Selasa, 14 September 2010

Hal Kecil yang Mungkin Jadi Solusi

Masih lekat dalam ingatan kita peristiwa Joni Malela. Seorang tuna netra yang harus menemui akhir hidupnya saat berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia.
Kuatnya keinginan orang-orang itu untuk sekadar bertemu SBY atau sebenarnya sepiring makanan lah yang mendorong mereka untuk datang ke sana, membuat mereka rela berdesakan seperti itu. Kalau memang iya karena masalah perut, sebegitu miskinnya ya Indonesia sampai makanan gratis di hari raya pun harus berebutan seperti itu?
Tetapi bukan masalah makan yang ada di benak saya. Pertanyaanku apakah pengatur acara di Istana Presiden tidak mengerti yang namanya system antre ya? Seburuk itukah pendidikan di Indonesia sampai mereka tidak tahu, tidak bisa, atau tidak mau antre? Saya membayangkan kalau kejadian kemarin itu petugas sudah menyiapkan pembatas atrean. Karena kalau memang masyarakat belum sadar untuk antre, setidaknya mereka bisa kan diperintah untuk antre. Jalur antrean itu mungkin bisa mengurangi orang-orang itu berdesakan.
Seperti ketika seseorang yang ingin menabungkan hasil dari pendapatan minus konsumsi di bank. Ada pembatas untuk mengatur jalur antrean nasabah, sehingga jelas mana yang lebih dulu bisa dilayani. Atau memang berdesakan itu yang diharapkan oleh presiden dengan membuat open house di kediamannya? Semacam politik citra, ketika sangat banyak yang datang ke open house itu semakin menunjukkan pula bahwa presiden kita itu benar-benar masih dicintai oleh rakyatnya. Kalau memang benar seperti itu,sepertinya sudah tidak relevan lagi dijalankan oleh Pak Presiden. Orang Indonesia tahu kalau ia didukung oleh 62 % rakyat Indonesia, apa gunanya lagi politik citra seperti itu?
Parahnya, jangankan orang-orang yang datang ke rumah SBY kemarin itu yang notebene adalah orang-orang dengan pendidikan tidak tinggi, bahkan orang-orang kaya yang punya uang lebih untuk pergi ke luar negeri itu pun banyak yang tidak tahu caranya antre.
Ini pengalaman saya sendiri, merasakan perbedaan yang sangat njegleg ketika sempat menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, Changi, dan Frankfurt. Di ketiga bandara internasional di tiga negara yang berbeda ini juga punya perbedaan yang sangat terasa. Mulai di Bandara Soekarno-Hatta, orang-orang Indonesia dengan mudahnya menerobos antrean. Sepertinya hanya mereka sendiri yang terburu-buru di sana. Sampai di Changi, mulai berubah keadaannya sedikit lebih tertib, walaupun masih ada yang serobot sana serobot sini (ga heran, sebagian besar masih orang Indonesia juga). Lebih-lebih ketika sudah masuk Bandara Internasional di Frankfurt, ketertibannya sangat terlihat. Bandara di mana orang-orang di negara itu memang sudah terkenal dengan ketertibannya.
Bukan mau membanding-bandingkan dengan negara lain, tapi belajar dari orang lain untuk menjadi lebih baik kan juga tidak pernah salah. Kembali ke masalah Joni Malela tadi. Kalau sudah ada kejadian seperti ini kemudian orang berlomba-lomba mencari kambing hitam dari tewasnya Joni Malela. Presiden sendiri juga sudah memberi santunan 10 juta rupiah, dan dengan begitu sudah selesai semua(?)
Sebenarnya saya ingin memberikan sisi lain yang bisa saya dapat dalam melihat peristiwa yang menghilangkan satu kehidupan di negara ini. Kebiasaan kecil yang kadang tidak terpikirkan seperti antre itu mungkin bisa menjadi solusi bagi kabar yang kadang dibesar-besarkan.

Senin, 13 September 2010

Bukan "Aku Raja"

Malam ini saya tertarik dengan petikan dari Kitab Arthasastra yang saya baca dalam novel “Nagabumi”nya Seno Gumira Ajidarma. Arthasastra adalah sebuah kitab India kuno yang ditulis oleh Kautilya. Isinya adalah tentang peraturan-peraturan tentang apapun. Mulai dari ekonomi, militer, hidup sehari-hari dll. Pada masa pembuatan Candi Borobudur dan sekitar itu, kitab Arthasastra dipakai sebagai norma tertulis yang dipatuhi orang-orang.

Saya tidak akan terlalu banyak membahas Arthasastra-nya, tapi saya akan berbagi kutipan yang membuat saya terkesima. Tak habis pikir bahwa norma yang bahkan ditulis pada masa yang sangat lalu masih bisa relevan dengan hidup sekarang ini. Kalau saya selalu bilang “menjadi generasi pembaharu” mungkin saya juga harus belajar meneruskan apa yang sudah tertuliskan dulu tapi belum dapat terealisasi saat ini. Ini adalah kutipan Arthasastra perihal raja.

bagi seorang raja
sumpah sucinya adalah kesediaan bekerja
pengorbanan dalam urusan pemerintahan
adalah pengorbanan sucinya
imbalan dari pengorbanannya
adalah sikap yang adil
dan upacara pendewasaan dalam pengorbanan
baginya adalah penasbihannya
kebahagiaan rakyatnya
adalah letak kebahagiaan raja
apa yang berguna bagi rakyatnya
adalah berguna bagi dirinya sendiri
apa yang berharga bagi dirinya sendiri
belum tentu bagi negara
apa yang berharga bagi rakyatnya
adalah berguna bagi dirinya
maka hendaklah raja giat memajukan kesejahteraan
akar kesejahteraan adalah bekerja
sedangkan malapetaka adalah kebalikannya

Apa yang teman-teman pikirkan sama dengan yang saya pikirkan? Mungkin iya, mungkin tidak. Tulisan ini tidak ditujukan untuk pemerintah sekarang, tapi akan jauh lebih baik untuk dimaknai oleh kaum muda ini. Menjadi lebih baik kalau memang ada orang-orang ‘atas’ yang mau sadar karena tulisan ini. Terlepas dari baik buruknya kinerja pemerintah, menurut saya akan lebih berguna jika nilai-nilai dalam kitab Arthasastra ini dipelajari dan menjadi bahan pemikiran kita. Karena akan ada saatnya di mana kita yang akan duduk di kursi pemerintahan itu.

Yah intinya adalah menjadi raja sangatlah sulit. Menjadi raja tidak hanya sekedar ‘aku raja’ tapi lebih dari itu, seharusnya lebih melihat kepada ‘mereka rakyat’. Apalagi berusaha lepas dari mencari hal berharga bagi diri sendiri. Memang dari dulu sampai sekarang, mulai dari Kautilya sampai Marx, sudah sadar bahwa uang bisa menjadi sumber masalah.

Maka akan saya tutup tulisan ini dengan pertanyaan. Apa yang dapat kita lakukan saat ini untuk esok?