Jumat, 13 Juni 2014

Indonesia Sudah Bosan



Sejak dari pertama mendengar istilah Manunggaling kawula Gusti, saya langsung mengasosiasikan dengan hubungan manusia dan Tuhannya. Manunggaling saya artikan sebagai menyatu atau penyatuan. Kawula biasa digunakan untuk menyebut ‘hamba’ atau 'umat'. Gusti adalah cara menyebut Allah, bagaimanapun juga kamu membacanya, kita semua tahu kepada siapa sebutan itu ditujukan. Tuhan ada di mana-mana bahkan dalam hati dan diri setiap manusia yang percaya. Manusia hendaknya bertingkah sebaik-baiknya untuk dapat menjadi serupa  dengan penciptanya. Manusia toh katanya diciptakan dari citra Tuhan yang paling mendekati. 

Akan tetapi ternyata Manunggaling kawula Gusti tidak hanya merujuk pada hubungan Tuhan dengan manusia. Dalam skala yang lebih kecil, Gusti sering juga digunakan untuk menyebut seseorang yang punya status sosial tertinggi. Istilah itu sebenarnya bisa merujuk pada hubungan antara majikan dan suruhannya. Borjuis dan proletar bahasa kerennya,  atau bisa saja disebut pemilik modal dan buruhnya : Istilah-istilah yang dibuat untuk menamai tingkatan status sosial seseorang, bisa dari keturunannya atau dari apa yang telah diterima atau diusahakannya. 

Ratusan tahun yang lalu, sejak Kerajaan Mataram ini berdiri, sejak Sultan HB I sudah dirumuskan sebenarnya tipe ideal tentang masyarakat tanpa kelas. Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah tidak pernah mengenal ide utopis Marx tentang masyarakat tanpa kelas sebelumnya, tapi semangat mereka sama. Mereka sama-sama ingin melihat setiap manusia bisa mendapatkan apa yang menjadi hak-nya sesuai dengan porsinya. 

Memang bisa saja langsung ditembak pertanyaan: Bukannya hubungan antara Raja dan rakyat di sebuah kerajaan tetap timpang? Betul, kasta dalam kehidupan Kraton masih kuat dilestarikan hingga saat ini. Raja masih tetap sangat kaya, dan tetap masih saja ada rakyat yang miskin. Tapi saya pribadi menganggap itu adalah sebuah upaya pelestarian kekayaan budaya. Toh, Marx tidak akan bisa bertahan hidup tanpa sokongan dari teman kapitalis-nya, Engels.

Semangatnya yang paling ingin saya angkat, bahwa sebenarnya kerinduan akan sebuah sistem yang tidak saling menindas ini sudah jadi kerinduan abadi. Tidak salah tentu jika setiap orang punya pilihan dan caranya hidup masing-masing. Setiap orang pasti punya kerinduan untuk merdeka dan yang pasti tidak ada orang yang ingin ditindas oleh orang lain. 

Tentu tidak salah juga ketika semakin banyak orang, terutama di Indonesia yang semakin merindukan semangat manunggaling kawula gusti. Semangat kepemimpinan yang berusaha mereduksi selisih antara jurang hidup rakyat dan puncak kursi kekuasaan. Semakin banyak orang yang merindukan kebijakan tidak bermula dari perintah semata tanpa berkaca pada rakyatnya. “Tanah hadirkan tahta, tahta untuk rakyat. Di mana rajanya bercermin di kalbu rakyat. Demikianlah singgasana bermartabat, berdiri kokoh tuk mengayomi rakyat.” 

Demokrasi, dari untuk oleh rakyat. Belakangan ini semakin banyak orang paham dengan demokrasi. Berarti semakin banyak orang paham dengan konsep pemerintahan yang tidak menindas. Semakin banyak orang yang sadar bahwa dengan menjadi rakyat, harusnya mereka (kami) lah yang menjadi pusat segala kegiatan pemerintah. 

“Demokrasi menurut kami adalah mendengar suara rakyat,” kalimat ini muncul dari salah seorang capres, Jokowi, di debat terbuka perdana capres cawapres beberapa waktu yang lalu. Kalimat ini buat saya pribadi terdengar lebih menenangkan, menyejukkan. Kalimat sederhana yang tepat sasaran dan tepat harapan. 

Bicara tentang pemilu, hanya tersisa dua pilihan sekarang. Jika saya memakai penilaian dengan berdasar pada “manunggaling kawula gusti”, semangat Jokowi menjadi yang paling mencerminkan usaha mereduksi gap antara kawula dan gusti. Entah mau dibilang itu pencitraan atau strategi, menurut saya lagi Jokowi lebih berhasil membangun citra dan menerapkan strateginya. Citranya tepat harapan, dan strateginya tepat sasaran. Strategi kesederhanaannya dan kepercayaan dirinya menolak koalisi gendut perburuan suara partai punya nilai tambah daripada calon yang satunya.

Saya tidak 100% percaya bahwa apa yang dijanjikan oleh kedua capres itu dapat terlaksana. Tetapi saya tentu tergoda untuk mulai percaya dengan sosok pemimpin yang punya citra baru, punya semangat segar dan punya pretasi yang cukup bisa menggambarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa depan. Ya, kita sama-sama tidak bisa melihat ke waktu depan, yang bisa kita bandingkan dan nilai adalah masa lalu dan apa yang dikerjakannya saat ini.  

Indonesia adalah negeri yang sangat besar dan luas, tidak bisa serta-merta mengalami perubahan masif. Butuh proses. Kedua capres saya rasa punya tujuan yang sama, membawa Indonesia menuju kondisi yang lebih baik. Tapi saya orang yang percaya proses dan bagi saya tercapainya tujuan itu bonus, karena tidak ada satupun yang punya tujuan buruk. Menculik pun punya tujuan yang baik, tapi prosesnya yang berpotensi jadi masalah. Begitu juga, memimpin. Setiap pemimpin pasti punya tujuan yang baik, saya tidak ragu. Tapi bagi saya, hanya ada satu pasang yang berhasil membuktikan prosesnya, membuktikan prestasi dari proses yang sudah ia jalankan.

Saya mengharapkan perubahan di negeri ini. Indonesia sudah bosan dengan sifat pemerintahan yang memelihara jarak antara pengisi kursi dan rakyat jelata di sekitarnya. Saya berharap ada pemimpin yang tidak takut noda lumpur di sawah dan pasar, daripada pemimpin yang membawa noda di masa lalunya. Saya berharap ada pemimpin yang mau memikul beban bersama sambil menunjukkan arahnya, bukan pemimpin yang 'hanya' punya kuasa untuk melakukan segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar