Selasa, 16 April 2013

Ujian Nasional, Buat Apa?

Ujian Nasional 2013. Sudah tiga tahun yang lalu, saya berhasil lolos dari hadangan kelulusan. Memori tentang usaha dan tekanan yang saya lalui masih menjadi hal yang tidak bisa terlupakan. Eudamonia, mengetahui kelulusan dengan berjalan kaki beberapa kilometer dari sekolah menuju Tugu Jogja hanya untuk menyanyi Indonesia Raya dan Mars De Britto juga terus lekat dalam ingatan saya.

Bicara tentang UN, di luar "kegagalan" distribusi soal tepat pada waktunya ke 11 Provinsi, menurutku tidak pernah berubah. Bahwa UN tidak pernah bisa mengukur apapun. Dan kalau benar memang UN sebagai ukuran standar pendidikan negara ini, berarti pendidikan di sini betul sangat dangkal.

Saya mengerjakan 6 mata pelajaran yg diujiankan pada tahun 2010. Nilai yg saya dapat cukup bagus saat itu. Dua nilai 9, dua nilai 8, satu nilai 7, dan satu nilai nyaris 6. Tetapi setelah 3 tahun berselang, hanya soal-soal bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris saja yang masih bisa saya kerjakan. Sisanya? Saya sudah kesulitan untuk mengerjakannya. Saya yakin, kebanyakan dari kamu juga mengalami hal yang sama. Lalu apa guna nilai cukup baik tadi buat saya? Selain hanya untuk dibanggakan pada teman lain yang mendapat nilai tidak lebih baik? Bahkan untuk masuk PTN pun saya melalui tes tertulis yang terpisah.

Kalau dibilang pendidikan itu harus berkesinambungan, berarti UN tidak menjadi sistem dalam pendidikan yang tepat. Karena pelajaran yang saya terima di SMA menjadi sebatas pengukur nilai yang selesai manfaatnya ketika sudah menerima ijazah SMA. Angka 10 dan 5 menjadi tidak timpang lagi setelah ijazah itu masuk ke map plastik untuk dimasukkan ke dalam lemari penyimpanan berkas di rumah.

Mirisnya, proses pencapaian nilai bagi semua peserta UN malah menjadi kontradiksi bagi pendidikan itu sendiri. Segala cara diusahakan untuk dapat nilai NEM terbaik, atau peringkat sekolah yang lebih baik. Membeli jawaban, dan bentuk kecurangan semacamnya menjadi hal yang sepertinya sudah bisa ditoleransi.

Kemudian juntrungannya adalah mentalitas yang bangga akan ketidakjujuran. Kenangan curang saat menghadapi UN menjadi hal yang normal bahkan tampak menjadi memori yang dapat dibanggakan. Tidak heran kalau sekarang kita sering melihat orang yang ditangkap karena kasus korupsi tetap dengan bangga melambaikan tangan ke kamera para pencari berita. Bangga? Atau karena kebiasaan orang Indonesia yang murah senyum? Tetapi rasanya (semoga) warga negeri ini masih punya rasa malu.

Saya jadi salah satu orang yang merasa berhak bangga bisa mengerjakan UN dengan kemampuan sendiri. Sanksi sosial yang akan diterima dari teman-teman di sekolah saya rasanya menjadi momok yang lebih menakutkan dari pada tidak lulus. Tetapi sebanyak apa lingkungan seperti itu bisa terbentuk di negara seluas ini?

Rasa-rasanya bekal dari SMA adalah mengenai pelajaran tentang hidup. Tentang bersosialisasi, menemui tantangan, memecahkan permasalahan, memupuk sikap empati pada lingkungan. Hanya sedikit saja sisa mata pelajaran yang saya ingat sampai saat ini. Rata-rata nyaris 8 di ijazah saya tadi, sekali lagi hanya berhenti pada sebatas bukti lulus Sekolah Menengah Atas.

Sudah banyak siswa yang mengeluh, guru yang menolak, orang tua yang menentang, tetapi nyatanya sistem seperti ini tidak pernah berubah. Nyatanya keluhan, tolakan, dan tentangan tersebut tidak pernah bisa menggoyahkan kekerasan hati para pembuat keputusan. Lalu alasan apa yang sangat kuat sehingga mereka tetap pada pendiriannya terus mengadakan UN walaupun program ini menghabiskan dana yang tidak sedikit hanya untuk mencetak soal-soalnya?


Tapi sekali lagi, hanya komentar dan berbagi pemikiran saja yang bisa saya lakukan saat ini. Jadi buat apa ada Ujian Nasional? Saya memilih untuk berusaha berpendapat bahwa mungkin untuk eksplorasi, dan mencari ramuan yang cocok untuk pendidikan negeri ini. Daripada menghakimi UN sebagai kekolotan penguasa, dan proyek sampingan kejar setoran (?) Eksplorasi aja terus, Pak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar