Jumat, 18 Juli 2014

Menolak Lupa, Terus Bercerita


ABSTRAKSI
Jakarta Globe, 30 Juni 2009, lebih dari separuh dari sejumlah mahasiswa di Jakarta seumur hidupnya belum pernah mendengar tentang pembantaian besar-besaran di Indonesia tahun 1965-1966. Ironis sebenarnya melihat di Negara ini masih banyak gelombang penolakan terhadap paham komunisme yang dilakukan oleh anak muda. Mereka yang tidak tahu tetapi memendam benci ini merupakan para korban modern sejarah. Versi lain yang telah mulai bermunculan di masa reformasi ternyata belum terlalu menarik untuk didalami dan dipahami oleh banyak orang.
Mwathirika”, sebuah karya pentas pertunjukan oleh Papermoon Puppet Theatre merekam ingatan akan masa itu lewat sudut pandang kehidupan dua keluarga. Pentas ini menjadi cara baru dalam wacana rememorasi. Lebih ringan dan lebih dapat diterima oleh berbagai kalangan daripada buku sejarah, film dokumenter atau novel. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan rememorasi tentang peristiwa terkait tragedi 30 September 1965 dalam versi berbeda bisa dimunculkan dalam sebuah teater boneka.
Tulisan sejarah sering dibandingkan dengan karya sastra, sejarah juga dibedakan dari ingatan. Sejarah ditulis oleh sejarawan yang walaupun menggunakan data valid tetap saja ditulis oleh orang yang punya kepentingan dalam dirinya. Sejarah selalu dikaitkan dengan kepentingan politik Negara, isinya adalah ‘fakta-fakta’ yang dipilah dan dipilih untuk mengisi kepentingan kekuasaan. Semua pihak jadi korban kepentingan penguasa. Para korban pun punya ingatannya masing-masing yang berbeda dari versi sejarah yang dilegitimasi negara. Setiap orang punya fakta dan ingatannya masing-masing. Hal inilah yang harus diperjuangkan, karena untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban modern, masyarakat haruslah diajak untuk menolak lupa
Karya seni adalah cara seseorang untuk menuangkan estetika melalui sebuah objek. Papermoon Puppet Theatre menciptakan pertunjukan teater boneka berjudul “Mwathirika” sebagai sebuah karya seni. Mereka bercerita tentang korban-korban tragedi 1965 dari sudut pandang mereka sendiri. Penceritaan masa lalu dengan menggunakan media teater boneka menambah pilihan cara yang bisa digunakan dalam upaya rememorasi. Teater boneka menjadi cara yang sifatnya lebih populer di kalangan masyarakat awam dan juga lebih menghibur. Fakta-fakta dari berbagai versi ini tidak boleh dibungkam lebih lama lagi. Mereka yang sudah punya informasi harus terus bercerita dengan cara apapun untuk menghindari ketidaktahuan sejarah meluas lagi.

Kata kunci : Gerakan 30 September, korban sejarah, teater boneka, Mwathirika, Papermoon Puppet Theatre, rememorasi.



Kalau ada yang berminat membaca versi lengkapnya, langsung kontak saya ya? :D

Catatan Pengingat


Baru saja saya menyelesaikan kewajiban mengerjakan tugas akhir saya di Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Proses panjang dalam menyelesaikan tulisan ini. Sekadar ingin berbagi apa yang saya kerjakan :


CATATAN PENGINGAT

            Skripsi ini selesai dan diujikan tepat di masa panas kampanye pemilihan presiden 2014 di Indonesia. Masa kampanye pilpres paling panas yang pernah saya alami. Sebelumnya saya sudah pernah mengalami satu periode masa pilpres sebelumnya, dan menurut saya tidak sepanas tahun ini.
Ketika catatan pengingat ini ditulis ada satu isu dimunculkan sebagai sebuah kampanye hitam yang menyatakan bahwa salah satu capres adalah keturunan Partai Komunis Indonesia. Puncaknya adalah salah satu stasiun TV Swasta memberitakan bahwa Parta Demokrasi Indonesia Perjuangan mempunyai hubungan dengan Partai Komunis Indonesia, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pendukung PDI-Perjuangan.
Saya membayangkan jika saja propaganda penguasa mengenai apa yang dituduhkannya pada PKI - mulai tahun 1965 sampai dengan 30 tahun Orde Baru berdiri - tidak berhasil maka isu semacam ini tidak akan pernah muncul dalam kontestasi politik Indonesia setelahnya. Seharusnya tidak perlu ada pihak yang merasa perlu menuduh pihak lawannya sebagai PKI untuk mendapatkan simpati, pun tidak perlu ada kemarahan berlebih ketika satu pihak dituduh sebagai PKI.
Sebenarnya hal inilah yang jadi salah satu kunci dan inti dari skripsi ini. Bercerita mengenai sejarah, khususnya semua yang berkaitan dengan tragedi 1965, dari berbagai sudut pandang menjadi kebutuhan mendesak. Rekonsiliasi ingatan mengenai sejarah 1965 menjadi hal yang harus diperjuangkan dalam republik ini. Satu tujuannya, untuk mencegah kemarahan-kemarahan rakyat Indonesia terhadap hal-hal yang berbau PKI dan komunisme menjadi diminimalisasi, jika mungkin bahkan ditiadakan.
Sejarah tidak bisa lepas dari kepentingan penulisnya. Fakta bisa sangat bergantung pada dimensi ruang dan waktu masing-masing yang mengalaminya. Akibatnya, kebenaran kemudian menjadi sangat subjektif karena masing-masing orang boleh percaya pada kebenarannya masing-masing. Akan tetapi yang menjadi penting adalah penerimaan terhadap segala fakta yang ada.
Ekses propaganda Orde Baru yang masih bertahan hingga saat ini menurut saya sudah mulai harus dihilangkan sedikit demi sedikit. Bukan berarti bangsa ini diarahkan untuk melupakan masa lalu. Memaafkan adalah arah yang ingin diusahakan. Forgive but never forget.
Selama kemarahan-kemarahan yang berkaitan dengan sejarah 1965 terus muncul dan mematahkan sendi kebangsaan Indonesia, selama itu pula perjuangan saya dalam penulisan skripsi ini belum saatnya berhenti. 
Suryo Hapsoro
Gondomanan, 9 Juli 2014

Abstraksinya ada di sini : http://diefolgerung.blogspot.com/2014/07/menolak-lupa-terus-bercerita.html  
Kalau ada yang berminat membaca versi lengkapnya, langsung kontak saya ya? :D