Minggu, 05 Januari 2014

Katanya

Dari sepanjang waktu selama aku hidup, kali ini benar-benar titik di mana aku tidak punya kepastian aku harus melakukan apa setelah ini. Biasanya aku selalu sudah punya tujuan konkret supaya bisa aku menyiapkan langkah-langkah menuju ke sana. Tapi kali ini, yang bisa aku pastikan hanyalah aku menyiapkan langkah tanpa tujuan yang pasti. Terlalu banyak destinasi yang ingin aku capai, aku belum yakin di mana arah mana yang harus aku tuju.

Sekarang aku masih mahasiswa tingkat akhir, sedang mengerjakan skripsi. Aku sangat semangat dengan tugas akhirku ini karena aku mengerjakan sesuatu yang benar-benar aku suka. Aku berusaha mencurahkan seluruh kemampuan terbaikku untuk ini. Aku ingin segera menyelesaikan dan melihat akan jadi seperti apa nantinya skripsi ini.

Tapi di balik itu aku tidak tahu akan melakukan apa setelahnya. Skripsi, sidang, wisuda, lalu apa? Kerja? Kerja apa? Sekolah lagi, uang dari mana? Beasiswa? Bisa saja. terus, pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di dalam benak. Banyak pilihan, terlalu banyak yang ingin aku lakukan. Tapi nyatanya, aku harus memilih, aku harus menentukan.

Krisis. Berasal dari kata dalam Bahasa Yunani, “Krisis”. Artinya saat penentuan.

Katanya aku sedang dalam masa krisis. Berarti ini saatnya aku harus menentukan. Keputusan yang akan menentukan kelanjutan dari perjalanan kehidupanku. Pada akhirnya hanya aku sendiri yang bisa menentukan kelanjutannya. Hanya aku sendiri yang bisa melewati krisis dalam fase ini. Memilih kerja, sekolah lagi, di mana, bagaimana caranya? Hanya aku yang bisa menjawabnya. Bukan orang lain.

Semua orang pasti akan mengalami masa krisis. Aku pun yakin jika usia ini adalah masa rawan krisis. Masa di mana aku harus dipaksa menjadi dewasa, dengan dan tanpa bantuan orang lain. Ini masa di mana kamu akan sering bernostalgia. Nostos, masa lalu. Algos, menderita. Bernostalgia berarti kamu merasa menderita untuk bisa kembali ke masa lalu. Saat ketika kamu merasa senang dengan penderitaanmu untuk kembali ke masa lalu.

Saat ketika kamu ingin kembali pada romantika masa lalu. Masa di mana semua sudah siap di tempatnya. Bangun pagi menemui meja makan sudah siap sarapan pagi, disuapi ibu. Sekolah, belajar dan dituntun oleh para guru. Istirahat, berkumpul di kantin bersama teman-teman. Jam dua siang saatnya tidur siang. Mandi lalu pergi bermain bola di lapangan hingga adzan Maghrib menandakan waktunya pulang. Semuanya jelas, sangat terang. Tidak perlu ragu dengan apa yang dilakukan

Tapi inilah hidup. Tidak mungkin selamanya berjalan dalam terang. Bahkan dalam sehari pun ada perubahan dari siang ke malam. Itu proses alamiah. Terang dan gelap.

Katanya aku sedang berada dalam kegelapan. Sedang berusaha menerka arah mana harus melangkah untuk menuju terang. Tanpa cahaya, bukan berarti aku jadi takut untuk melangkah maju. Tanpa bergerak, aku akan selamanya ada dalam gelap, tanpa terang. Melangkah maju, ke mana pun arahnya pasti akan membuatku mendekat pada terang yang lain. Caranya adalah dengan tetap melangkah, biarkan waktu yang menemanimu berjalan.

Hanya dalam gelap kamu bisa menemukan terang dan untuk menjadi terang kamu harus lebih dulu menemukan kegelapanmu. Sesungguhnya terang dan gelap adalah satu kesatuan dalam dua bentuk yang berbeda. Karena dengan menjadi terang kamu harus menemukan kegelapan yang lain. Sehingga cahayamu berguna bagi yang lain. Juga supaya hidupmu tidak selalu terang. Percayalah, hidup dalam terang terus menerus akan membuatmu bosan. Kamu juga tidak berharap bahwa setiap hari akan selalu terang, bukan? Selalu ada secercah terang dalam gelap dan setitik gelap dalam terang. Tinggal kamu merespon akan jadi apa kamu ketika ada dalam gelap dan terang.


Jadi artinya, keadaan gelap ini akan memaksaku menemukan terang yang lain. Aku berharap agar aku bisa segera menemukan terang itu. Banyak orang juga berkata kalau aku pasti bisa menghadapinya. Katanya.