Tampilkan postingan dengan label pertunjukan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pertunjukan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Mei 2014

Reduksi Rindu

“Makna rindu itu semakin tereduksi oleh keberadaan teknologi”

Kalimat ini aku tulis di draft blog diefolgerung.blogspot.com milikku sejak tanggal 3 Mei 2013. Belum sempat aku lanjutkan karena aku masih belum bisa menjelaskan dengan kalimat yang tepat apa maksud kalimat yang tiba-tiba muncul di pemikiran aku itu.

Ternyata beberapa minggu kemudian, bahasan dalam kelas sama dengan apa yang aku pikirkan tersebur. Keintiman dalam hubungan dengan siapapun mengalami transformasi karena adanya teknologi Diakui atau tidak, disadari atau tidak, memang itu kenyataannya.

Teknologi membuat semuanya dapat diketahui dengan cepat, sangat cepat malah. Aku bisa dengan cepat mengetahui apa yang terjadi di jauh sana apa yang sedang dikerjakannya. Aku bisa dengan mudah mengetahui kecelakaan di seberang laut sana. Rasanya semua menjadi semakin mudah, terlalu mudah bahkan. Mengetahui menjadi suatu hal yang jauh lebih mudah daripada beberapa dekade terakhir.

Bahkan sampai saya berpikir bahwa sepertinya tidak ada lagi waktu untuk merasa rindu. Terlalu cepat kabar bisa diketahui. Semakin tidak ada jarak yang bisa memunculkan rasa rindu itu.

Saya mengetahui satu cerita paling romantis yang pernah saya dengar. Ini kisah nyata, dan pelakunya masih hidup di negeri ini. Usianya sudah senja, tapi bisa memberikan inspirasi bagi kita yang masih akan terbit ini. Kisah ini dijadikan Papermoon Puppet Theater untuk menjadi ide cerita salah satu pertunjukannya setahun yang lalu. Judulnya “Setjangkir Kopi dari Plaja”. (Secangkir Kopi dari Playa)

Adalah sepasang kekasih, tinggal di Jakarta. Waktu itu tahun 1960. Si lelaki adalah salah satu dari 17 mahasiswa terbaik yang dipilih oleh Ir. Soekarno untuk diberi beasiswa belajar di Rusia, Uni Soviet waktu itu. Ia dibiayai untuk belajar metalurgi di Negara komunis itu. 5 tahun harus dijalaninya untuk belajar, tidak ada kesempatan untuk pulang di sela-selanya, karena belum semudah sekarang untuk berpindah tempat. Janjinya pada kekasihnya, “aku akan menikahimu sekembalinya aku belajar”. Keduanya berpisah dengan ketakutan akan rasa rindu.

Hampir lima tahun berselang, si lelaki sudah hampir saatnya bisa pulang. Ternyata pecahlah konflik G30S, yang katanya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Konflik ini membuat hubungan Indonesia dengan Uni Soviet yang telah dibangun oleh Ir. Soekarno lewat NASAKOM-nya menjadi runtuh, seketika rusak. Si Lelaki tidak bisa pulang, passport-nya dicabut, tidak lagi dianggap sebagai warga Negara Indonesia, hanya karena ia belajar di Negara komunis (?)

Tidak ada handphone, tidak ada internet dengan facebook, twitter dan media jejaring sosial yang lainnya. Satu-satunya kesempatan bagi si lelaki untuk memberi kabar pada kekasihnya adalah dengan surat. Tapi hubungan kerja sama Indonesia dan Uni Soviet rusak. Jadi tidak ada lagi kesempatan itu. Tanpa sanak saudara dan keluarga, hanya dengan teman-teman, dan tanpa status kewarganegaraan.

Ia berjuang, dan mungkin sudah pasrah kalau memang sudah tidak lagi bisa pulang. Bertemu dengan seluruh keluarganya dan tentu saja kekasihnya yang sudah dijanjikan untuk menikah. Ia melanjutkan belajarnya hingga ia berpindah ke Kuba, Negara komunis yang lain. Tinggalah ia di sana, di sebuah kota bernama Playa. Ia menjadi ahli metalurgi, hingga diberi kewarganegaraan istimewa oleh Kuba, ia menjadi aset untuk Kuba. Padahal seharusnya ia bisa jadi aset berharga untuk negeri ini, itu hal yang sudah direncanakan oleh Soekarno waktu itu. Andai saja kejadian ’65 tidak seburuk itu.

Tiga puluh lima tahun lamanya ia tidak bisa memberi kabar pada semua yang ada di Indonesia. Sampai pada suatu waktu, Gusdur, yang menjadi Presiden kala itu mengetahui cerita tentang si lelaki dan beberapa teman yang lain, yang tidak bisa pulang. Dengan bantuan Presiden Gusdur itulah si lelaki bisa pulang. Satu orang yang paling ingin ditemuinya adalah kekasihnya. Ia masih ingat janji akan menikahi gadis yang dicintainya itu. Tiga puluh lima tahun si lelaki sama sekali tidak menikah, karena baginya janji harus ditepati. Ia mencari kabar tentang kekasihnya itu, mereka akhirnya bertemu dan ternyata kekasihnya sudah menikah dengan orang.

Aku tidak bisa membayangkan perasaan dua orang ini. Si lelaki yang bertahan bertahun lamanya untuk berusaha memenuhi janjinya, menikahi seorang gadis. Ternyata kekasihnya sudah tidak lagi sendiri. Kekasihnya juga pasti juga hancur perasaannya. Mengetahui kalau ternyata lelaki pujaannya berpuluh tahun lalu masih ingat dengan janjinya dan memenuhinya. Perempuan mana yang tidak tersanjung?

Pak Widodo dan Bu Widari. Keduanya masih hidup. Bu Widari tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Sedangkan Pak Widodo kembali ke Kuba, karena di sana ia dibutuhkan.

Kisah cinta yang rasanya klise, tetapi aku merasakan jika kisah seperti ini tidak akan bisa terulang. Romantis dan kisah cinta yang lain akan muncul sesuai dengan tanda-tanda zaman yang memang juga berubah.

Andai saja internet sudah bisa diakses dengan mudahnya seperti saat ini, andai saja informasi yang bisa didapat oleh seseorang sudah dengan luasnya menyebar pasti Pak Widodo dan Bu Widari bisa saling memberi kabar. Mungkin Pak Widodo dan Bu Widari bisa menjadi pasangan suami istri. Mungkin kisah cinta mereka akan berlanjut menjadi lebih baik, tidak ada penyesalan. Tapi mungkin juga mereka akan pecah di tengah jalan. Mungkin saja janji Pak Widodo pada Bu Widari tidak akan bertahan selama ini. Siapa yang tahu?

Ketiadaan teknologi kala itu membuat janji anak muda itu bertahan selamanya, dan menjadi fenomenal karenanya. Ketiadaan teknologi juga yang membuktikan bahwa kekuatan janji tentu bisa mengalahkan waktu. Saat ini, kita terlalu cepat merasa curiga, terlalu mudah berasumsi. Rasa rindu menjadi sekadar tanpa kabar 12 jam, 7 jam, 53 menit, bahkan 3 menit. Tidak ada lagi rasa rindu yang terikat kuat di dalam hati. Jadi, sampai saat ini aku masih bisa percaya bahwa rindu terdalam itu memang menunggu yang tak kembali.

Jumat, 04 Oktober 2013

Karena Cinta Masih Ada

30 September 1965.

Saat di mana negeri ini mengalami masa kelam. Masa lalu abu-abu yang hingga sekarang belum pasti warnanya. Bukan putih bukan hitam. Abu-abu. Bagaimana peristiwanya, siapa pelakunya, mengapa terjadi? Semuanya masih samar, tidak jelas. Hanya satu yang mungkin bisa diyakini, semuanya jadi korban. Semuanya merasa kehilangan, semuanya dirugikan, atau paling tidak, akan ada saatnya mereka merasa rugi.

Mengenang masa lalu. Orang punya caranya masing-masing. Punya caranya sendiri untuk menghargai masa lalunya, yang harusnya tidak ada yang boleh, walaupun bisa, mengatur jalan cerita dan sejarah seseorang.

Hari tanggal yang sama, empat puluh delapan tahun kemudian. Papermoon membawakan kenangan dengan caranya sendiri. “Secangkir Kopi dari Playa” mengisahkan tentang kisah nyata, romansa sepasang kekasih yang sempat terganggu kejadian puluhan tahun silam.

Ini tentang mencintai. Ini tentang bagaimana seseorang menepati janjinya. Ini tentang kekuatan kenangan yang bisa membuat seseorang bertahan hidup.




“Secangkir Kopi dari Playa” sudah pernah dipentaskan sebelumnya pada tahun 2011 di Yogyakarta. Waktu itu, pentas ini diadakan di sebuah toko barang antik. Di sebuah ruangan penuh barang yang sarat dengan cerita dan kenangan.

Kali ini, berbeda. Bukan lagi di toko barang antik seperti sebelumnya. Dilangsungkan di sebuah rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pertunjukan di Jakarta kali ini gratis, tapi  setiap orang yang mau menyaksikan pentasnya harus memulai dulu dengan berbagi. Mereka harus menukarkan tiket pertunjukan dengan sebuah barang yang ingin dilupakan, serta alasan mengapa ia ingin melupakan barang tersebut.

Menurutku, pementasan “Secangkir Kopi dari Playa di Jakarta kali ini lebih intim. Suasana dan koneksi antara penonton, boneka dan pemainnya mulai dibangun bahkan sebelum pertunjukkan berlangsung. Konsepnya adalah pengumpulan barang untuk pembukaan museum. “Museum Pahit Manis” namanya.



Museum ini mengumpulkan barang dari siapapun yang ingin berbagi kenangan, tentang apapun. Tentang keluarga, tentang refleksi diri, tapi yang akhirnya paling banyak terkumpul adalah tentang kisah cinta dengan pasangannya. Memang kisah cinta seperti ini tidak akan pernah ada habisnya  Barang-barang yang dikumpulkan itu kemudian dipajang di luar area pertunjukan, lengkap dengan cerita pahit-manisnya.

 “Secangkir Kopi dari Playa” itu seperti menceritakan lagi sebuah kenangan pahit manis. Rasanya seperti cangkir kenangan penikmatnya diisi lagi dengan tuangan kenangan lain dengan cara yang indah. Lewat boneka-boneka yang tampak hidup, punya jiwa, punya rasa.




Proses pengumpulan benda dan ceritanya itu seperti proses menuang dan mengisi cangkir dan teko kenangan. Teko kenangan yang terus diisi mungkin akan penuh suatu saat, maka penontonnya sekarang diminta untuk menuangkan dulu kenangan yang pernah dialaminya sendiri untuk dinikmati orang lain. Berbagi kenangan masa lalu, baru kemudian “Secangkir Kopi dari Playa” mengisi lagi hati penontonnya dengan kenangan tentang kisah romansa pemuda pemudi.

Kenangan tentang 30 September 1965 di Indonesia, menjadi kenangan pahit bagi siapapun, terutama untuk negeri ini. Tragedi itu akan selamanya terkenang. Terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, harus disadari bahwa kejadian itu benar pernah terjadi. Kejadian mengerikan itu benar-benar pernah ada.

Hari tanggal yang sama, empat puluh delapan tahun kemudian aku mengingatnya dengan cara yang indah. Dengan cara yang menyenangkan. Dengan cerita cinta, bukan permusuhan seperti yang biasanya dilakukan. Karena aku pernah mendengar kalau apa yang kita rasakan saat ini sebagai kebenaran, suatu hari  nanti akan kita jumpai sebagai sesuatu yang indah[1], seperti yang selalu disampaikan Frans, tour guide, Museum Pahit Manis.

Secangkir Kopi dari Playa ini menjadi semacam jalan untukku memaknai kenangan negeri ini lewat konflik yang pernah terjadi. Bahwa dalam tragedi sebesar itu, dalam kisah sedih semasif itu masih tersisa berkas-berkas kasih. Walaupun samar. Karena cinta masih ada.







[1] "What We Have Here Perceived as Truth, We Shall Encounter Some Day as Beauty” – judul pameran karya FX Harsono tanggal 1-22 Juli di Jogja National Museum di Yogyakarta

Selasa, 17 Juli 2012

Anwesha

This night, I watched a beautiful performance at Padepokan Bagong Kusudiardjo. "Anwesha" by Maya Dance Theater LTD.

"Anwesha" is a dance performance. Tells a part from Ramayana story about Shinta who can't express her feeling because of her status. As a king's wife, Shinta has to obey all of the rule in the palace. She is silenced by the rules. This performance is a collaboration of seven persons from three countries : Indonesia (Bali dance), Malaysia, and Singapore. With simple lighting and simple stage, "Anwesha" still a lovely performance for me. 

I took some pics use my Canon Ixus 230 :D









Rabu, 20 Juni 2012

Rasanya Masih Sama

Printed Artwork by Iwan Effendi. 

Mungkin lebih dari lima kali saya menyaksikan pertunjukan ini, dan sudah puluhan kali melihat proses latihannya. Mulai dari Tupu, Moyo, Baba, Haki, dan Lacuna belum “lahir” sampai mereka tumbuh dan berubah penampilannya. Mulai dari Tupu yang dilihat sebagai anak perempuan, sampai Tupu yang sudah bisa pipis berdiri. Mulai dari suara asli kotak musik Lacuna dipakai untuk latihan pertama kali sampai menjadi lagu yang selalu terngiang di setiap pentas dengan diiringi dengan tarikan nafas sesenggukan penontonnya.

Masih selalu sama rasanya melihat adegan-adegan itu. Iba luar biasa. Rasanya ingin sekali melihat Tupu tertawa lebih banyak, rasanya ingin sekali membantu Moyo mencari Babanya, dan masih saja selalu kecewa karena tidak bisa mengingatkan Lacuna supaya tidak bermain-main dengan peluit milik Tupu itu.
Mwathirika memang seperti benar-benar nyata, benar-benar ada dunia lain yang penghuninya adalah keluarga Baba, dan Haki yang bertetangga, anjing lincah yang taringnya sangat besar, badut yang tampak ramah tapi menyimpan kepentingan politis yang besar. Semuanya benar nyata telah dihidupkan di mana pun mereka dipentaskan.

Rasanya tidak bisa mengatakan, “padahal mereka hanya boneka.” Ya, mereka memang boneka, tapi tidak menjadi sekadar “hanya”. Rasa kagum masih selalu ada ketika semua pemainnya berhasil menghembuskan nafasnya untuk menghidupkan gerak para boneka. Tidak heran kalau US Department dan Center Stage memilih Papermoon dengan Mwathirika-nya untuk dipentaskan di Amerika Serikat. Mereka tidak akan pernah menyesal jika harus menghabiskan banyak dana untuk mendatangkan Geng Papermoon ini.

Pentas di Bandung kali ini membuat saya menjadi semakin tidak bisa bicara terlalu banyak. Dengan material baru dan kematangan karakter yang semakin baik tidak ada rasa bosan dalam diri saya sampai sekarang saya selalu menjadi penonton dalam pentas ini. Dan ketika rasa yang sama masih selalu timbul ketika melihat tontonan yang selalu sama itu adalah luar biasa.

Perjalanan menghidupkan dunia Mwathirika ke benua seberang semakin dekat, masih banyak yang direncanakan sebelum benar berangkat ke sana. Semoga rasa yang muncul masih akan selalu sama dirasakan oleh semuanya. Semoga juga pesan yang ingin disampaikan Tupu, Moyo, Baba, Haki, dan Lacuna lewat kisah hidup mereka diterima dengan baik juga oleh semuanya. Terimakasih Mwathirika!

Jumat, 03 Desember 2010

Tentang Cinta dan Goresan Luka

Pada tanggal 1 - 3 Desember telah terselenggara sebuah pementasan, MWATHIRIKA. Pentas yang menuai banyak pujian dan menguras banyak air mata ini menurut saya sangat inspirasional. Bangga dan gembira bisa menjadi salah satu bagian dari prosesnya. Terima kasih untuk Mbak Ria, Mas Iwan, dan Frau Aniek yang bersedia menampung saya untuk belajar.

Mengisahkan tentang kehidupan bertetangga Baba, seorang ayah bertangan satu, yang hidup dengan dua anaknya, Moyo dan Tupu. Damai melingkupi kehidupan mereka dengan tetangganya Haki dan anaknya yang harus memakai kursi roda, Lacuna.

Tapi tentram itu harus tercabut dalam hidup mereka hanya karena coretan segitiga merah oleh orang tak dikenal. Goresan pertanda si empunya rumah harus ditangkap tidak jelas alasannya apa. Satu yang jelas mengapa Baba ditangkap adalah karena ia “ditandai”. Moyo, ingin mencari keberadaan ayahnya. Ia menanyakan pada orang yang berseragam sama dengan yang menangkap ayahnya. Lagi-lagi Moyo harus ditangkap hanya karena ia punya “tanda”.

Lacuna, sebagai teman ingin menghibur tetangganya Tupu yang sekarang tinggal sendirian setelah ayah dan kakaknya hilang. Tapi Haki selalu melarang Lacuna mendekati Tupu karena takut terkena “tanda” juga.

Pada akhirnya memang semuanya merasakan kesedihan. Semua menjadi korban, sesuai dengan arti kata mwathirika yang diambil dari bahasa Swahili artinya korban dalam bahasa Indonesia.



Dua hal setidaknya yang bisa saya temukan dan sampaikan :

Pertama tentang dua keluarga yang ada anggotanya tidak lengkap fungsi tubuhnya. Baba dan Lacuna menggambarkan sosok yang merasakan suatu kehilangan. Dalam pentas yang didedikasikan untuk penderita tuna rungu pada hari Deaf International (3 Desember), seakan mengingatkan bahwa antara mereka mungkin sama-sama memiliki rasa kehilangan, tapi mereka masih punya satu hal yang sama yang tidak akan hilang dalam hidup mereka. Cinta. Kita dan mereka masih punya hak yang sama untuk mencintai dan dicintai.

Baba seorang ayah yang sangat mencintai kedua anaknya. Bahkan ketika ia ditangkap oleh dua prajurit, masih juga menyempatkan diri untuk memperbaiki kuda mainan milik anaknya Tupu. Tidak jauh berbeda dengan Moyo. Seorang kakak yang belum saatnya harus bertanggung jawab penuh atas adik kecilnya yang sangat dicintainya.

Haki juga merepresentasikan sosok ayah yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Memiliki seorang anak yang lumpuh, dengan segala ketahuan dan ketidaktahuan, ketakutan dan keberanian, berusaha menjaga anak tercintanya supaya tidak sampai terjadi kesalahpahaman. Walaupun memang akhirnya tidak berhasil mencapai keinginannya menjaga, Lacuna, anaknya tersebut.

Saya berusaha melihat secara lebih mendalam. Bukan tidak mungkin kalau apa yang terjadi dengan anaknya itu adalah karena ketakutan Haki mengungkapkan fakta. Sekadar melarang tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sekadar menimbulkan ketakutan yang dipaksakan tanpa kognisi yang memadai.

Mirip dengan apa yang terjadi pada periode paska Gestapu, periode yang menjadi inspirasi pentas MWATHIRIKA ini. Dalam ceritanya hanya dikatakan bahwa si “segitiga” itu salah. Mereka harus dibasmi. Mereka tidak boleh didekati, dan mereka itu berbahaya. Padahal apa yang terjadi ketika memaksakan perlakuan dengan berbekal hanya sedikit tahu, sangat mungkin mengakibatkan bahaya yang lebih besar tanpa disadari sebelumnya.

Kedua tentang gores luka yang diingatkan. Dengan misi mengajak melakukan rememorasi, MWATHIRIKA berhasil merealisasikan suatu usaha yang kadang tidak terpikir oleh kita semua. Mengisahkan kembali tentang sejarah. Sejarah tentang ingatan masa lalu yang memang tidak selalu indah.

“ingatan tidak hanya sekadar luka goresan tapi mengenali luka bekas goresan tersebut”. Artinya sejarah bukan hanya sebatas diingat, tapi juga diperlukan pemaknaan atas suatu kejadian di masa lampau untuk lebih dapat dikatakan berhasil “mengingat”.

Banyak hal yang baru saya tahu ketika melihat simbol-simbol yang tervisualkan dalam pentas teater boneka ini. Sebelumnya jarang pernah saya mendengar cerita tentang Gestapu dan kejadian setelahnya. Pengetahuan saya hanya sebatas penculikan tujuh pahlawan revolusi, Tritura, dan tanda ET (Eks Tapol) pada KTP.

Cerita tentang pesta ulang tahun partai itu, lambang segitiga merah, cara pemusnahan dengan dilempar ke jurang dan yang lainnya baru saya temukan dari menonton pertunjukkan MWATHIRIKA ini.

Mengutip kata-kata dari Paul Ricoeur, “and the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened.. by remembering and telling, we’re not only prevent forgetfulness from killing the victims twice, we also prevent their life stories from becoming banal., and the events from appearing as necessary” .

MWATHIRIKA berhasil membantu saya mengenali goresan luka itu dan menghidupkan kembali jejak tentang masa kelabu 45 tahun yang lalu.

Gondomanan, 4 Desember 2010