Kamis, 23 Juli 2015

Maafkan, tapi Jangan Pernah Lupakan

Forum Indonesia, di Metro TV malam ini menyajikan diskusi tentang wacana rekonsiliasi dan penegakan hukum terhadap para pelaku sebagai langkah yang dianggap adil bagi para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Tentang rekonsiliasi, ada satu poin penting yang aku dapatkan terutama dalam proses pengerjaan skripsiku, forgive but never forget. Maafkan, tapi jangan pernah lupakan.


Ya, rekonsiliasi sangat penting dilakukan, paling tidak diusahakan. Kita bicara tentang luka masa lalu. Bukan hanya 'luka' bagi para korban, tapi juga bicara tentang 'luka' bangsa. Sulit, pasti, di tengah masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan labelisasi terhadap beberapa golongan.

Para korban hanya perlu dimanusiakan dan diakui sebagai korban, bukan sebaliknya. Menurutku, ketika dalam prosesnya nanti pelaku bisa diadili, itu jadi langkah tepat dan sudah seharusnya, tapi bukan yang prioritas.

Tak Pernah Kacau Jadi Tujuan Agama

Kata agama berasal dari 2 kata dalam bahasa Sansekerta, A dan Gama. A berarti tidak, penggunaannya seperti A dalam kata asusila. Dan Gama berarti kacau. Seharusnya agama menuntun pengikutnya untuk menjauhi kekacauan.


Sui Generis, Agama tertempel pada diri manusia bahkan sejak awal ia terlahir. Manusia lahir tanpa pernah bisa memilih sendiri akan dilahirkan oleh ibu yang mana, punya ayah dengan pekerjaan seperti apa dan menghabiskan masa kanak-kanak dengan datang ke Gereja setiap minggu, atau berlatih membaca Alquran, atau berdoa pakai hio di Klenteng. Tak perlu lah kita saling serang hanya karena suatu hal yang belum tentu kita pilih dengan kesadaran penuh.

Seharusnya kita bisa setuju, apapun kejadian yang menimbulkan kekacauan tidak pernah berasal dari agama apapun. Kekacauan, dengan atau tanpa label agama tak pernah jadi harapan, pun tak perlu manusia ikut kacau karena nuansa agama.

Karena tak pernah kacau jadi tujuan agama.

Minggu, 05 April 2015

Paskah yang Mengubah

Beberapa waktu yang lalu di pertengahan bulan Maret aku berbincang cukup seru dengan kakak lelakiku. Kami berbincang tentang ketakutan banyak orang ketika menghadapi perubahan. Ada yang takut, bahkan tak sedikit yang menolak. Atau mungkin semuanya menolak karena takut? Menurutku takut berubah masih masih lebih baik daripada menolak perubahan. Takut berubah masih bisa melawan dan menjadi berani menghadapi perubahan. Tapi ketika sudah menolak perubahan tinggallah saja dalam batok kelapa, karena di sanalah tempat katak bisa merasa paling aman.

...

Aku sering berkata bahwa Maret adalah bulan yang paling menjadi favoritku. Banyak peristiwa besar yang mengubahku terjadi di bulan Maret. Perubahan yang biasanya selalu membawa ceria untukku dan juga keluargaku. Bulan Maret juga selalu menjadi istimewa untukku karena di bulan ini aku selalu diingatkan untuk berterimakasih pada Ibuku atas perjuangannya melahirkanku di tahun 1992. 

Ulang tahun. Mungkin adanya peristiwa ini juga yang membuatku tersugesti untuk selalu menunggu bulan Maret datang. Walaupun sebenarnya tak pernah aku merayakannya dengan sunguh-sungguh. Mungkin karena itu pula, aku merasa banyak perubahan besar terjadi di bulan Maret walaupun sesungguhnya perubahan terjadi padaku tak hanya di bulan Maret.


...

Waktu itu kami berbincang tentang rencana-rencana dan kemungkinan yang terbuka di tahun 2015. Tahun kambing ini adalah tahun perubahan kata kakakku. Dimulai darinya yang mengundurkan diri dari kantor lamanya dan pindah ke tempat lain di mana ia merasa kesempatannya memulai untuk berkembang lagi lebih terbuka. Lalu aku, ini tahun pertamaku masuk dunia kerja. Memulai bekerja di bidang yang mungkin jika dilihat sekilas tampak sangat jauh dari dunia belajarku sebelumnya. Lalu lagi, kakak perempuanku pertengahan tahun ini akan memulai tugas barunya di sebuah kota dekat perbatasan Thailand dengan Malaysia. Ibuku rencananya akan ikut sementara menemaninya di sana. Kami bersiap dengan perubahan. Kami mereka-reka apa saja yang mungkin terjadi.

Tapi ternyata semua yang mungkin terjadi tidak selalu bisa direka-reka sebelumnya.

2015. Tak benar-benar aku menyukai Maret tahun ini. Aku tak pernah mengira, ternyata tahun ini, di bulan yang selama ini menjadi favoritku ada peristiwa yang sebetulnya tidak pernah kami rencanakan apalagi harapkan. Tiga hari sebelum ulang tahunku, istri dari kakakku dengan mendadak harus mengembuskan nafas terakhirnya di hari pertamanya kembali bekerja, di kantor barunya. Kaget, tentu. Sedih, sangat. Tapi kami tak mengutuk keadaan.

...

Candik ala adalah keadaan ketika langit bercahaya remang, langit kuning silau dan angin berembus tak menyenangkan. Proses ketika perubahan antara siang terang ke malam gelap. Sore yang jelek, pembawa penyakit dan malapetaka. Saat candik ala datang anak-anak tidak boleh lagi bermain di luar, sudah harus masuk dalam rumah, tak ada lagi aktivitas selain di dalam rumah. Katanya, saat  candik ala ini, hantu-hantu dan roh jahat mulai berkeliaran untuk menangkapi anak-anak yang masih bermain di luar rumah. Cerita-cerita ini cukup membuat jera anak-anak untuk tak lagi ngeyel bermain di luar rumah.

...

Aku bukan penolak perubahan, tapi kadang berubah tak bisa selalu seperti yang dibayangkan. Maret yang kutunggu-tunggu ternyata dipenuhi dengan perubahan yang tak terpikir sebelumnya olehku dan keluargaku. Ini kali kedua kami harus kehilangan seorang anggota. Setelah Bapak harus terpisah 9 tahun yang lalu, sekarang Mbak Diman dengan tiba-tiba harus tidak bersama lagi. 

Semua rencana tak lagi seperti awalnya. Kami harus dengan segera menyesuaikan diri, jangan sampai kami hanya berdiri tegak berusaha kuat tanpa langkah ke depan.  Kalau kata kakakku, berhentilah bertanya ‘mengapa’ pada hal yang tidak kamu inginkan. Bertanyalah ‘bagaimana’ cara menghadapinya sekarang! Candik ala tak pernah selamanya datang. Malam gelap pun akan berujung lagi pada pagi. Ayam akan mulai berkokok lagi dan semua orang akan beraktivitas kembali.

Paskah sekarang mengubah dan membuatku berpikir lebih lagi jauh tentang perubahan. Yesus, anak tukang kayu itu, memberi contoh bahwa perubahan memang bisa saja terjadi dengan kondisi yang sangat ekstrim. Tidak bisa kita selalu berharap perubahan yang gradual hanya agar kita bisa lebih siap menghadapinya.
Kamis Putih, Yesus berpesta dengan kedua belas muridNya. Esoknya Jumat Agung, Ia harus berada di posisi terendah, tersiksa dan terhina  sampai dengan nafas terakhirnya. Ia tergantung di tiang salib dengan luka di sekujur tubuhnya. Hingga pada hari ketiga, seperti yang tertulis di kitab suci, Ia bangkit menjadi raja Agung yang berhasil mengalahkan maut. Bukan perubahan gradual yang dialami Yesus.

...

Kalau memang ini rencanaNya, yang bisa kita lakukan adalah berusaha sekuat tenaga. Memastikan supaya diri bisa jadi manusia yang berguna bagi manusia lainnya.
Kalau memang ini rencanaNya, bukan berarti kita hanya diam pasrah toh semua sudah diatur olehNya. Bukan.
Kalau memang ini rencanaNya, harusnya kita yang paham bahwa selalu ada selisih antara harapan dan kenyataan. Harusnya kita dibuat menjadi lebih rendah hati, menghormati dan menghargai segala proses dan perubahan.


...

Di quartal awal tahun ini aku dipaksa belajar sekali lagi untuk menikmati proses. Berusaha menerima semua perubahan yang terpikir maupun tidak. Aku belajar bahwa yang tidak pernah berubah dalam kehidupan ini adalah perubahan.