Ujian Nasional 2013. Sudah tiga tahun yang lalu, saya berhasil lolos dari hadangan kelulusan. Memori tentang usaha dan tekanan yang saya lalui masih menjadi hal yang tidak bisa terlupakan. Eudamonia, mengetahui kelulusan dengan berjalan kaki beberapa kilometer dari sekolah menuju Tugu Jogja hanya untuk menyanyi Indonesia Raya dan Mars De Britto juga terus lekat dalam ingatan saya.
Bicara tentang UN, di luar "kegagalan" distribusi soal tepat pada waktunya ke 11 Provinsi, menurutku tidak pernah berubah. Bahwa UN tidak pernah bisa mengukur apapun. Dan kalau benar memang UN sebagai ukuran standar pendidikan negara ini, berarti pendidikan di sini betul sangat dangkal.
Saya
mengerjakan 6 mata pelajaran yg diujiankan pada tahun 2010. Nilai yg
saya dapat cukup bagus saat itu. Dua nilai 9, dua nilai 8, satu nilai 7,
dan satu nilai nyaris 6. Tetapi setelah 3 tahun berselang, hanya
soal-soal bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris saja yang masih bisa saya
kerjakan. Sisanya? Saya sudah kesulitan untuk mengerjakannya. Saya
yakin, kebanyakan dari kamu juga mengalami hal yang sama. Lalu apa guna
nilai cukup baik tadi buat saya? Selain hanya untuk dibanggakan pada
teman lain yang mendapat nilai tidak lebih baik? Bahkan untuk masuk PTN
pun saya melalui tes tertulis yang terpisah.
Kalau dibilang
pendidikan itu harus berkesinambungan, berarti UN tidak menjadi sistem dalam pendidikan yang tepat. Karena pelajaran yang
saya terima di SMA menjadi sebatas pengukur nilai yang selesai
manfaatnya ketika sudah menerima ijazah SMA. Angka 10 dan 5 menjadi
tidak timpang lagi setelah ijazah itu masuk ke map plastik untuk
dimasukkan ke dalam lemari penyimpanan berkas di rumah.
Mirisnya,
proses pencapaian nilai bagi semua peserta UN malah menjadi kontradiksi
bagi pendidikan itu sendiri. Segala cara diusahakan untuk dapat nilai
NEM terbaik, atau peringkat sekolah yang lebih baik. Membeli jawaban,
dan bentuk kecurangan semacamnya menjadi hal yang sepertinya sudah bisa
ditoleransi.
Kemudian juntrungannya adalah mentalitas yang bangga
akan ketidakjujuran. Kenangan curang saat menghadapi UN menjadi hal
yang normal bahkan tampak menjadi memori yang dapat dibanggakan. Tidak
heran kalau sekarang kita sering melihat orang yang ditangkap karena
kasus korupsi tetap dengan bangga melambaikan tangan ke kamera para
pencari berita. Bangga? Atau karena kebiasaan orang Indonesia yang murah
senyum? Tetapi rasanya (semoga) warga negeri ini masih punya rasa malu.
Saya
jadi salah satu orang yang merasa berhak bangga bisa mengerjakan UN
dengan kemampuan sendiri. Sanksi sosial yang akan diterima dari
teman-teman di sekolah saya rasanya menjadi momok yang lebih menakutkan
dari pada tidak lulus. Tetapi sebanyak apa lingkungan seperti itu bisa
terbentuk di negara seluas ini?
Rasa-rasanya bekal dari SMA
adalah mengenai pelajaran tentang hidup. Tentang bersosialisasi, menemui
tantangan, memecahkan permasalahan, memupuk sikap empati pada
lingkungan. Hanya sedikit saja sisa mata pelajaran yang saya ingat
sampai saat ini. Rata-rata nyaris 8 di ijazah saya tadi, sekali lagi
hanya berhenti pada sebatas bukti lulus Sekolah Menengah Atas.
Sudah banyak siswa yang mengeluh, guru yang menolak, orang tua yang menentang, tetapi nyatanya sistem seperti ini tidak pernah berubah. Nyatanya keluhan, tolakan, dan tentangan tersebut tidak pernah bisa menggoyahkan kekerasan hati para pembuat keputusan. Lalu alasan apa yang sangat kuat sehingga mereka tetap pada pendiriannya terus mengadakan UN walaupun program ini menghabiskan dana yang tidak sedikit hanya untuk mencetak soal-soalnya?
Tapi
sekali lagi, hanya komentar dan berbagi pemikiran saja yang bisa saya
lakukan saat ini. Jadi buat apa ada Ujian Nasional? Saya memilih untuk berusaha berpendapat bahwa mungkin untuk eksplorasi, dan mencari ramuan yang cocok untuk pendidikan negeri ini. Daripada menghakimi UN sebagai kekolotan penguasa, dan proyek sampingan
kejar setoran (?) Eksplorasi aja terus, Pak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar