Jumat, 03 Desember 2010

Tentang Cinta dan Goresan Luka

Pada tanggal 1 - 3 Desember telah terselenggara sebuah pementasan, MWATHIRIKA. Pentas yang menuai banyak pujian dan menguras banyak air mata ini menurut saya sangat inspirasional. Bangga dan gembira bisa menjadi salah satu bagian dari prosesnya. Terima kasih untuk Mbak Ria, Mas Iwan, dan Frau Aniek yang bersedia menampung saya untuk belajar.

Mengisahkan tentang kehidupan bertetangga Baba, seorang ayah bertangan satu, yang hidup dengan dua anaknya, Moyo dan Tupu. Damai melingkupi kehidupan mereka dengan tetangganya Haki dan anaknya yang harus memakai kursi roda, Lacuna.

Tapi tentram itu harus tercabut dalam hidup mereka hanya karena coretan segitiga merah oleh orang tak dikenal. Goresan pertanda si empunya rumah harus ditangkap tidak jelas alasannya apa. Satu yang jelas mengapa Baba ditangkap adalah karena ia “ditandai”. Moyo, ingin mencari keberadaan ayahnya. Ia menanyakan pada orang yang berseragam sama dengan yang menangkap ayahnya. Lagi-lagi Moyo harus ditangkap hanya karena ia punya “tanda”.

Lacuna, sebagai teman ingin menghibur tetangganya Tupu yang sekarang tinggal sendirian setelah ayah dan kakaknya hilang. Tapi Haki selalu melarang Lacuna mendekati Tupu karena takut terkena “tanda” juga.

Pada akhirnya memang semuanya merasakan kesedihan. Semua menjadi korban, sesuai dengan arti kata mwathirika yang diambil dari bahasa Swahili artinya korban dalam bahasa Indonesia.



Dua hal setidaknya yang bisa saya temukan dan sampaikan :

Pertama tentang dua keluarga yang ada anggotanya tidak lengkap fungsi tubuhnya. Baba dan Lacuna menggambarkan sosok yang merasakan suatu kehilangan. Dalam pentas yang didedikasikan untuk penderita tuna rungu pada hari Deaf International (3 Desember), seakan mengingatkan bahwa antara mereka mungkin sama-sama memiliki rasa kehilangan, tapi mereka masih punya satu hal yang sama yang tidak akan hilang dalam hidup mereka. Cinta. Kita dan mereka masih punya hak yang sama untuk mencintai dan dicintai.

Baba seorang ayah yang sangat mencintai kedua anaknya. Bahkan ketika ia ditangkap oleh dua prajurit, masih juga menyempatkan diri untuk memperbaiki kuda mainan milik anaknya Tupu. Tidak jauh berbeda dengan Moyo. Seorang kakak yang belum saatnya harus bertanggung jawab penuh atas adik kecilnya yang sangat dicintainya.

Haki juga merepresentasikan sosok ayah yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Memiliki seorang anak yang lumpuh, dengan segala ketahuan dan ketidaktahuan, ketakutan dan keberanian, berusaha menjaga anak tercintanya supaya tidak sampai terjadi kesalahpahaman. Walaupun memang akhirnya tidak berhasil mencapai keinginannya menjaga, Lacuna, anaknya tersebut.

Saya berusaha melihat secara lebih mendalam. Bukan tidak mungkin kalau apa yang terjadi dengan anaknya itu adalah karena ketakutan Haki mengungkapkan fakta. Sekadar melarang tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sekadar menimbulkan ketakutan yang dipaksakan tanpa kognisi yang memadai.

Mirip dengan apa yang terjadi pada periode paska Gestapu, periode yang menjadi inspirasi pentas MWATHIRIKA ini. Dalam ceritanya hanya dikatakan bahwa si “segitiga” itu salah. Mereka harus dibasmi. Mereka tidak boleh didekati, dan mereka itu berbahaya. Padahal apa yang terjadi ketika memaksakan perlakuan dengan berbekal hanya sedikit tahu, sangat mungkin mengakibatkan bahaya yang lebih besar tanpa disadari sebelumnya.

Kedua tentang gores luka yang diingatkan. Dengan misi mengajak melakukan rememorasi, MWATHIRIKA berhasil merealisasikan suatu usaha yang kadang tidak terpikir oleh kita semua. Mengisahkan kembali tentang sejarah. Sejarah tentang ingatan masa lalu yang memang tidak selalu indah.

“ingatan tidak hanya sekadar luka goresan tapi mengenali luka bekas goresan tersebut”. Artinya sejarah bukan hanya sebatas diingat, tapi juga diperlukan pemaknaan atas suatu kejadian di masa lampau untuk lebih dapat dikatakan berhasil “mengingat”.

Banyak hal yang baru saya tahu ketika melihat simbol-simbol yang tervisualkan dalam pentas teater boneka ini. Sebelumnya jarang pernah saya mendengar cerita tentang Gestapu dan kejadian setelahnya. Pengetahuan saya hanya sebatas penculikan tujuh pahlawan revolusi, Tritura, dan tanda ET (Eks Tapol) pada KTP.

Cerita tentang pesta ulang tahun partai itu, lambang segitiga merah, cara pemusnahan dengan dilempar ke jurang dan yang lainnya baru saya temukan dari menonton pertunjukkan MWATHIRIKA ini.

Mengutip kata-kata dari Paul Ricoeur, “and the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened.. by remembering and telling, we’re not only prevent forgetfulness from killing the victims twice, we also prevent their life stories from becoming banal., and the events from appearing as necessary” .

MWATHIRIKA berhasil membantu saya mengenali goresan luka itu dan menghidupkan kembali jejak tentang masa kelabu 45 tahun yang lalu.

Gondomanan, 4 Desember 2010

Sabtu, 30 Oktober 2010

Dua Sisi Koin Mbah Marijan

Kyai Sapu Jagad, Patih yang menunggu Merapi menunjukkan kekuatannya sekarang. Erupsi gunung teraktif di dunia ini seakan ingin mengatakan pada dunia bahwa alam tidak dapat dilawan.

Seorang tokoh yang pastinya tidak lepas dari perbincangan tentang Merapi adalah Mbah Maridjan. Abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dianggap membuat banyak nyawa melayang dalam bencana ini. Pro kontra tercipta dari wacana tentang Mbah Maridjan. Mulai dari yang memuji kesetiaannya sampai menyalahkan keputusannya untuk tetap tinggal di kediamannya.

Saya tergelitik dengan wacana ini dan sekadar ingin berbagi pemikiran. Mbah Marijan memang bisa disalahkan karena ia membuat semakin banyak korban tewas akibat wedhus gembel. Tapi yang saya tidak habis pikir adalah tidak sedikit orang yang mencerca bahkan menghina kuncen Merapi tersebut.

Menurut saya, Mbah Marijan adalah orang yang perlu dicontoh sikapnya. Kesetiaan terhadap kepercayaan orang lain. Ada suatu hal yang kurang dilihat oleh orang-orang yang menghina Mbah Marijan. Konteks Kultur kehidupan Mbah Marijan. Mbah Marijan adalah seorang abdi dalem, seorang pelayan yang diberi imbalan ‘hanya’ mendapat imbalan kebanggaan di dalam diri pribadinya. Gaji dalam nominal puluh ribuan dalam sebulan, diusahakan dengan kesetiaan yang luar biasa.

Saya yakin seluruh abdi dalem Keraton juga punya pemikiran sama tentang pengabdian. Apa lagi Mbah Marijan yang mendapat titah langsung dari Raja. Pasti bukan materi yang menjadi alasannya melakukan pengabdian itu. Coba saja para pemegang kursi pemerintahan juga seperti Mbah Marijan. Mengabdi untuk negara, tidak mementingkan materi, mungkin akan lebih baik negeri ini.

Mbah Marijan sempat dicerca karena tidak mau turun dari Desa Kinahrejo dan menggandeng puluhan orang menghadapi awan panas. Memang ketidakinginan Mbah Marijan turun membuat beberapa orang percaya bahwa Merapi tidak akan semurka itu. Bisa disalahkan, tapi sejauh yang saya tahu Mbah Marijan sudah menyuruh orang-orang untuk turun dan meninggalkan dia. Keluarga Mbah Marijan saja sudah semua turun mengungsi, artinya Mbah Marijan bukannya tidak memberi peringatan kepada orang lain.

Yah, saya hanya ingin berbagi pemikiran. Sosok Mbah Marijan akan selalu terkenang sebagai kucen Merapi. Keputusannya untuk tetap tinggal memang bisa diterima sebagai kesalahan, tapi yang harus diingat adalah value yang diajarkannya tentang kesetiaan, kepercayaan. Menganggapnya salah boleh saja, tapi tidak perlu sampai memakinya. Seperti koin yang selalu punya dua sisi, setiap orang bebas melihat sisi koin yang mana. Tidak perlu menyerang yang memilih berbeda. Karena mencari orang setia pada tugas di masa ini sudah sulit. Mbah Marijan sudah mengajarkan banyak hal bagi kita.

Selasa, 12 Oktober 2010

Rumah

Keluarga itu ibarat rumah
berlantai kasih sayang
bertiang komunikasi
berpintu kebebasan
berjendela kepercayaan
beratap perlindungan

Jumat, 08 Oktober 2010

Pemaknaan

Tak ada makna tanpa pemaknaan
Manusia butuh dimanusiakan
Tuhan kurang di-Tuhan-kan
Alam sedang butuh penghargaan

Kamis, 07 Oktober 2010

Istimewa

Hari ini 7 Oktober 2010. Provinsi ini, Daerah Istimewa Yogyakarta, merayakan hari jadinya yang ke 254 . Batik, Surjan, andhong, Gudheg ikut menyemarakkan hari istimewa untuk kota istimewa ini. Status Facebook, Twitter, dan situs jejaring yang lain juga tidak sedikit yang menyuarakan kegembiraan atas ulang tahun Jogja.

Berbicara tentang istimewa, saya ingin mengajak teman-teman untuk kembali melihat ke beberapa puluh tahun yang lalu. Waktu ketika Yogyakarta dinyatakan sebagai daerah istimewa. Gelar istimewa ini diberikan oleh Ir. Soekarno kepada Yogyakarta, karena Sri Sultan HB IX menyatakan diri bersedia bergabung bersama NKRI. Padahal waktu itu Jogja sudah cukup kuat kalau ingin menjadi suatu negara yang berdiri sendiri.

Menjadi pemikiran saya pagi ini. Mengapa sesuatu itu bisa dikatakan istimewa? Mengapa seseorang ada yang disebut istimewa? Menurut saya jawabannya adalah karena ada yang kurang istimewa. Apapun itu siapapun itu.

Banyak orang yang sering mengatakan “kenapa aku ga sehebat dia?” “kenapa dia itu istimewa dan aku tidak?” pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang butuh tindak lanjut. Ketika hanya menjadi sebuah pertanyaan hanya akan menjadi suatu beban dalam diri sendiri. Tapi ketika pertanyaan itu ditindaklanjuti dengan pernyataan “kalau dia bisa kenapa aku tidak?” bisa membuat kemajuan.

Menurutku setiap orang pasti bisa menjadi istimewa dengan caranya sendiri. Yang jelas tidak akan pernah sama dengan keistimewaan orang lain. Karena kalau sama, sudah tidak lagi jadi istimewa. Kalau sekarang kamu menjadi si orang kurang istimewa jangan pernah minder. Malah semangati dirimu dan katakan pada si istimewa “orang bisa bilang kamu istimewa karena aku kurang istimewa”.

Dengan begitu setiap orang akan merasa tidak terlalu jatuh dan tidak terlalu terbang. Dalam sebuah pertandingan, yang paling berjasa pada si juara adalah lawannya. Jadi percayalah bahwa kamu akan bisa jadi dewasa dengan caramu sendiri.

Temukan keistimewaanmu kelak kau akan temukan dirimu yang sesungguhnya dan kamu tidak perlu lagi merasa malu dengan kekurangistimewaanmu.

*Ini hanyalah persembahan kecil untuk ulang tahun kotaku hari ini.

7 Oktober 2010

HUT DIY 254

Selasa, 14 September 2010

Hal Kecil yang Mungkin Jadi Solusi

Masih lekat dalam ingatan kita peristiwa Joni Malela. Seorang tuna netra yang harus menemui akhir hidupnya saat berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia.
Kuatnya keinginan orang-orang itu untuk sekadar bertemu SBY atau sebenarnya sepiring makanan lah yang mendorong mereka untuk datang ke sana, membuat mereka rela berdesakan seperti itu. Kalau memang iya karena masalah perut, sebegitu miskinnya ya Indonesia sampai makanan gratis di hari raya pun harus berebutan seperti itu?
Tetapi bukan masalah makan yang ada di benak saya. Pertanyaanku apakah pengatur acara di Istana Presiden tidak mengerti yang namanya system antre ya? Seburuk itukah pendidikan di Indonesia sampai mereka tidak tahu, tidak bisa, atau tidak mau antre? Saya membayangkan kalau kejadian kemarin itu petugas sudah menyiapkan pembatas atrean. Karena kalau memang masyarakat belum sadar untuk antre, setidaknya mereka bisa kan diperintah untuk antre. Jalur antrean itu mungkin bisa mengurangi orang-orang itu berdesakan.
Seperti ketika seseorang yang ingin menabungkan hasil dari pendapatan minus konsumsi di bank. Ada pembatas untuk mengatur jalur antrean nasabah, sehingga jelas mana yang lebih dulu bisa dilayani. Atau memang berdesakan itu yang diharapkan oleh presiden dengan membuat open house di kediamannya? Semacam politik citra, ketika sangat banyak yang datang ke open house itu semakin menunjukkan pula bahwa presiden kita itu benar-benar masih dicintai oleh rakyatnya. Kalau memang benar seperti itu,sepertinya sudah tidak relevan lagi dijalankan oleh Pak Presiden. Orang Indonesia tahu kalau ia didukung oleh 62 % rakyat Indonesia, apa gunanya lagi politik citra seperti itu?
Parahnya, jangankan orang-orang yang datang ke rumah SBY kemarin itu yang notebene adalah orang-orang dengan pendidikan tidak tinggi, bahkan orang-orang kaya yang punya uang lebih untuk pergi ke luar negeri itu pun banyak yang tidak tahu caranya antre.
Ini pengalaman saya sendiri, merasakan perbedaan yang sangat njegleg ketika sempat menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, Changi, dan Frankfurt. Di ketiga bandara internasional di tiga negara yang berbeda ini juga punya perbedaan yang sangat terasa. Mulai di Bandara Soekarno-Hatta, orang-orang Indonesia dengan mudahnya menerobos antrean. Sepertinya hanya mereka sendiri yang terburu-buru di sana. Sampai di Changi, mulai berubah keadaannya sedikit lebih tertib, walaupun masih ada yang serobot sana serobot sini (ga heran, sebagian besar masih orang Indonesia juga). Lebih-lebih ketika sudah masuk Bandara Internasional di Frankfurt, ketertibannya sangat terlihat. Bandara di mana orang-orang di negara itu memang sudah terkenal dengan ketertibannya.
Bukan mau membanding-bandingkan dengan negara lain, tapi belajar dari orang lain untuk menjadi lebih baik kan juga tidak pernah salah. Kembali ke masalah Joni Malela tadi. Kalau sudah ada kejadian seperti ini kemudian orang berlomba-lomba mencari kambing hitam dari tewasnya Joni Malela. Presiden sendiri juga sudah memberi santunan 10 juta rupiah, dan dengan begitu sudah selesai semua(?)
Sebenarnya saya ingin memberikan sisi lain yang bisa saya dapat dalam melihat peristiwa yang menghilangkan satu kehidupan di negara ini. Kebiasaan kecil yang kadang tidak terpikirkan seperti antre itu mungkin bisa menjadi solusi bagi kabar yang kadang dibesar-besarkan.

Senin, 13 September 2010

Bukan "Aku Raja"

Malam ini saya tertarik dengan petikan dari Kitab Arthasastra yang saya baca dalam novel “Nagabumi”nya Seno Gumira Ajidarma. Arthasastra adalah sebuah kitab India kuno yang ditulis oleh Kautilya. Isinya adalah tentang peraturan-peraturan tentang apapun. Mulai dari ekonomi, militer, hidup sehari-hari dll. Pada masa pembuatan Candi Borobudur dan sekitar itu, kitab Arthasastra dipakai sebagai norma tertulis yang dipatuhi orang-orang.

Saya tidak akan terlalu banyak membahas Arthasastra-nya, tapi saya akan berbagi kutipan yang membuat saya terkesima. Tak habis pikir bahwa norma yang bahkan ditulis pada masa yang sangat lalu masih bisa relevan dengan hidup sekarang ini. Kalau saya selalu bilang “menjadi generasi pembaharu” mungkin saya juga harus belajar meneruskan apa yang sudah tertuliskan dulu tapi belum dapat terealisasi saat ini. Ini adalah kutipan Arthasastra perihal raja.

bagi seorang raja
sumpah sucinya adalah kesediaan bekerja
pengorbanan dalam urusan pemerintahan
adalah pengorbanan sucinya
imbalan dari pengorbanannya
adalah sikap yang adil
dan upacara pendewasaan dalam pengorbanan
baginya adalah penasbihannya
kebahagiaan rakyatnya
adalah letak kebahagiaan raja
apa yang berguna bagi rakyatnya
adalah berguna bagi dirinya sendiri
apa yang berharga bagi dirinya sendiri
belum tentu bagi negara
apa yang berharga bagi rakyatnya
adalah berguna bagi dirinya
maka hendaklah raja giat memajukan kesejahteraan
akar kesejahteraan adalah bekerja
sedangkan malapetaka adalah kebalikannya

Apa yang teman-teman pikirkan sama dengan yang saya pikirkan? Mungkin iya, mungkin tidak. Tulisan ini tidak ditujukan untuk pemerintah sekarang, tapi akan jauh lebih baik untuk dimaknai oleh kaum muda ini. Menjadi lebih baik kalau memang ada orang-orang ‘atas’ yang mau sadar karena tulisan ini. Terlepas dari baik buruknya kinerja pemerintah, menurut saya akan lebih berguna jika nilai-nilai dalam kitab Arthasastra ini dipelajari dan menjadi bahan pemikiran kita. Karena akan ada saatnya di mana kita yang akan duduk di kursi pemerintahan itu.

Yah intinya adalah menjadi raja sangatlah sulit. Menjadi raja tidak hanya sekedar ‘aku raja’ tapi lebih dari itu, seharusnya lebih melihat kepada ‘mereka rakyat’. Apalagi berusaha lepas dari mencari hal berharga bagi diri sendiri. Memang dari dulu sampai sekarang, mulai dari Kautilya sampai Marx, sudah sadar bahwa uang bisa menjadi sumber masalah.

Maka akan saya tutup tulisan ini dengan pertanyaan. Apa yang dapat kita lakukan saat ini untuk esok?

Rabu, 11 Agustus 2010

Apakah Pantas?

Museum peninggalan sejarah tertua di Jogja, Museum Sonobudoyo kecurian. Hey, apa yang ada di pikiran si pencuri itu? Meniru film-film tentang pecurian seperti Ocean Eleven? Italian Job? Atau Bank Job mungkin?

Memang tidak pasti, tapi kemungkinan besar si pencuri melakukan hal brilian tapi idiot ini adalah uang. Ya, sekarang ini dengan uang nyaris segalanya bisa dilakukan, nyaris segalanya dapat diperoleh. Peninggalan sejarah yang diambil adalah peninggalan jenis perhiasan, emas, bahkan arca. Bernilai berapa jika benar berhasil terjual? Aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan si pencuri itu. Seperti bajak laut yang menemukan harta karunnya, atau seperti Nicholas Cage yang berhasil mendapatkan “National Treasure”. Berlebihan mungkin, tapi kekayaan jelas di depan mata.

Hal yang membuatku lebih bingung lagi adalah perkiraan bahwa yang melakukan tindak pencurian ini merupakan orang dalam. Orang yang mengetahui seluk beluk museum dan tahu persis nilai barang curiannya.

Bukankah sebagai seorang yang bekerja di museum ia mendapat kepercayaan besar untuk menjaga barang-barang peninggalan tersebut. Tapi kepercayaan itu ternyata dikhianati. Tapi pengkhianatan atas kepercayaan seperti ini seperti sudah menjadi hal yang lumrah. Mulai dari lingkup terkecil dalam masyarakat, keluarga, sampai tingkat pemerintahan.

Aku meminjam kata-kata dari Raphael Wregas “ternyata ya memang kebanggan terhadap budaya dikalahkan oleh keserakahan uang.” Penghargaan orang-orang terhadap budaya dan peninggalan sejarah di Indonesia masih lemah. Lalu apa gunanya kita orang Indonesia selalu membanggakan bahwa tanah air kita ini adalah negri yang kaya akan budaya? Apakah pantas jika kebanggan itu hanya di mulut saja? Tidak pernah bosan saya mengatakan kepada pemuda dan pemudi bahwa kita adalah generasi pembaharu, bukan generasi penerus. Jadikan kebanggaan terhadap negri ini tidak lagi semu.
12 Agustus 2010

Selasa, 06 Juli 2010

Porno Vs Moral

“Video seks itu telah merusak tata moral bangsa, dan pelaku harus mendapat hukuman”.

“Penyebar Video Porno Ariel = Teroris Moral”.

”Video Porno Pesohor Rusak Mental dan Moral Pemuda

Lama-lama saya bosan dan sedikit jengkel dengan orang-orang yang berpikir seperti itu. Video adegan seksual yang dilakukan oleh Ariel dan beberapa wanita itu memang sangat menggemparkan. Bukan hanya karena dilakukan oleh orang yang sedang dalam masa kejayaan, tapi juga bahwa masalah seksual akan selalu menarik untuk diperbincangkan. Memang masalah pornografi bisa dibilang sangat meresahkan. Tidak perlu lagi dipungkiri banyak orang tua yang ketakutan anaknya akan meniru perbuatan dari idolanya.

Saya punya pertanyaan untuk orang-orang yang mengatakan pornografi itu merusak moral anak bangsa : Mengapa tidak berusaha mengajarkan anak bagaimana cara menanggapi pornografi? Mengetahui tentang pornografi itu penting. Hanya saja cara menanggapinya yang belum terkondisikan dengan baik.

Coba imajinasikan perumpamaan saya ini: ada sebuah taman bunga yang sangat indah. Tapi taman bunga yang indah itu juga dipenuhi oleh binatang buas. Ada seorang anak di taman bunga itu, dan Anda ditugaskan untuk memberi pelajaran pada anak itu cara untuk bertahan hidup di taman bunga itu. Anda diperbolehkan untuk membuat sekat di tengah taman bunga itu sebagai perlindungan. Sekat itu hanya terbuat dari dua pilihan. Kaca anti pecah atau tembok bata yang kuat. Sekat apa yang akan Anda pilih untuk melindungi Anda dan anak kecil itu?

Kalau saya akan memilih kaca anti pecah sebagai perlindungan. Kaca anti pecah akan membantu saya mengajarkan pada anak kecil itu. Memberikan gambaran secara real tentang dunia luar yang harus dia hadapi. Keindahan yang mungkin akan berisi bahaya jika tidak tanggap.

Begitu juga dengan pornografi. Menurut saya akan lebih baik jika anak mengetahui apa itu pornografi. Karena di zaman modern ini, sangatlah mudah mencari dan mendapat informasi. Sengaja atau tidak sengaja pornografi dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja.

Daripada mencari cara untuk menghapus, meniadakan, memusnahkan pornografi kan lebih baik kalau pornografi itu diterima sebagai suatu fenomena. Tapi juga harus diketahui bahwa porno tidak boleh sembarangan dilakukan.

Karena yang namanya pornografi itu sudah eksis cukup lama. Mulai dari beberapa tahun yang lalu orang-orang sudah berkoar-koar bahwa pornografi itu harus diberantas. Pornografi tidak boleh lagi ada karena merusak moral bangsa. Tapi nyatanya? Sampai sekarang hal yang mau dihapuskan itu tetap ada. Tetap eksis dan bahkan dikemas dalam bentuk yang semakin baik.

Sekarang ini dengan kami, kaum remaja, memang harus terbuka. Rasa ingin tahu kami yang sangat tinggi yang membuat kami akan berontak kalau kami terus-terusan hanya dilarang dan hanya diberi tahu bahwa pornografi itu jelek, pornografi itu buruk,pornografi itu merusak moral bangsa.

Ada peribahasa yang dari tingkat Sekolah Dasar pun sudah saya pelajari : bagai kuda lepas dari pingitan. Harusnya dari peribahasa itu dapat ditarik pelajaran. Bahkan hewan pun kalau terus dikekang, ketika melihat sedikit celah untuk lari akan dengan liar berusaha kabur.

Karena kalau orang biasa diberi kebebasan, dia akan tahu di mana batas-batasnya. Setidaknya itu yang diajarkan di sekolah saya.

6 Juli 2010

If The Truth

Banyak orang mengatakan bahwa generasi muda adalah generasi penerus. Tapi saya tidak ingin disebut seperti itu. Saya lebih bangga menyebut diri saya generasi pembaharu. Generasi yang akan membawa Indonesia dan dunia menjadi lebih baik. Teringat dengan lirik sebuah lagu beraliran hiphop yang menjadi favorit saya saat SMP. Dinyanyikan oleh seorang rapper kulit hitam bernama Nasir bin Olu Dara Jones, yang punya nama panggung Nas. Dalam lagunya yang berjudul “I Can” banyak berisi nasihat untuk kaum muda. Tidak seperti kebanyakan lagu ber-genre hiphop, lagu ini tidak memuat cacian dan makian. Sebuah kutipan dari lagu “I Can” pada bait ketiga menguatkan pemikiran saya ini.

If the truth is told, the youth can grow
Then learn to survive until they gain control
Nobody says you have to be gangstas, hoes
Read more learn more, change the globe

Hey, memang benar seperti itu saat ini. Kalau saja kebenaran disuarakan, kami kaum muda dapat belajar untuk menjadi benar. Tapi nyatanya kami harus belajar untuk bertahan, bertahan dalam keadaan yang penuh dengan kemunafikan hingga pada akhirnya kami yang punya peran di dunia. Tidak ada yang mengatakan kami harus menjadi mafia, tapi kebiasaan yang menuntun kami menjadi jahat. Tapi sekarang kami sadar untuk terus belajar, belajar terus untuk mengubah dunia. Ya kami tahu kami bisa.

28 Mei 2010

Usaha Tak Pernah Sia-Sia

Pagi ini 17 April 2010, pukul 9.10 WIB. Valentin Arsono Meyer yang biasanya belum bangun dari tidur itu membuka perbincangan di Yahoo Messenger.

VALLAV : orang orang bilang kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Tapi saya memandangnya terbalik.

Pemikiran yang cukup membuat kami berdiskusi tentang itu. Membuka perbincangan yang hangat di saat banyak orang sedang larut dalam gagal atau suksenya. Menurut Valen, kesuksesan adalah kegagalan yang tertunda, dengan begitu orang orang tidak akan menjadi sombong dan merasa sudah TER dan PALING segalanya. Aku tidak langsung setuju dengan pemikiran itu. Kami berdiskusi lewat YM dan akhirnya ada satu titik temu dari perbincangan sekunder langsung ini. Bahwa semua orang tidak pernah tahu masa depannya. Bisa saja semua orang bilang sukses adalah gagal yang tertunda atau sebaliknya. Analoginya adalah semua orang bisa saja bilang lapar itu makan yang tertunda atau makan itu lapar yang tertunda. Sama saja kan akhirnya?

Semua tergantung pada orang yang sedang mengalaminya. Orang yang sedang “jatuh” akan menyemangati diri sendiri dengan gagal adalah sukses yang tertunda. Orang yang sedang “terbang” bisa juga akan berpikir bahwa sukses itu gagal yang tertunda agar mereka tidak sombong.
Tapi kemudian kalau segala sesuatu hanya dilihat dari gagal atau sukses, orang cuma akan stuck di situasi gagal atau berhasil. Padahal hidup tidak hanya sampai pada “aku gagal” atau “aku sukses”. Masih ada banyak destinasi selain sukses. Yang penting adalah siap menang,siap kalah, satu yang pasti usaha ga pernah ada yang sia-sia.

Setiap orang yang merasa gagal pasti akan merasa sedih, kecewa. Itu hal yang tidak mungkin dihindari. Sama halnya dengan orang yang berhasil akan merasa gembira. Tapi jangan sampai larut dalam perasaan itu. Boleh jatuh tapi harus secepatnya bisa bangun lagi. Jangan pasrah pada takdir, karena takdir itu kita sendiri yang menentukan. Pasrah adalah ungkapan syukur pada Tuhan setelah berusaha dengan sepenuh hati.

Semoga tulisan ini bisa jadi peredam euforia bagi yang berhasil dan jadi tiang bagi yang harus bangun lagi dari jatuhnya.

Ad Maiorem Dei Gloriam

17 April 2010

Bagi Tuhan dan Bangsaku






Sering kita menyanyikan Mars De Britto. Lagu yang bisa kita nyanyikan dengan lantang dan dengan perasaan bangga juga semangat yang menggebu. Mungkin malah hanya ini lagu yang bisa kita nyanyikan dengan semangat seperti itu, bahkan Indonesia Raya pun tidak bisa mengalahkan kebanggan kita terhadap Mars De Britto. Setiap selesai upacara 17an, setelah misa ulang tahun maupun pesta nama sekolah, dan yang paling menyenangkan adalah ketika kita menyanyikan Mars De Britto di stadion basket sebagai JB Mania.

Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah : apakah kita menyanyi keras Karena hafal lagunya? Apakah hanya karena ingin eksis dengan menyanyikan Mars De Britto di depan umum lalu dengan bangga berkata, “Aku cah JB”? Apakah hanya karena berdasarkan kebanggaan semu atas nama besar yang sudah dimiliki oleh sekolah ini?

Harusnya tidak. Karena apa gunanya kalau hanya menyanyi dengan keras tanpa tahu isinya? Ada yang pernah mencoba menghayati tiap bait, tiap baris dari Mars De Britto? Mungkin jawabannya tidak.

Sekarang aku ingin mengajak teman-teman untuk melihat bait pertama Mars De Britto. Ini adalah hasil refleksiku, tidak secara rinci, tapi pada bagian yang menurutku sangat cocok bagi kita di saat-saat seperti ini.

Akulah Putra SMA De Britto, gagahlah cita-citaku
Sebagai putra-putra De Britto, kita harus berani memiliki cita-cita. Cita-cita yang akan jadi tujuan hidup kita di dunia ini. Cita-cita tinggi yang harus mulai kita usahakan mulai dari sekarang. Untuk menggapai cita-cita itu kita harus siap menghadapi segala rintangan yang ada di hadapan kita dengan gagah.

Harus disadari dan diakui bahwa masa depan terdekat yang harus kita hadapi saat ini adalah Ujian Nasional. Suka atau tidak ini adalah ujian yang wajib kita jalankan kalau kita berkeinginan melanjutkan studi kita di Indonesia kecuali jika akan melanjutkan kuliah di luar negri karena ada perguruan tinggi di luar Indonesia yang tidak mensyaratkan kelulusan SMA atau setingkatnya. Tapi kita ada di sini saat ini, berarti kita harus siap menjalani Ujian Nasional. Suka atau tidak ini adalah suatu kebijakan dari system Negara yang harus kita patuhi dan hormati keberadaannya. Bukan kapasitas kita untuk menuntut penghapusan UN, belum saatnya. Memikirkan dan mengharap penghapusan UN hanya akan membuat kita semakin takut dan tidak siap menghadapi UN.

Untuk itulah sekarang kita harus berusaha dengan segenap hati dan semangat kita untuk menjalankan UN. Masih banyak dari antara kita yang masih berpikir, “masih ada waktu, masih ada kesempatan untuk belajar”. Tapi kalau kesempatan itu tidak dimanfaatkan sebaik mungkin, lama kelamaan kesempatan itu akan hilang. Waktu kadang tidak bersahabat dengan keinginan kita, tapi kita tidak mungkin memerintahkan waktu untuk berjalan lebih lambat hanya agar kita bisa sedikit lebih santai.

Kesiapan setiap orang terhadap UN berbeda, maka persiapan yang dilakukan pun tidak sama. Harus mulai diakui bahwa kemampuanku berbeda dengan kemampuannya. Bahwa aku harus lebih banyak belajar dari pada dia. Bahwa memang aku kurang pandai dari pada kamu. Butuh kerendahan hati dan kesadaran tinggi untuk itu. Tapi sekali lagi memang itu yang harus kita lakukan sekarang. Kalau UN saja tidak bisa melewati, kita tidak akan bisa melangkah ke depan, ke universitas tujuan kita, untuk lebih mendekati lagi dengan masa depan. Aku pribadi yakin bahwa UN hanya seperti sebuah kerikil kecil di jalan yang akan kita lalui. Aku tidak yakin, bahwa siswa SMA Kolese De Britto tidak bisa melewati kerikil seperti itu. Tapi kita tidak boleh meremehkan kerikil kecil di jalan itu. Karena bahkan kerikil kecil itu bisa membuat kita jatuh Karen terpeleset kalau kita tidak hati-hati dan tidak siap melangkahi kerikil itu. Maksudnya UN bukan hal yang menakutkan seharusnya bagi “cah JB”, tapi kalau kita hanya terus menunda dan kalah oleh waktu yang terus berjalan, maka UN akan menghadang jalan kita. Cita-cita egois yang aku, Valen, Gembel, Ambon Riko, Ambon eek, girgir, dan Ragil adalah seluruh siswa JB angkatan 2010 yang ikut UN lulus 100%

Murni sejati jiwaku, jujur semangat hatiku
Biar saja banyak orang yang mengatakan bahwa sekolah ini kalah karena ada sekolah lain yang tidak jujur dalam UN. Harusnya kita bangga dengan itu. Aku harap kejujuran ini tetap ada dalam setiap pribadi kita. Bukan nilai yang jadi tujuan utama kita, tapi bukan berarti nilai juga tidak penting.

Tapi apakah kita mau dikalahkan dengan sebuah ketidakjujuran? Aku pribadi tidak mau. Kita pasti akan lebih bangga, jauh lebih bangga kalau kita bisa berhasil menghadapi UN dengan hasil yang lebih baik daripada sekolah lain dengan jujur. Karena alasan itulah kita ada di sini, ada di sekolah ini untuk menjadi seseorang yang jujur dan berkompetensi juga memiliki jiwa yang murni.

Itulah rencana hidupku, itulah tujuan niatku
Bagian ini mengatakan bahwa kita semua punya masa depan. Dan di masa depan itu kita punya tujuan dan cita-cita yang harus kita perjuangkan. “Satu awal, satu tujuan”, frasa yang menjadi slogan kelas XI IPS 3 tahun ajaran 2008-2009 punya arti yang dalam. Maksudnya adalah kita semua seperti bayi yang dikandung dalam rahim dan akhirnya akan dilahirkan. Kita bersekolah di JB seperti dalam sebuah rahim ibu yang hangat. Kita dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang lebih keras. Ketika lulus kita akan berhadapan pada dunia yang sebenarnya. Dunia yang penuh persaingan.

Kalau kita tidak siap menghadapinya dan tidak menggunakan kesempatan di sekolah ini dengan baik, maka kita bisa-bisa dipermainkan oleh kehidupan. Jangan sampai kita kecewa hanya karena tidak bisa melewati UN ini. Kesalahan kecil di masa seperti ini bisa membawa dampak yang fatal bagi rencana hidup dan tujuan niat kita.


Bagi Tuhan dan Bangsaku
Baris ini adalah bagian yang paling dalam sebenarnya menurutku. Bagian akhir dari bait pertama yang menjadi awal kita semua menyanyikan Mars De Britto. Bagian yang terpenting karena sangat dalam artinya. Sudah saya jelaskan bahwa ketika kita keluar dari JB, artinya kita baru akan memulai hidup yang sesungguhnya. Kita sedang berada di sebuah akhir menuju awal baru. Menurut saya pribadi, kita sekolah selama ini memang untuk Tuhan dan juga bangsa. Tidak akan terlalu berarti jika hidup kita ini hanya untuk kesenangan pribadi kita sendiri. Kita hidup di negara yang masih terus berusaha untuk berdiri tegak. Kemampuan yang kita punya akan lebih bermakna jika diaplikasikan untuk negara ini. Saya ingin mengutip apa yang disampaikan kakak saya dalam diskusi di dunia maya beberapa waktu yang lalu

“mas-mas...masalah iki jane wis jelas banget mbok nyanyekke... BAGI TUHAN DAN BANGSAKU...wis titik...rasah mikir sing liya2...pokoke kowe ki do sinau o sing bener...nek pancen sistem pendidikane ki menggunakan UAN sebagai salah satu parameter kalian dianggap "sudah berhasil lolos lubang jarum" ya sudah jalani saja...anggap itu sebagai salah satu JALAN untuk bisa berkarya bagi Tuhan dan Bangsamu...nek nggo lolos dari salah satu lubang jarum terdekat dengan masa depanmu we ora iso, piye do le arep berkarya bagi Tuhan dan Bangsamu? piye le do arep meloloskan diri dari lubang jarum-lubang jarum yang lebih berat lagi di depannya...UAN itu nggak cuma ujian untuk meluluskanmu dari masa pendidikan dasar, tapi juga ujian mengalahkan diri sendiri...sekian terima kasih”

Yang jelas, intinya saat ini saya ingin mengajak teman-teman semua untuk bersemangat menyambut masa depan terdekat kita ini. UN bukan hanya sekedar untuk kelulusan saja. Bukan hanya untuk sekedar peringkat nasional sekolah ini. Tapi lebih untuk membuktikan bahwa kita tidak hanya “sekedar” menyanyikan Mars De Britto. Buat diri kita sendiri lebih bangga menyanyikan lagu itu di hari kelulusan nanti.

3 Februari 2010

Die Folgerung


Ada 3 hal yang dari banyak hal yang paling tertanam di dalam diriku selama di Jerman dan setelah pulang ke Indonesia. Banyak kenangan yang ga akan mungkin bisa hilang dan diulang dan dibeli dan diganti dan lain lain. Hal yang paling berkesan ini aku tulis urut dari
yang paling luar sampai ke yang paling dalam.
Yang pertama dan yang pasti adalah kemampuan berbahasa Jerman. Walaupun belum bisa secara aktif, tapi setidaknya aku sekarang lebih bisa mengerti dan berkomunikasi dengan bahasa yang baru ini, setelah Bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris. Banyak kosa kata baru yang pasti aku dapat di sana. Pengalaman gratis yang tidak semua orang bisa mengalaminya.

Kedua. Adalah teman. Amigo del alma. 3 minggu hidup bersama bukan waktu yang singkat untuk bisa saling dekat. Bahkan dengan komunikasi seadanya, karena memang bahasa yang berbeda, tidak menghalangi kami untuk saling rindu dan perhatian. Hal yang semakin menguatkan pendapatku bahwa perbedaan itu menyatukan. Tidak ada yang bisa disatukan kalau semua sudah seragam. Sedih karena mungkin kami hanya akan berteman selama 3 minggu itu. Tapi semuanya mungkin terjadi. Semoga saja bisa bertemu secara langsung lagi. Bukan hanya jadi teman nyata yang jadi maya.

Dan yang terakhir adalah rasa Nasionalisme-ku bertambah. Walaupun banyak bobroknya, mulai dari budaya antre, sampai keteraturan di tempat umum, tapi setelah pulang dari Jerman aku jadi lebih cinta Indonesia. Berawal ketika penerbangan Changi – Soekarno Hatta, aku bisa lihat ada sawah. Spontan pikiran yang muncul adalah “woow, Indonesia ki apik tenan yo?”

Bukan hanya karena alamnya yang bagus. Tapi juga karena orang Indonesia adalah orang yang ramah. Sangat ramah malahan. Banyak orang yang mau meluangkan waktu untuk membantu orang lain. Waktu di Jerman, aku pernah sekali dapat tugas keluar kelas untuk cari orang Jerman yang bisa menjawab pertanyaan tentang Typisch Deutsch (khas Jerman). Bahkan untuk mencari 3 orang saja untuk menjawab kekhasan dari negaranya sendiri, aku dan kelompokku harus bertanya kepada lebih dari 5 orang. “Ich habe keine Zeit” (saya tidak punya waktu). Menurutku kalimat itu juga menjadi salah satu dari Typisch Deutsch. Bahkan ada yang sampai merubah arah jalan ketika kami dekati. Sangat tidak ramah.

Yang paling membanggakan adalah ketika Laender Abend (malam budaya), kami dari Indonesia punya sangat banyak hal yang ditunjukkan. Mungkin kalau perlu satu malam itu pun bisa tidak cukup untuk kami menceritakan betapa kayanya Indonesia. Lagu “Kebyar-Kebyar” yang kami nyanyikan malam itu juga jadi lagu yang sangat teringat di seluruh peserta Winterkurz Wannsee 2010. Semua orang yang mendengar malam itu sangat senang menyanyikan “Indonesia merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatku.” Dan semua orang menanyakan “Was ist bedeutet?” (apa itu artinya) dan dengan semangat kami menjawab bahwa “Indonesia, red is my blood, white is my bones. That’s joining in our spirit”.

Ich lieb’ Indonesia

25 Januari 2010
Bandara Cengkareng, Indonesia

Bisa kan?

Aku tulis note ini waktu masih di Wannsee, Berlin. Tapi baru sempet ngetik sekarang.
Banyak hal yang aku dapat di sini. Berlin, Jerman. Bukan Cuma sekedar pelajaran berbahasa Jerman, yang mana memang menjadi tujuan ke sini. Tapi lebih dari itu, aku dapat hal yang lebih berharga lagi dari sekedar pengetahuan. Pertama adalah teman. Tiga minggu tinggal di tempat yang sama, dengan latar belakang budaya yang sama sekali berbeda malah yang menjadikan kami sangat dekat. Asia dengan budaya timur yang sangat kuat. Amerika Latin yang bersahabat, Brazil yang shopaholic, New Zealand dan Australia yang cerdas, dan tentu dengan pembimbing dari Jerman yang ngemong. Perbedaan itu yang malahan membuat kami bisa menyatu.

Nhah, perbedaan budaya ini yang cukup berkesan buatku sampai saat ini. Mulai dari kebiasaan menyapa. Selain dari Asia, orang-orang sangat biasa dengan peluk dan cium. Tapi bukan itu yang jadi ketertarikan utamaku terhadap kehidupanku selama di sini. Ada satu sikap orang Jerman yang patut dicontoh oleh orang Indonesia. sikap jujur yang besar.

Ada satu kejadian yang menurutku sangat hebat. Di hari minggu tanggal 17 Januari 2010, aku dan teman-teman Indonesia yang Katholik pergi bersama ke gereja. Gereja kecil yang cukup megah. Organ pipa tua yang mengiringi kidung pujian. Manteb lah, kayak di film-film gitu. Setelah Misa, ada kejadian yang membuat geger anak-anak Indonesia karena kamera pocket yang dibawa oleh seorang teman (Michella) hilang entah di mana. Dua hari mencari di jalan, berusaha kembali ke gereja tapi tutup dan usaha yang lain untuk mencari. Setelah sampai akhirnya si pemiliknya pun sudah pasrah dan mengambil keputusan bahwa “kameranya hilang”, pembimbing kami (betreuer) memanggil si pemilik kamera dan memberi tahu bahwa ada selebaran yang isinya tentang penemuan kamera. Kemudian si penemu kamera itu mencantumkan nomor teleponnya yang bisa dihubungi. Ternyata benar bahwa kamera itu adalah kamera temanku ini. Si penemu itu mengembalikan kamera yang ditemukannya di jalan itu tanpa kekurangan apapun, dan tanpa imbalan apapun. Hal yang belum pernah kutemui selama aku hidup 17 tahun jalan 18 tahun di Indonesia. tapi dalam waktu 3 minggu aku bisa mengalaminya di Jerman. (terima kasih buat Michella yang kameranya sempat hilang jadi saya bisa dapat pengalaman ini)
Lagi tentang kejujuran. Banyak toko yang memajang barang dagangannya di luar ruangan. Di pinggir trotoar tanpa penjagaan sama sekali. Contohnya yang aku lihat kemarin adalah sikat gigi, dan bahkan tidak ada sama sekali orang yang mengambil sikat gigi itu tanpa membayar. Sikap hebat yang sangat patut dicontoh.

Satu lagi untuk dicontoh oleh Indonesia yang punya situs budaya yang sangat banyak. Museum di Jerman sama sekali tidak ada coret-coretan. Semua museum, museum tentang apapun (komunikasi, bekas kamp konsentrasi Nazi, dll) yang pernah aku masuki semuanya di rawat dan penjagaan yang ada pun sangat ketat.

Mungkin hal ini yang jadi salah satu alasan kenapa Jerman bisa jadi negara maju. Kejujuran. Semua orang bisa mengatur dirinya sendiri. Karena orang sadar untuk bersikap benar dan tidak merugikan orang lain. Tapi mungkin juga itu yang dilihat sebagai orang Jerman yang individualis. Tapi kalau kita bisa berpandangan seperti itu, seharusnya kita bisa jadi orang yang bisa mengatur diri sendiri yang tidak individualis kan?

21. Januar 2010
Atrium zi. 16
Wannsee, Berlin, Deutshcland

Berbagi Cerita

Sudah dua minggu aku dan teman-teman dari beberapa negri dari seberang sana berkumpul di satu tempat. dan 5 hari lagi kami semua harus berpisah ke tempat asal kami masing-masing..

sedikit berbagi cerita sebelum kembali pulang.

Berawal dari kesalahanku memilih kegiatan di malam Jumat minggu lalu. kesalahan yang menurutku akhirnya tidak lagi menjadi kesalahan. Malam itu aku memilih untuk ikut ke Disko. Ya klub malam di Berlin, Jerman.

ga terlalu berbeda keadaannya. Orang-orang joget, mabuk, dll. Di Jerman, kegiatan pergi ke disko kayak gini memang jadi hobi. Tapi yang benar-benar berbeda adalah dalam Klub malam seperti itu tidak ada sama sekali asap rokok. semua orang yang pengen ngrokok pergi keluar. Takjub ngeliatnya. benar-benar orang menghargai sekali orang lain. Menghargai orang lain menurutku, bukan menaati peraturan. Karena enggak ada tulisan peringatan untuk tidak merokok di dalam klub. tapi semua perokok tidak akan merokok di dalam ruangan.

itu tadi yang pertama. satu hal lagi yang bikin takjub. waktu suasana disko mulai memanas, sekitar jam 12 malam, sang DJ menghentikan musik dan berbicara dalam bahasa jerman yang kira kira begini artinya 'untuk semua anak yang berumur di bawah 17 tahun diharap segera pulang.'
peringatan itu benar-benar dilaksanakan. orang-orang yang di awal aku pikir sebagai anak di bawah umur langsung menghilang. mereka benar-benar keluar dari tempat itu.
sebelum masuk, semua orang harus menunjukkan kartu pengenal. semua pengunjung di bawah umur dapet tanda khusus cap di tangan. pengunjung yang dapat cap itu sama sekali ga boleh beli minuman beralkohol.
bartender pun peduli dengan itu. jadi semua pengunjung di bawah umur ga mungkin dapet minuman beralkohol..

jadi intinya menurutku Jerman adalah negara yang benar-benar taat peraturan dan penghargaan untuk orang lain itu tinggi.

sori bahasa berantakan, harus gantian sama orang lain, jadi tidak punya cukup waktu untuk menyusun kalimat.

Wannsee, Berlin. 18. Januar 2010

Rain That Wash All The Pain

Teman-teman ingat dengan hujan yang membuat kita semua sedikit ciut dengan keberhasilan pasar malam? sematang apapun persiapan kita, sehebat apapun acara yang terencana akan sia-sia kalau hujan kemarin itu tetap deras mengguyur lapangan di sekolah kita tercinta. Bagaimanapun juga alam itu tidak bisa dilawan.

Tapi kemudian aku menemukan bahwa hujan kemarin malah merupakan suatu awal dari keberhasilan kita. Hujan yang turun deras kemarin itu adalah hujan yang menghapuskan duka. Kalau ada yang memperhatikan tentang hujan itu "diminta" oleh dua dari tiga bintang tamu kita. Coba perhatikan lagu "Rain of July" nya Monophones, dan "And Rain will Fall" nya MOCCA. Semuanya dinyanyikan tadi malam. Dan kedua lagu itu ada bagian yang hampir sama. Bagian ini "..all I need is only rain to wash away all the pain.." dalam lagu "Rain of July". Dan "..all that I need now. Is for the rain to fall from the sky. To wash away my pain inside.." dalam lagu "And Rain will Fall"

Kedua lagu itu dinyanyikan semua tadi malam oleh The Monophones dan MOCCA. Dan memang ternyata memang hujan kemarin bisa menjadi penghapus "penyakit dalam" di hati kita. Buktinya, ya sekarang kta semua rasakan. Kegembiraan.

Kalau kemudian mau dihubungkan dengan esensi pasar malam, gembira menurutku adalah merupakan rasa syukur. Tapi kalau hanya sampai di tahap gembira saja belum cukup. Ada hal yang lebih dalam lagi yang harus digali dari rasa syukur malam tadi. Tapi yang jelas, proses menggarap pasar malam ini benar-benar mengajarkan kita semua banyak hal. Dan menurutku, itu yang pertama-tama harus disyukuri. Bahwa kita mendapat segepok lagi pengalaman dan pengetahuan tentang kerja keras dan bersyukur.

Semoga kita semua bisa selalu menjadi "hujan" yang bisa menghapuskan kepedihan bagi orang-orang di sekitar kita. Karena kita tidak hidup sendiri.

Man for Others

15 November 2009

Tinggalkan (Sejenak) Facebook-mu



Buka Facebook sudah biasa..nonton Miyabi takut dosa.. Tapi bagaimana dengan budaya??

Pasar Malem ning JB adalah sebuah pagelaran yang akan diselenggarakan dengan adanya kerja keras seluruh warga SMA Kolese De Britto. Kami punya idealisme yang cukup besar dalam acara kali ini. Bukan tanpa alasan kami memilih setiap detil dari acara ini. Tidak sembarangan kami memilih setiap pernik yang dimunculkan dalam pentas ini.

Setidaknya ada tiga dasar yang menjadi pemikiran kami dalam persiapan acara ini. Pertama adalah mengenai teknologi yang saat ini memberikan ekses merenggut kebebasan kaum muda. Kedua adalah keinginan kami untuk mempersembahkan suatu yang tidak hanya menghibur namun juga memberi edukasi bagi orang yang datang. Ketiga adalah keinginan kami untuk mengenalkan kebudayaan Indonesia, di saat budaya barat masuk dengan gencarnya.

Hiburan zaman sekarang yang memberikan manusia kenyamanan secara pasif menikmati hiburan hanya sebatas mata dan kepuasan batin sesaat. Hiburan yang disajikan oleh kemajuan teknologi. Saat ini kita terkungkung dalam hiburan yang sifatnya pasif. Hiburan yang meminimalisasi kontak langsung antar individu. berbincang lewat chat box, menemukan dunia sendiri dalam game online, teradiksi oleh jejaring sosial yang semakin merajalela misalnya. Kami melihat ini sebagai suatu yang mengerangkeng kebebasan manusia khususnya kaum muda.

Menilik pemikiran dari Heidegger, filsuf asal Jerman ini berpendapat bahwa manusia zaman sekarang ditempatkan, di-set atau dikuasai oleh teknik (Lih. Setyadi, F. Wawan, “Menjadi Manusia Bebas”. Kanisius : Yogyakarta. 2009. Hal 28.). Padahal awalnya teknologi diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia. Kenyataannya saat ini manusia seakan menjadi terkuasai oleh teknologi yang diciptakannya itu. “Manusia itu menciptakan hal-hal yang membuat dirinya sendiri teradiksi” (Bagaskoro, K Aryo. 2009), kata-kata ini sangat cocok menurut kami dalam menggambarkan kehidupan manusia saat ini.

Kemudian mari dikaitkan dengan survey dari Yahoo dan TNS tentang penggunaan internet bahwa pengguna internet terbanyak adalah remaja berusia 15-19 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa memang anak muda zaman sekarang ini menjadi pribadi yang kurang bebas. Karena apa? Karena kemudian teknologi menarik, mengatur dan memengaruhi keinginan manusia, yang menjadikan manusia tidak bebas.

Tapi bukannya kami antipati dengan teknologi. Kami hanya menunjukkan pemikiran kami tentang teknologi itu. Karena bahkan kami memanfaatkan teknologi untuk publikasi. Kami ingin mengajak teman-teman bahwa teknologi akan dapat dimanfaatkan, bukannya kita yang “termanfaatkan” olehnya. Bahwa sebagai manusia yang utuh, kita sudah seharusnya beristirahat sejenak dari Facebook dan teknologi lainnya itu. Tidak terus menerus terkungkung dalam dunia teknologi, dan mulai mencoba untuk menikmati hal-hal di luar itu. Bahwa dengan suatu pagelaran yang bertema religius pun, kita semua dapat merasakan kegembiraan.

Di tengah keterkepungan masyarakat, anak muda khususnya, di dalam kemajuan teknologi seperti facebook, play station, dll ini, kami ingin mengenalkan sedikit peninggalan kebudayaan asli Indonesia. Budaya pasar malam yang sudah ada bahkan sejak sebelum kedatangan VOC ke Indonesia.

Pasar malam adalah sebuah acara tradisional yang biasa diselenggarakan oleh umat Muslim pada malam ke-21 setelah puasa pertama di bulan Ramadhan. Tujuannya adalah untuk memperingati turunnya wahyu Tuhan bagi Nabi Muhammad SAW. Jadi sebenarnya, pasar malam itu tidak identik dengan kemeriahan. Malahan seharusnya yang dilakuakan pada saat pasar malam yang asli adalah berdoa, sembahyang untuk bersyukur. Pasar malam mulai kehilangan esensinya setelah VOC datang. Budaya barat yang dibawanya itu menghilangkan suasana syukur dalam acara itu.

Dengan alasan bahwa budaya itu lentur, bisa berubah sesuai dengan kemajuan zaman yang ada, maka kami ingin menghadirkan “Pasar Malem” ning JB. Dengan cara yang sesuai dengan zaman yang modern ini, tapi tidak mengurangi esensi dari pasar malam yang asli untuk bersyukur dan menikmati anugerah Tuhan. Maka kami memilih musik-musik lembut bukan tanpa alasan. Alasannya adalah untuk membangun suasana. Bukan suasana berpesta, tapi suasana yang mebuat orang santai dan bisa menikmati acara. Bukan tempat hiburan, bukan tempat berpesta, tapi tempat bergembira.

Yang jelas tidak hanya kegembiraan yang bisa teman-teman semua dapatkan dalam acara ini. Kita bisa belajar sedikit tentang sejarah. Maka dari itu, Malam minggu ini kami seluruh Putra De Britto mengimbau pada kaum muda di Jogjakarta dan sekitarnya untuk meninggalkan sejenak facebook-mu, dan beranjaklah dari komputermu untuk menikmati sajian budaya dari kami di JALAN LAKSDA ADISUCIPTO 161. SABTU 14 NOVEMBER 2009

Only I can Stop Me

Setiap orang punya cita-cita, biasanya seperti itu dan memang seharusnya seperti itu. Cita-cita membuat seseorang memiliki tujuan untuk terus berkarya. Cita-cita bisa saja menjadi pembakar semangat dalam pribadi masing-masing orang. Orang tanpa cita-cita sama berarti tidak punya tujuan hidup. Setidaknya itu menurutku.

Hanya ingin berbagi tentang sedikit refleksi saya dalam akhir minggu kemarin. Akhir minggu kemarin saya mengikuti sebuah acara latihan alam Tae Kwon Do di Kaliurang. Dalam salah satu sesinya yang dipimpin oleh pelatih utama, saya mendapatkan suatu pemikiran baru yang membangkitkan semangat saya tentang menggapai cita-cita. "Tidak ada satu hal pun yang bisa menghentikanmu meraih cita-cita", kata-kata itulah yang sangat berkesan dalam benak saya. setelah merenungkan kalimat itu, kemudian saya menuliskannya lagi menjadi satu kalimat "Only I can stop me."

Kalimat sederhana ini, menurut saya pribadi punya makna yang sangat dalam. Begini maksudnya. Sudah saya katakan sebelumnya bahwa cita-cita adalah tujuan hidup yang seharusnya dikejar untuk direalisasikan sekuat tenaga. Hanya aku yang bisa menghentikanku, maksudnya adalah dalam mengejar cita-cita itu tidak adalah sesuatu pun yang bisa menghalangimu mencapainya. Ketika cita-cita itu tidak dapat tercapai, bukan berarti ada hal yang menghalangimu. Itu lebih karena kamu memutuskan untuk mundur dan mengalah pada halangan itu. Kalau kamu memutuskan untuk terus mengejar cita-cita itu dan tetap berusaha melewati halangan itu tidak peduli sebesar apa, setebal apa, setinggi apa halangan itu pasti tetap dapat dilewati.

Memang tidak mudah untuk dapat melakukan hal itu. Sangat tidak mudah untuk memutuskan maju ketika jalan yang akan dilalui itu dipenuhi halangan dan rintangan. Tapi ketika keputusan maju itu dapat diambil dengan segala konsekuensi dan segala akibatnya yakinlah cita-cita itu dapat dinikmati nantinya.

Jadi mulai sekarang aku akan selalu berusaha memutuskan untuk terus maju dengan segala cara. Karena cita-cita itulah yang menjadi alasanku untuk terus hidup dan mewarnai hidup.

29 Oktober 2009

Sendiri Serasa Tidak Sendiri, Tidak Sendiri Malah Menyendiri

Ada yang penah lihat iklan Telkomsel tentang Blackberry yang baru? Gadget komunikasi yang sedang populer saat ini. Buat yang belum pernah lihat atau yang belum pernah memerhatikan, begini iklannya : ada beberapa orang yang berjalan kaki sambil asik dengan BB-nya masing-masing. Tersenyum lebar, dan tertawa-tawa kecil serasa sendiri pun tidak sendiri. Orang-orang itu berjalan-jalan berlalu lalang, dan di akhir iklan tampak orang-orang itu duduk di suatu tempat yang kelihatannya seperti tempat macam food court, masih sibuk dengan BB-nya masing-masing, dan juga masih terlihat berbahagia. Ironisnya, mereka duduk sendiri-sendiri di tempat itu. Seakan lebih baik tidak ada teman manusia daripada BB-nya tidak di genggaman tangannya, ber-facebook-ria, chatting, dll.

Lalu teringatlah kata-kata ibu “teknologi tu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Saya agak geli, campur heran, campur kasian lihat iklan itu. Mereka seperti sudah sangat bahagia hanya ditemani si BB itu. Padahal katanya manusia itu adalah makhluk sosial. Butuh interaksi sosial yang bermutu, tapi yang saya lihat sekarang sedikit demi sedikit manusia sudah dapat digantikan dengan gadget macam BB itu.

Mendekatkan yang jauh, memang sangat jelas sekarang jarak bukanlah menjadi suatu halangan lagi bagi orang-orang untuk berkomunikasi. Donya mung sakgodhong kelor, mungkin istilah jawa ini sangat tepat menggambarkan efek globalisasi sekarang ini. Bumi sekarang seperti dilipat, semua jarak dan waktu sudah tidak bisa lagi membatasi seseorang untuk berkomunikasi. Antarkota, antarprovinsi, antarpulau, antarnegara pun sudah bukan lagi menjadi alasan untuk berelasi dengan orang lain.

Menjauhkan yang dekat, kelihatannya sedikit-demi sedikit teknologi yang telah tercipta itu menghipnotis para penciptanya sendiri. Dan sedikit demi sedikit pula teknologi mendorong orang menjadi egois. Kadang saya heran ketika ada orang yang sempat memperbarui status di facebook, mengatakan bahwa sedang bersama teman-teman, macam “sedang menggila bersama teman-teman..ouuyeeahh”. Kemudian di bawah status itu ada simbol telepon genggam yang maksudnya orang itu meng-update statusnya dari gadget miliknya. Rasanya, jadi tidak lagi bisa menggila ketika sedang bersama teman-teman saja masih bisa meng-update status FB.

Banyak orang sekarang terkena sindrom ”sendiri serasa tidak sendiri, tidak sendiri malah menyendiri”. There are always two sides on a coin. Selalu ada dua sisi yang bisa diterjemahkan dalam setiap fenomena. Bukan berarti globalisasi dan teknologi selalu berdampak baik, bukan juga berati selalu berdampak buruk. Semua itu tergantung sikap setiap pribadi untuk menanggapi dan menerimanya.

Sosok Semu

ayo teman-teman sekadar berandai andai..tentang Noordin M Top, seorang yang paling TOP akhir-akhir ini..perbincangan ku dan beberapa teman cukup asik tentang sosok lelaki yang satu ini..

bagaimana mungkin satu orang bisa bersembunyi dari sekian banyak orang yang mencarinya? Atau tidak ada seorang pun yang bisa tahu dimana dia berada sekarang. Sebenarnya Noordin M Top itu ada atau nggak to?? Atau dia hanya seperti Tyler Durden di film Fight Club??

asik aja mbayangin sebenernya Noordin M Top itu adalah seorang tokoh fiksi yang hanya dibuat oleh sindikat teroris ini untuk semakin merahasiakan aksi teror nya. mereka membuat sebuah tokoh untuk memperdaya orang-orang yang mencarinya. lebih rapi, dan jelas ga mungkin ketangkep to?? wong ra ono.. bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh para teroris itu ketika banyak orang sibuk membicarakan Noordin M Top yang sebenarnya ga ada. gerak mereka jauh lebih bebas dan leluasa. mungkin mereka (teroris) itu hanya tertawa saja ketika ada bom nya yang berhasil meledak terus orang-orang dari Counter Teroris itu langsung menyebut "Noordin M Top" sebagai dalang dari bom itu. sebenernya foto-foto yang selama ini dipublikasikan ternyata foto orang yang sudah meninggal, direkayasa dengan bantuan teknologi digital yang sangat berkembang saat ini, sudah cukup akan membuat seorang tokoh hidup yang semu.

satu lagi teori yang muncul waktu itu. kali ini mungkin lebih bahaya lagi kalau memang yang terjadi seperti apa yang kami pikirkan. "Noordin M Top itu memang ada atau setidaknya sosoknya itu ada, dan dia sebenarnya ga cuma membawahi teroris aja, tapi juga counter terorisnya". Nhah lho..lebih bahaya lagi kan?? sumber bencana itu malah yang sebenarnya ngatur semuanya. Pengebomannya, evakuasi korbannya, tindakan pencegahannya.

sampai sekarang juga belum ada yang bisa membuktikan to Noordin M Top itu ada atau nggak? berarti ga salah juga kan kalo pandanganku terhadap sosok ini? tapi mungkin benar, kita semua sudah tertipu oleh sosok Noordin M Top ini. dan tetep satu yang penting kita semua pengen dunia ini damai. caranya?
kata BYRTH : "jadikan cinta satu-satunya faktor di dunia untuk hidup dan beraktifitas tiap harinya". satukan nada,satukan cinta, satukan asa niscaya damai selalu beserta kita.

Sekolah untuk UAN (?)

Tahun ini, saya sudah menduduki kelas dengan halaman terpisah dari adik-adik kelas, XII Sos 1. Tekanan yang sama seperti teman-teman kelas XII yang sudah-sudah, Ujian Akhir Nasional. Hal yang dianggap sebagai momok buat teman-teman di penghujung SMA. Tapi bukan soal UAN yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Tapi tentang tuntutan mengangkat nama sekolah atau katanya mengembalikan kejayaan De Britto di tingkat Sleman, provinsi, bahkan nasional dalam hal akademik. De Britto yang pernah berada di kelas atas dalam bidang akademik mulai mengalami penurunan. Tapi kemudian ada sesuatu yang membuat saya berpikir. Beberapa guru mengatakan bahwa kalau hanya untuk mempersiapkan UAN, apakah kalian benar-benar belajar? Apakah fungsi mata pelajaran yang sesungguhnya itu akan sampai secara mendasar? Kurang lebih seperti itu. Di kelas saya ada guru yang memulai persiapan UAN di semester kedua nanti, ada juga yang memulai di bulan Januari tahun 2010.

Coba bandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Hasil survei yang saya lakukan hampir semua sekolah sudah mempersiapkan siswa-siswinya menghadapi UAN, bahkan UM sejak awal memasuki kelas XII. Tidak heran jika hasil yang didapat pada UAN nanti lebih baik karena persiapannya secara fokus lebih lama. Tapi apakah hasil UAN adalah segalanya? Segalanya mungkin untuk kelulusan. Tapi bukan segalanya untuk masa depan.

Jika benar begitu, tuntutan dari guru-guru lainn yang ingin mengembalikan JB di peringkat atas seperti dulu lagi sedikit berlawanan dengan usaha yang dilakukan guru, juga murid-muridnya.

Tidak ada yang paling benar dan paling salah. Semua bisa dilihat benar dan salah tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Masih banyak orang yang berpandangan bahwa murid-murid JB itu cerdas. Tapi memang hanya sedikit yang mengatakan anak JB itu pandai. Pertanyaannya sekarang apakah JB akan tetap akan berpendirian pada cara belajarnya yang khas atau mengejar peringkat lagi untuk mengembalikan seperti dulu.

Saya pribadi akan lebih memilih agar JB mempertahankan cara belajar khasnya. Bukan untuk UAN bukan untuk peringkat tapi untuk masa depan. Memang benar kalau hanya mempersiapkan UAN pelajaran yang diterima tidak akan sampai sesuai dengan fungsi mata pelajaran itu sendiri. Tapi jika kurang persiapan sulit berada di peringkat atas sekolah-sekolah terbaik di Sleman, D.I.Y, dan Indonesia.
Ini bukan mempertahankan diri dari tuntutan, bukan juga protes atas tuntutan. Hanya saya ingin kita semua berpikir kembali apakah sekolah hanya untuk UAN?

Nasihat

Pelajaran pertama di hari terakhir belajar bersama, aku mendengar lagi nasihat yang sudah sering dilontarkan oleh para guru terhadap kami. Generasi muda yang katanya bertugas memberikan masa depan bagi dunia ini. Aku nggak terlalu tau darimana awal keluarnya nasihat itu, karena alam memanggil waktu itu (eek). Nasihat tentang kemandirian.

Sudah sering denger tentang teknologi yang membodohkan kaum muda? Kalo aku udah sering denger itu. Paling nggak udah ada 3 guru senior yang kasih nasihat tentang itu. Tapi ayo berpikir bersama. Apakah kemajuan teknologi mentalitas remaja yang manja. Pasti?

Dulu waktu guru-guru senior bersekolah memang keadaan memaksa seperti itu. Prihatin, perih atine katanya. Masa itu (tahun 60an kali) teknologi belum kayak sekarang ini. “Saya dulu kalau mau pergi ke rumah teman pinjam catatan harus naik sepeda. Padahal rumah teman saya itu 20 km. Jadi tau rasanya rekasa. Sekarang enak tinggal weeesss naik sepeda motor sebentar juga udah sampe.” Tapi kalau dalam masa sekarang, buat apa menghabiskan waktu perjalanan naek sepeda sejauh 20 km daripada bisa dicapai pake kendaraan umum atau motor. Sisa waktu yang dulu buat perjalanan, bisa dipakai untuk kegiatan lain. Selalu yang disoroti adalah ketidakmauan kaum muda untuk berusaha daripada melihat bahwa efisiensi waktu yang dipikirkan.

Keprihatinan itu yang dianggap dan dibanggakan oleh beliau-beliau yang membuatnya memiliki mental yang lebih dibandingkan anak muda jaman sekarang. Tapi apakah sebanding ketika membandingkan kehidupan yang sudah lama berkembang? Apakah harus disamakan dengan sekarang? Menurutku nggak seimbang kalo membandingkan kehidupan remaja 60an dan 2000an. Apa yang membuat penasihat-penasihat itu yakin bahwa mentalitas remaja tahun 60an lebih baik dibanding dengan remaja sekarang? Buktinya yang tertangkap melakukan korupsi sekarang ini juga orang tua-tua. Anak-anak remaja tahun 60an.

Yang paling saya ingat adalah kalimat sedikit merendahkan yang terucapkan “Saya rasa remaja sekarang belum cukup siap mentalnya untuk hidup mandiri”. Sekarang memang belum dapat terbantahkan bahwa mental remaja sekarang manja, karena belum ada bukti konkret yang menguatkan. Kita tunggu saja 10 – 20 tahun lagi baru bisa dibandingkan apakah kita kaum muda tidak lebih baik daripada mereka.


30 Mei 2009

Tragedi Burjo

siang tadi, seperti biasanya banyak anak JB yang kumpul di burjo. saat semuanya sedang menikmati keadaan sambil berbincang dan merokok sambil menenggak minum es tiba-tiba burjo didatangi oleh 2 sosok yang membuat raut muka kami menjadi berubah. anak-anak JB cowok semua yang katanya sangar, yang katanya gentho, yang katanya urakan bisa terlihat takut ketika disambangi oleh 2 orang pengamen waria.

satu pengamen hanya berdiri di luar sambil memainkan alat musiknya, yang satu lagi masuk ke burjo dan mendatangi kami satu-persatu. mulai dari Gembul, pengamen itu merangkulnya sambil terus memainkan icik-icik nya.(awalnya aku nggak merasa takut ato perasaan yang sejenis, karena dulu aku pernah punya kenalan orang-orang sepeti itu. kenalanku itu orang-orang yang baik dan aku hormat sama mereka). tapi aksi pengamen berikutnya ini yang membuatku kaget dan merasa sangat takut. pengamen itu memegang kemaluan salah satu teman saya. perlakuan itu terjadi ke hampir semua yang berada di dalam burjo (termasuk aku). ada yang udah melakukan pencegahan dengan cara duduk mingkup supaya ga jadi sasaran colek-colek si tante, tapi tetep si tante mengucapkan kata-kata seronok yang menurutku itu udah merupakan pelecehan seksual.

nah, kejadian ini bikin aku berpikir. di tengah kegencaran kaum waria terhadap kesetaraan mereka dan keinginan mereka untuk dianggap sama dan sederajat ini, ada oknum-oknum yang sama sekali tidak mendukung usaha-usaha itu. perlakuan yang terjadi seperti "tragedi burjo" itu malahan membuat kaum waria semakin dijauhi. karena takut, karena gilo, karena geli, dan banyak alasan yang lain. kalo pengamen tadi hanya sekadar ngamen, menyanyi seadanya tanpa pake acara pegang-pegang kayak gitu, mungkin tidak akan terlalu mengganggu. tapi kejadian seperti tadi itu benar-benar merusak kerja keras temannya seperti Chenny Han di masyarakat. kaum waria yang sudah sedikit mendapat respect dari masyarakat bisa dengan mudah kehilangan.

titik tiga yang saya dapat dari peristiwa hari ini adalah sulit suatu kelompok untuk dihormati oleh orang kalo semua yang ingin dihormati itu tidak layak dihormati. jadi setiap perubahan itu memang harus bermula dari diri sendiri. nggak bisa memaksa orang lain untuk berubah menjadi baik ketika yang memaksa itu bukan seseorang baik yang bisa dijadikan contoh.

2 April 2009