Tadi malam adalah kali pertama saya datang dan menyaksikan langsung pagelaran wayang kulit tradisional. Saya bersama 5 teman yang lain berangkat menuju Pendopo Museum Diponegoro. Ayah dari salah satu sahabat saya adalah seorang dalang, cukup kondang, kata anaknya. Saya jelas tidak mengerti ukuran keterkenalan seorang dalang itu sebatas apa. Hal yang pasti oleh pribadi seumuran saya juga merupakan ukuran yang asing. Paling-paling dalang paling dikenal adalah Ki Manteb dengan "Pancen Oye"-nya.
Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono adalah sang dalang, ayah Richo, teman saya itu. Ia adalah seorang Tionghoa. Bukan bermaksud SARA, hanya saja memang bias etnis itu sudah sangat jelas terlihat sekarang.
Cerita lakonnya berjudul "Sekar Kanyiri Salaga", sebuah lakon yang baru pertama kali itu digelar. Alur ceritanya? Saya sendiri tidak mengerti karena bahasa yang digunakan oleh Ki Radyo Harsono, sebagai dalang tradisional, adalah Bahasa Jawa kuno yang masih tercampur dengan Sansekerta. Tapi bukannya saya tidak bisa menikmati wayangan itu.
Sepanjang pagelaran saya berhasil dibuat sangat takjub. Melihat Ki Dalang yang tidak menghadap teks apapun, dalam pikiran saya bagaimana bisa ia semalam suntuk menceritakan satu lakon lengkap dengan dialog dan penghayatan dan perubahan suara pada tiap dialog tokohnya. Mendapat cerita dari Richo bahwa baru semalam sebelumnya ayahnya diberi bahan untuk memainkan lakon "Sekar Kanyiri Salaga" itu, logika saya tentang latihan untuk menyiapkan pertunjukan langsung rusak. Mendengar dialog antar tokoh sekaligus menyadari ketiadaan teks itu membuat saya berpikir kalau seorang dalang adalah freestyle rapper terhebat. Bukan para kulit hitam yang tinggal di Bronx sana.
Sebagai orang yang mengaku Jawa, saya merasa sedikit malu, kenapa baru sekarang setelah 21 tahun saya datang langsung menyaksikan pagelaran Wayang Kulit seperti ini. Nama saya bahasa Jawa, saya menghabiskan sebagian besar usia saya sekarang di satu-satunya Kerajaan Jawa yang diakui sebagai Provinsi di Indonesia, saya berbicara dengan teman-teman dengan fasih berbahasa Jawa, tetapi baru kali ini datang ke pertunjukan Wayang Kulit. Semacam merasa kurang "gaul".
Dalam waktu 6 jam, banyak sekali perbincangan menarik terjadi antara saya dan teman-teman saya tentang wayang, budaya Jawa, dan anak muda. Dalam waktu 6 jam pula saya merasa mendapat sangat banyak pengatahuan dan masukan baru untuk otak saya ini. Pada akhir malam menjelang pagi itu, saya berjanji pada diri saya sendiri kalau kedatangan untuk wayang kulit ini bukan jadi yang terakhir untuk saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar