Senin, 14 November 2011

Kapitalisme Talenta


Tulisan suka-suka.  Beberapa hari yang lalu, ketika pergi ke gereja hari minggu seperti biasanya, saya mendengarkan bacaan Injil yang dibacakan oleh Romo. Injil itu diambil dari Matius. Hal yang membuat saya tertarik adalah karena walaupun ini Injil yang sudah sangat sering saya dengar, dan mungkin salah satu yang paling popular untuk dikutip, ada pemikiran baru yang muncul dalam benak saya. (ya jelas! Setiap hari harus selalu ada yang baru supaya tidak lagi monoton. Dunia ini sudah cukup monoton untuk tidak dibuat baru setiap harinya. Ini sudah pagi lagi, sudah selasa lagi)

Injil tentang majikan yang meninggalkan untuk hambanya beberapa talenta selagi ia sedang pergi jauh. Tiga hamba, masing masing lima, tiga, dan satu talenta. Salah satunya memperlakukan talenta yang dipercayakannya dengan cara yang berbeda. Dua hamba memakai talenta untuk dipergunakan dan dikembangakan sehingga dapat keuntungan dan yang satunya hanya menyimpannya di dalam tanah.
Ini kutipan Injil yang jadi topik pemikiran saya beberapa hari setelah pulang dari gereja :

“Hai engkau, hamba yang jahat dan malas! Engkau tahu bahwa aku menuai di tempat tidak menabur, dan memungut di tempat aku tidak menanam. Seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu ambillah talenta itu daripadanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai , akan diberi sampai ia berkelimpahan. Tetapi barangsiapa yang tidak mempunyai, apapun yang ada padanya akan diambil”

Kalau dipikir-pikir ternyata ajaran ini mirip dengan cara berpikir paham Kapitalisme.  Salah satu mungkin yang jadi dasar pemikiran Weber ketika ia menemukan kaitan antara agama dan spirit of capitalism. Orang berusaha menjadi punya semakin banyak, agar mendapat juga semakin banyak. Padahal di sisi lain, di bagian Injil lain (Markus) dikatakan bahwa lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah, yang konotasinya bisa diartikan kalau orang kaya itu sulit masuk ke Surga. Yah, kadang ajaran agama itu sulit dimengerti seluruhnya.

Jadi lebih menarik lagi ketika saya berdiskusi dengan seorang teman saya, Abyatar. Ia mengatakan, “lucunya, karena itu yang ngomong Yesus (Nabi Isa) jadi kata-katanya diartikan ke arah yang positif. Coba yang bilang kayak gitu Aburizal Bakrie atau mungkin presiden Amerika, pasti orang yang ngomong bakalan dicerca abis-abisan.” Dicap penjajah lah, penyebar paham kapitalis lah. Tapi sekali lagi karena ini adalah kalimat dari seorang yang sangat dihargai, dipercaya jadi setiap orang yang mendengar, kemudian memikirkan ke arah hal yang baik untuk diterjemahkan.

Orang seharusnya tidak hanya berdiam diri dan hanya menyimpan talenta (bakat) yang dimilikinya. Talenta diberikan oleh Tuhan untuk dikembangkan bukan untuk disimpan. Orang diajak untuk tidak cepat pasrah, dan terus didorong untuk berusaha mengembangkan diri. Jadinya seperti ini yang bisa didapat ketika kalimat kutipan besar tadi yang mengatakan adalah Yesus.

Kemudian saya berpikir lagi semakin liar. Kalau setiap orang semua orang mau percaya dan menghargai orang lain, seharusnya bisa mengarahkan pemikirannya. Positive thinking, salah satu yang selalu ditekankan oleh Bapak saya. Dan memang mungkin sangat terbukti bahwa pengarahan pemikiran itu penting. Bisa saja kan kalau setiap orangnya berpikir positif terhadap segala hal yang ada di hadapannya. Menghindarkan kecurigaan, menjauhkan permusuhan. Sangat utopis memang, tapi tidak ada salahnya kan kalau saya mengungkapkan pemikiran saya. Ini salah satu cara saya menggunakan talenta yang dipercayakan pada saya. Bukan untuk saya tanam dalam tanah dan tidak menghasilkan keuntungan, jika memang nantinya Tuhan itu kapitalis, saya tidak mengecewakan. Tidak mengecewakan siapa pun, tidak mengecewakan Tuhan, dan tidak mengecewakan diri sendiri karena terlalu pasrah.


15 November 2011