Rabu, 25 Juni 2014

Hak Asasi Manusia, PKI, Nazi dan Pemilu 2014

Sore ini, Jokowi diwawancara oleh seorang reporter Metro TV. Wawancara santai ini membahas tentang kegiatan-kegiatan Jokowi selama kampanye. 

Salah satu dari bahasan wawancara ini menyangkut klarifikasi isu tentang orang tua Jokowi yang diberitakan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Isu kedekatan seseorang dengan PKI ternyata masih jadi isu sensitif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Buktinya, “tuduhan” seseorang punya kedekatan dengan PKI jadi hal yang sangat perlu diklarifikasi, pun PKI jadi bahan untuk seseorang menuduh jahat pihak yang lain. Ternyata internalisasi kebencian terhadap PKI selama rezim Orde Baru masih tertanam hingga sekarang, selang 16 tahun (katanya) reformasi lahir.

Menurut saya ada dua masalah di sini. Pertama, kebanyakan orang masih ‘hanya’ punya pengetahuan tentang PKI dan G30S lewat referensi yang dibuat saat Orde Baru. Salah satu media yang paling kuat pengaruh propagandanya adalah film karya Arifin C. Noer, “Pengkhianatan G30S/PKI”. Hasil survey menunjukkan bahwa propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru dengan menggunakan film “Pengkhianatan G30S/PKI” dapat bertahan bahkan hingga masa rezim itu habis. Komunisme masih dianggap sebagai bahaya yang sewaktu-waktu bisa muncul lagi dan membahayakan kehidupan Indonesia.

“Setahun setelah ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ beredar, majalah Tempo pada 1985 mengadakan survei. Kepada 900 responden di Jawa dan Sumatera, ditanyakan apa ancaman paling berbahaya terhadap Indonesia. Jawaban terbesar adalah bahaya bangkitnya kembali komunisme (33,65 persen), jauh melampaui korupsi yang dianggap bahaya kedua (18,42 persen). Pada awal abad ini, harian Kompas mengadakan jajak pendapat serupa pada 2002 serta 2003, dan hasilnya mirip temuan Tempo” (Kurniawan et al. 2013. Halaman 161)

Kedua, hal yang membuat saya sedih sebenarnya adalah pemilihan kalimat yang diucapkan oleh Jokowi untuk mengklarifikasi isu keterlibatan orang tuanya. Dalam wawancara tadi, Jokowi mengatakan, “PKI bagaimana? Wong bapak saya tu Haji, ibu saya Hajah.” Buat saya, kalimat ini menunjukkan kekurangpahaman seorang Jokowi juga terhadap isu PKI dan G30S di Indonesia. 

Kalimat itu menurut saya lagi menunjukkan bahwa pemahaman PKI adalah Atheis dan tidak bertuhan, lalu darahnya menjadi halal masih jadi referensi utama sebagian besar orang di Indonesia. Padahal waktu itu banyak juga orang yang beragama jadi anggota PKI, lagipula komunisme tidak pernah mengatakan tentang atheisme. Bahwa komunisme tidak menyarankan seseorang untuk beragama bisa jadi benar, karena agama jadi candu untuk beberapa orang.

Ada 500.000 hingga 1.000.000 jiwa melayang dalam kurun waktu hanya beberapa bulan saja di Indonesia. Tanpa pengadilan, tanpa tuduhan yang jelas. Kasus ini adalah salah satu kasus pembunuhan massal terbesar di abad 20, menurut John Roosa. Orang-orang ini dibunuh oleh sesama warga Indonesia dengan cara-cara yang bisa dibilang tidak berperikemanusiaan. PKI di masa pasca tragedi G30S adalah korban dari kekerasan Hak Asasi Manusia.


Negara Jerman pernah punya pengalaman yang cukup senada dengan Indonesia. Jerman pernah mengalami masa di mana Nazi melakukan ‘bersih lingkungan’ dari orang-orang Yahudi. Jutaan ras Yahudi disiksa dan dibunuh. Saat ini mereka punya posisi yang lebih baik menurut saya. Pemerintah Jerman sudah meminta maaf kepada seluruh keluarga dan semua orang yang pernah menjadi korban selama Nazi berkuasa. Walaupun masa lalu tidak akan pernah dapat ditarik kembali, tetapi para korban paling tidak sudah mendapat pengakuan dan penghormatan yang seharusnya mereka dapatkan.

Nazi sebagai pelaku, dan Yahudi jadi korban. Militer diktatorial sudah dibuang jauh oleh mayoritas warga Jerman. Hal ini sudah menjadi hal yang traumatik bagi warga Jerman. Makanya saya heran dengan beberapa pemikiran di Indonesia yang masih percaya bahwa Negara ini butuh pemimpin militeristik. Ah, mereka pasti belum pernah berada di sisi korban.

Baru-baru ini, Ahmad Dhani dikecam oleh media Jerman karena membawa simbol-simbol Nazi untuk mengusung salah satu pasangan capres. Kalau tegas, militer, kuat dan wibawa salah satu capres dicitrakan melalui simbol-simbol Nazi, harusnya kita wajib untuk khawatir. Jangan-jangan memang fasisme militer yang akan diusung paling tidak 5 tahun ke depan. Satu hal yang saya yakini tentang fasisme, sejalan dengan salah satu grup rap Indonesia, Homicide. Saya yakin bahwa fasis yang baik adalah fasis yang mati!

Hal ini menjadi lebih serius buat saya karena isu ini muncul di masa pertarungan politik. Satu pihak melemparkan isu PKI sebagai senjata untuk memfitnah, yang ternyata tidak terbukti benar. Pihak yang lain ternyata punya pandangan yang tidak sesuai dengan harapan saya. Dua dua pihak tidak ada yang lebih benar. Pihak yang satu membuat fitnah jelas salah, dan cara menanggapi fitnah dari pihak kedua pun kurang tepat. Terlepas dari siapa pun yang akan jadi presiden di periode selanjutnya, isu Hak Asasi Manusia harus jadi isu sangat penting dan sesegera mungkin diselesaikan apapun hasilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar