk dapat menjelaskan rasa penasaran saya. Mungkin ini hanya pikiran sok tau saya saja atau memang ada hubungannya, saya tidak bisa meyakinkan kecuali saya bertanya langsung pada sutradara atau music scoring film “Gie” itu. Ada simbol-simbol yang bisa dijelaskan dan ternyata berhubungan dengan keadaan politik Indonesia di tahun 1960an tersebut.

Kata Ibu saya, “Donna Donna” itu memang sangat terkenal di tahun-tahun sekitar 1960. Apalagi di kalangan mahasiswa pecinta alam di Indonesia. Hampir di setiap acara pecinta alam, di camp saat mendaki, mereka menyanyikan lagu itu. Kata Ibu mirip sepert lagu wajib pecinta alam. Dan seperti yang sudah saya tuliskan tadi bahwa folks song sedang menjadi hype. Joan Baez adalah seorang ratu folks song tersebut, maka jadilah ia sangat terkenal.

Lirik lagu itu menceritakan tentang anak lembu yang dipekerjakan oleh petani dan berakhir pada penyembelihan. Lembu atau kerbau, yang saya ketahui dalam tradisi suku-suku di Indonesia juga adalah hewan yang biasa dijadikan pekerja atau hewan sembelihan. Kecuali di Solo dengan kebo bule-nya seperti itulah nasib lembu atau kerbau.

Lembu tidak bisa melawan majikannya, ia diikat dan selalu dipaksa untuk bekerja. Membajak sawah, memutar penggilingan gandum dalam pembuatan mie secara tradisional, itu tugas kerbau. “Stop complaining!” said the farmer”. Kebo saja tidak bisa melawan apalagi gudel (anak kerbau dalam bahasa Jawa). Dan yang dibahasa dalam lirik lagu “Donna Donna” adalah calf bukan buffalo. Menurutku ini sebagai ungkapan ekstrim yang menjelaskan keadaan kaum yang teraniaya. Pada akhirnya lembu yang tidak produktif atau mecoba melawan berakhir pada penyembelihan itu. “Calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why.”

Lembu yang terikat pada cincin yang ditusukkan ke hidung, membuatnya harus patuh dan tidak dapat melawan. Kehidupan kaum buruh di masa itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia kebanyakan. Pengaruh politik PKI dan koalisinya dengan Soekarno membuat paham komunis cukup kuat tertanam pada akar kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat juga tidak ubahnya seperti lembu yang terikat. Harus patuh dan tidak dapat melawan. Kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya membatasi gerak masyarakat untuk meperoleh kebenaran dan menyuarakan kebenaran, karena semuanya dibungkam.

Perhatian saya pribadi tertuju pada keadaan politik di setting film tahun 1960an. Politik pada masa itu identik dengan pergerakan PKI, kedekatannya dengan Soekarno, serta gerakan “menghilangkan” segala unsur PKI di Indonesia. PKI bergerak membela kaum buruh, kaum yang tereksploitasi. Ketika mereka berupaya untuk sadar akan kondisi kelasnya mereka dibungkam bahkan dihancurkan. PKI waktu itu dituduh sebagai dalang pembunuhan 8 jenderal yang kemudian menyulut emosi seluruh masyarakat Indonesia. PKI sebenarnya bergerak membela kaum tersingkir, kaum buruh.

Soeharto dengan cerita-ceritanya kemudian menanamkan kebencian terhadap PKI dan ajaran komunisnya. Melalui buku sejarah yang dipakai untuk kurikulum sekolah, film tentang G30S/PKI yang setiap tahun selalu ditayangkan di televisi kebencian itu dipupuk dan dilestarikan. “Reproduksi stigma adalah alat politik. Soeharto dianggap pahlawan karena dia berhasil memproduksi stigma terhadap PKI tersebut.” (Arie Sudjito, 22 Maret 2012).

Kemudian yang terjadi adalah banyak kasus yang menceritakan tentang kesewenang-wenangan tentara dalam menghancurkan PKI. Mereka yang terlibat atau dianggap terlibat atau dituduh terlibat menghilang begitu saja. Dari buku yang saya baca “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65” hasil penelitian Ita F Nadia, mantan anggota Komnas Perempuan, juga diceritakan pengalaman mereka yang dituduh menjadi anggota Gerwani. Perkosaan fisik dan mental harus mereka alami. Pelakunya? Para tentara yang menangkap mereka atas nama komando. Ini hal yang ingin disampaikan pada lirik Calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why.” Mereka kemudia ditindas lebih jauh tanpa tahu apa alasannya. Mereka menjadi hanya menjadi orang yang tertuduh, walaupun tidak semuanya benar.

Mengulang lagi mengenai tulisan ini, saya tidak yakin ini pemikiran sok tahu saya yang sok menggabung-gabungkan lagu dengan fakta atau memang ini benar. Jadi jangan langsung percaya dengan apa yang kamu baca, dan jangan langsung menghakimi siapa pun juga. Karena jadinya hanya akan mengulang sejarah kehilangan, sejarah kelam yang pernah dilalui oleh bangsa ini di tahun 1960an. Sejarah yang seharusnya dipahami dan bukan langsung dianggap sebagai kebenaran mutlak dari para penguasa.