Kamis, 29 November 2012

Dilema Nation Building


Seminggu yang lalu, selama lima hari, saya mengikuti sebuah rangkaian acara Nation Building Beswan Djarum di Semarang. Selama lima hari itu juga saya bertemu dengan lima ratusan teman dari seluruh Indonesia yang sama-sama menjadi penerima beasiswa dari Djarum Foundation. 

Ya, saya bangga berkesempatan menjadi salah satu bagian dari Beswan. Sejak dari SMA saya sering melihat iklan Beswan di televisi, dan sejak saat itu saya selalu ingin bisa bergabung. Ternyata setelah melalui beberapa tes, saya benar bisa mewujudkan lagi satu keinginan saya. Yang membuat saya lebih senang adalah paling tidak selama setahun ke depan, saya tidak (terlalu) tergantung pada curahan finansial dari Ibu dan kakak kakak saya. Sejak Bapak saya hanya bisa dirindu tanpa pernah kembali, saya selalu ingin untuk bisa belajar mandiri. Tidak tergantung.



Selama lima hari saya dan 500an teman yang lain mendapat pengalaman yang menyenangkan. Selalu bersama teman, tidur di hotel mewah, naik bus yang selalu dikawal voorijder. Pengalaman yang mungkin untuk sebagian peserta adalah yang pertama kalinya. 

Di balik kegembiraan dan euforia selama mengikuti Nation Building sebenarnya ada kegelisahan dalam pemikiran saya. Lagi-lagi saya merasa latar belakang ilmu sosiologi yang saya pelajari ini membuat saya skeptic dan cenderung sinis. Kadang saya merasa ilmu yang saya pelajari ini sangat “kiri”. Punya mimpi membantu orang-orang tertidas sekaligus orang-orang yang sewenang-wenang. Hal-hal kecil yang bisa jadi kadang mengganggu tetapi saya syukuri bisa peka terhadap hal tersebut. Untungnya adalah selalu ada tuntutan untuk selalu menjadi obyektif dalam memandang semua hal.

Akan saya bagikan kegundahan dan kegelisahan yang saya rasakan itu. Ilmu Sosiologi yang saya pelajari sangat dekat dengan ajaran Marx. Dia adalah salah satu dedengkot ilmu sosial yang sangat brilian, cenderung gila menurut saya. Dia adalah pejuang kaum proletar, pejuang bagi mereka yang tidak punya akses untuk mencapai impiannya. Dengan segala daya dan upaya dia menjelaskan sudut pandangnya tentang kebusukan system kapitalisme yang mengungkung seorang manusia dalam kerja yang merugikan diri tapi menguntungkan system. Mudahnya, dia adalah pejuang kaum buruh yang tereksploitasi.

Dalam satu kesempatan, 500 penerima Beswan Djarum ini dibawa melihat keadaan pabrik rokok milik PT. Djarum di Kota Kudus. Kami semua berkunjung ke SKT atau Sigaret Kretek Tangan. Pabrik ini berisi ribuan orang yang bekerja melinting rokok kretek yang menjadi komoditas PT. Djarum. Dimulai dari hitungan ini :
           
Ada 5000 orang pekerja dalam satu ruangan SKT setiap shift kerja yang kesemuanya adalah perempuan. Setiap pekerja dapat membuat kurang lebih 2000 batang rokok dalam satu shift yang biasanya 6 jam. Kalau asumsinya harga per batang rokok adalah Rp 800,00 maka setiap orang akan menghasilkan rokok seharga Rp 1.600.000.

Rp 1.600.000 itu dikalikan dengan jumlah pekerja di SKT, hasilnya Rp 8.000.000.000 per hari, per shift. Saya tidak tahu pasti ada berapa shift dalam sehari. Tapi anggaplah ada 2 shift saja per hari, berarti ada barang seharga Rp 16.000.000.000 Itu adalah hitungan omset kotor PT Djarum setiap HARI. Seminggu? Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun?  Banyak? Hitung sendiri.

Sedangkan pekerjanya? Kalau sehari dia bekerja satu shift, dan selama satu minggu dia bekerja 5 kali berarti barang yang dihasilkannya adalah Rp 1.600.000 dikali 5 kali kerja, Rp 8.000.000 seminggu, Rp 32.000.000 sebulan. Gaji yang didapatnya? Tidak mungkin lebih dari UMR Jakarta sebesar Rp 2.200.000. Ada selisih kurang lebih Rp 30.000.000 dari apa yang dihasilkannya dengan yang didapatkannya. Setiap bulannya, dan berkali lipat kalau dihitung per bulan dst.

Sisi baiknya, pabrik SKT di Kota Kudus itu menurutku jauh lebih manusiawi daripada pabrik-pabrik lain yang pernah saya lihat di TV atau film semacam “Ruler of The World” karya John Pilger. Pabrik PT. Djarum itu terbuka, udara dapat dengan mudah bersirkulasi, terang karena masih ada sinar matahari yang bisa masuk.

Masalahnya, memang tidak mungkin kalau pekerja mendapat upah sesuai dengan apa yang dihasilkannya. Dari mana perusahaan dapat terus eksis kalau tidak punya profit? Itulah yang membuat saya menjadi lebih gundah lagi. (Hampir) Tidak ada yang bisa dilakukan dengan system yang terjadi sampai sekarang.

Dari hitungan kasar tadi saja, bisa dibayangkan besar profit yang dihasilkan oleh PT. Djarum. Tidak heran kalau mereka menjadi salah satu perusahaan terkaya di Indonesia. Untuk apa saja profit besar tersebut? Salah satunya adalah untuk memberikan uang saku bagi para Beswan. Bisa jadi uang sebesar Rp 750.000 yang kita dapat setiap bulannya, plus bekal lain yang tidak kita dapat dalam bentuk uang besarannya lebih daripada yang didapat oleh para pekerja di pabrik SKT. Padahal siapa yang berkontribusi besar bagi perusahaan? Beswan? Jelas bukan. Kita hanya penerima, belum jadi pemberi.

Apa kita bisa membantu kehidupan para pekerja? Tidak, secara langsung. Tapi paling tidak kita bisa menghargai kerja mereka dengan menggunakan beasiswa dengan sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya seperti apa? Cuma pribadi teman-teman sendiri yang bisa menjawabnya. Dan salah satu kesempatan terbaik kita adalah dengan menyelenggarakan Community Empowerment secara maksimal. Katanya kan kita “generasi yang membanggakan bersama Beswan Djarum”. Hahaha :D


Senin, 05 November 2012

Marah

Marah adalah suatu saat di mana kamu memandang rendah orang lain dan menganggap diri bisa melakukan sesuatu dengan lebih baik. Dengan marah kamu memposisikan diri berada di atas daripada yang lain. Ketinggian hatimu yang mendominasi. Itu kenapa dalam cerita, orang rendah hati selalu digambarkan dengan orang yang tenang dan tidak mudah marah. Karena dirinya tidak mau memposisikan diri berada di atas orang lain. 

Kesalahan tidak selalu membuat seseorang dapat begitu saja direndahkan. Karena pada dasarnya setiap orang tidak bisa memandang dan dipandang rendah, sekaligus merasa tinggi daripada yang lain