Sabtu, 02 November 2013

Lupa

16-17 Agustus 2013 kemarin aku pertama kali mengikuti rangkaian kegiatan kenegaraan dalam rangka ulang tahun Indonesia. Pengalaman yang rasanya tidak akan pernah terlupakan. Banyak hal yang aku dapat, banyak hal yang sudah diajarkan oleh kehidupan di kota pelabuhan kecil di pulau besar paling timur NKRI.

Dimulai dengan Tabtu. masa ini mungkin tidak banyak yang tahu tentang tradisi keliling kota dengan membawa obor. 16 Agustus malam, asumsiku kegiatan ini semacam napak tilas peristiwa Rengasdengklok di mana Soekarno dan kaum tua dibawa dan dipaksa oleh kaum muda saat itu untuk segera memanfaatkan “vacuum of power” saat Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu, untuk mewartakan kemerdekaan Indonesia. Dilanjut dengan renungan suci. Upacara mengheningkan cipta ini dilakukan di Taman Makam Pahlawan Bukit Genofa, Kaimana.

Taptu. Pawai obor keliling kota Kaimana. Semacam napak tilas perjuangan pahlawan di Kaimana

Esok paginya, pasti ada upacara penaikan dan penurunan Bendera Merah Putih. Upacara diadakan di Stadion Triton. Dihadiri oleh perwakilan siswa dan seluruh jajaran Muspida Kaimana.  Menariknya, upacara 17an di Kaimana memakai pasukan pengibar, dan pengiring lengkap. Katanya, di Papua Barat peristiwa upacara yang paling lengkap hanya ada di Kaimana. Paskibra adalah siswa-siswi pilihan dari perwakilan SMA di Kaimana. Mereka digojlok selama 1 bulan untuk mempersiapkan beberapa menit tugas menaikkan dan menurunkan Sang Merah Putih.

Siang hari setelah upacara penaikan bendera aku mengikuti rombongan pejabat ke Rumah Tahanan. Setiap 17 Agustus, Negara selalu memberikan juga hadiah pada tahanan. Selalu ada grasi untuk mereka yang berkelakuan baik dan kooperatif selama ditahan. Selalu ada senyum-senyum bahagia dari mereka yang mendapat keringanan tahanan, atau bahkan pembebasan.

Ditutup dengan Malam Resepsi Kenegaraan. Malam yang sangat berkesan untukku. Selain karena gedung pertemuan Krooy yang megah, dekorasi merah putihnya yang rapi dan makan malam yang sehat juga hal unik lainnya. Ada sebuah kebiasaan di Kaimana, mungkin di seluruh Papua. MENARI. Mereka sangat suka menari.

Mereka menyebut kegiatan menari itu “Tumbu Tanah” orang Kaimana selalu mengadakan tumbu tanah di setiap akhir acara senang-senang mereka. Diiringi dengan alunan keroncong nilon (alat musik khas suku-suku di Kaimana) semua orang yang ada di Gedung Pertemuan Krooy membentuk lingkaran besar memenuhi ruangan, tidak terkecuali aku dan teman-teman unit KKN-ku. Kami semua menari, seakan dalam hidup ini tidak ada masalah. Bebas, lepas.

Tariannya jangan bayangkan gerakan rumit ala B-boy atau gerakan lemah gemulai putri kraton menari Srimpi. Tumbu tanah itu lebih banyak gerakan kaki semangat kecil-kecil dan kadang diikuti pinggul yang diputar ke kiri dan ke kanan.

Satu hal yang paling berkesan adalah bahwa ketika aku menuliskan semua orang ikut menari itu dalam artian semuanya. Tanpa kecuali. Semuanya, bahkan setiap pejabat yang datang ke acara tersebut ikut menari. Tidak ada malu, tidak ada jaim, tidak ada gengsi. Dandim, Guru, anggota Paskibra, anak-anak, siswa-siswi, kami peserta KKN, dan bahkan Bupati ikut menari bersama. Tanpa protokoler yang rumit seperti biasa dilihat di Jawa, di mana semua tampak sangat tegang dan ketakutan akan keamanan. Tapi aku juga sempat berpikir, betapa mudahnya orang yang berniat membunuh Bupati Kaimana waktu itu. Tanpa ada pengamanan, semua orang bisa dengan mudah berbincang, bersentuhan, atau mungkin menusuk dengan senjata tajam.

Dokumentasi-KKN-Kaimana-519 resize
Bupati Kaimana dan warganya menari bersama

Dokumentasi-KKN-Kaimana-522 resize
teman-teman mahasiswa KKN UGM

Aku sedikit berandai apa bisa setiap pejabat di Indonesia ini menari bersama seperti di Kaimana. Selepas dan sebebas itu. Pasti sangat menyenang kalau bisa, walaupun hanya sebentar mungkin setiap orang bisa melupakan pangkat, jabatan dan gengsinya. Melupakan masalah dan bebannya. Melupakan kaku atau luwesnya gerakanmu untuk menari,melakukan hal yang menyenangkan bersama-sama.

*foto-foto hasil jepretan Jason Iskandar

Sadar Berbeda

Kan kuingat selalu
Kan kukenang selalu
Senja indah
senja di Kaimana
Seiring surya
Meredupkan sinar
Dikau datang
Ke hati berdebar.

Kamu mungkin tidak banyak yang kenal tentang syair di atas, tapi coba bacakan barisan syair tersebut pada bapak, ibumu, atau paklik dan budhemu. Mereka pasti lebih mengenalnya. Lagu tersebut adalah lagu “Senja di Kaimana”, lagu yang dipopulerkan oleh Alfian pada tahun 1970an. Liriknya hasil karya seorang prajurit Trikora yang mendarat di Kaimana dalam tugas pembebasan Irian Barat. Ya, Kaimana dulu adalah salah satu pelabuhan penting bagi beberapa sejarah Indonesia terkait Papua.

Tidak hanya senjanya, di belahan Papua mana pun, rasanya pasti akan ditemukan keindahan-keindahan yang dikatakan mirip surga itu. Sementara ini baru Rajaampat saja yang terkenal, itu baru sebagian kecil dari keindahan Papua seluruhnya.

oleh : Suryo Hapsoro

Tapi aku bukan dalam rangka bercerita tentang keindahan alam Kaimana. Hal yang terlalu indah untuk diceritakan. Datanglah ke sana, rasakan sendiri, dan kamu akan tahu mengapa aku kesulitan menceritakan keindahannya. Aku ingin bercerita tentang keindahan lain yang aku temukan di Tanah Papua, surga kecil jatuh ke bumi. Keindahan yang membuatku yakin betul kalau aku mencintai negeri ini. Bahwa perbedaan itu betul sungguh indah bila dipahami bersama.

Momen ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 kemarin aku rayakan bersama teman-teman unit PPA01 - Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada dan warga Kaimana. Aku yakin, 17an tahun ini menjadi yang paling berkesan untukku sampai 21 tahun aku belajar bernafas.

Beberapa tahun yang lalu, aku pernah berkata kalau nasionalisme tidak harus ditunjukkan dengan upacara bendera. Tidak ada yang suka mengikuti upacara yang panas, orang harus bersikap sempurna selama kurang lebih 1 jam, lelah, pusing, bahkan tidak sedikit yang pingsan ketika upacara tengah berlangsung. Nasionalisme seseorang harusnya cukup ditunjukkan dengan berusaha sekuatnya untuk membuat hari esok negaranya menjadi lebih baik.


Agustus Kemarin adalah kali pertama aku mengetahui dan mengikuti rangkaian kegiatan “kenegaraan” dalam rangka merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia. Kami, kelompok KKN Kaimana, mendapatkan undangan resmi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana untuk mengikuti seluruh rangkaian kegiatan kenegaraan tersebut.

Melalui dan mengikuti seluruh rangkaian acara kenegaraan tersebut membuatku tidak lagi meremehkan upacara bendera. Memang, upacara melelahkan, panas, menyebalkan tetapi bukan berarti upacara bendera saat 17 Agustus itu tidak perlu. Kalau kamu tinggal di Papua mungkin bisa merasakan pentingnya I.N.D.O.N.E.S.I.A. Dengan ratusan suku yang berbeda, identitas sebagai Indonesia, bahasa Indonesia menjadi wadah netralisasi primordialisme suku. Menjadi pencipta kesadaran akan perbedaan dan kebutuhan rasa kebersamaan.

Di Jawa sini, mungkin tidak terlalu dirasa penting. Kita terlalu seragam, terlalu satu warna, terlalu satu suku. Jadi rasanya buat apa ada upacara (buat apa ada Indonesia?) kalau kita sudah merasa sama. Sama Jawa, sama Islam, sama Sunda, sama suku, tapi tidak merasa sama sebagai Bangsa Indonesia. Rasa kesamaan sempit itu sebenarnya yang menjadi bom bunuh diri. Identitas bangsa ini kemudian terdistorsi menjadi sekadar rasa kesukuan, keagamaan.

Bila sudah merasa sama, pasti akan ada yang ingin berbeda. Negatifnya jadi terkesan seperti mencari-cari perbedaan. Membuat konflik dan masalah perbedaan yang seharusnya tidak perlu. Rasa kesamaan itu yang menurutku makin mengikis arti pentingnya Indonesia sebagai pemersatu.

Aku berefleksi, kenapa aku harus menolak ikut upacara paling tidak setahun sekali padahal setiap Minggu aku meluangkan waktu pergi ke Gereja. Padahal aku tinggal di tanah Indonesia. Tuhan meletakkan aku di tanah ini untuk jadi tanah tumpah darahku, untuk berkarya bagi Tuhan dan seharusnya bagi bangsaku juga. Seharusnya aku bisa menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia, Tidak hanya 50%-50%, seperti yang dikatakan Mgr. Soegijapranata SJ, uskup yang belum lama ini kisahnya diabadikan dalam sebuah film layar lebar.

Upacara menjadi semacam titik penyadaran bahwa Negara ini masih ada, Negara ini masih kokoh berdiri walaupun diterpa selaksa masalah. Merah Putih tetap dapat berkibar setinggi-tingginya. I.N.D.O.N.E.S.I.A tetap bersatu walaupun berjuta perbedaan hidup di dalamnya. Bahwa dalam upacara bukan hanya kaki dan seluruh tubuhmu saja yang harus tegap berdiri, tapi lebih dari itu. Hatimu. Hatimu harus tegap, busungkan dadamu dan sadarilah kalau I.N.D.O.N.E.S.I.A adalah negara besar. Negeri multikultur yang sangat kaya. Tanamkanlah dalam diri bahwa justru perbedaan itu yang menjadikan negeri ini semakin kaya, dan kekayaan itulah yang harus dijaga oleh setiap pribadi manusia yang mengaku orang Indonesia.


Perbedaan memang harus disadari dan diakui. Dengan begitu perbedaan tersebut bisa digunakan untuk saling melengkapi, bukan hanya kekurangan dan kesalahan saja yang dicari. Menurutku tidak pada tempatnya kalau kita semua harus merasa sama karena memang tidak akan pernah sama. Bahkan pusaran jari kelingking dan jari manis tangan kananmu pun tidak akan pernah sama. Maka bukannya kita semua harus menyatukan perbedaan, sebenarnya jauh lebih indah kalau kita bisa bersatu dalam perbedaan.

Senja di Kaimana
Dan kasihmu dara
Dalam jiwa
Sampai akhir masa

Terimakasih Kaimana, pelajaran ini akan selalu terkenang sampai akhir masa.

*foto diambil oleh teman saya, Jason Iskandar, dan saya sendiri