Sejak dari pertama mendengar istilah Manunggaling kawula Gusti, saya langsung mengasosiasikan dengan
hubungan manusia dan Tuhannya. Manunggaling
saya artikan sebagai menyatu atau penyatuan. Kawula biasa digunakan untuk menyebut ‘hamba’ atau 'umat'. Gusti adalah cara menyebut Allah, bagaimanapun juga kamu
membacanya, kita semua tahu kepada siapa sebutan itu ditujukan. Tuhan ada di
mana-mana bahkan dalam hati dan diri setiap manusia yang percaya. Manusia hendaknya
bertingkah sebaik-baiknya untuk dapat menjadi serupa dengan penciptanya. Manusia toh katanya diciptakan
dari citra Tuhan yang paling mendekati.
Akan tetapi ternyata Manunggaling
kawula Gusti tidak hanya merujuk pada hubungan Tuhan dengan manusia. Dalam skala
yang lebih kecil, Gusti sering juga
digunakan untuk menyebut seseorang yang punya status sosial tertinggi. Istilah
itu sebenarnya bisa merujuk pada hubungan antara majikan dan suruhannya. Borjuis
dan proletar bahasa kerennya, atau bisa
saja disebut pemilik modal dan buruhnya : Istilah-istilah yang dibuat untuk
menamai tingkatan status sosial seseorang, bisa dari keturunannya atau dari apa
yang telah diterima atau diusahakannya.
Ratusan tahun yang lalu, sejak Kerajaan Mataram ini berdiri, sejak
Sultan HB I sudah dirumuskan sebenarnya tipe ideal tentang masyarakat tanpa
kelas. Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kangjeng Susuhunan Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama
Kalifatullah tidak pernah mengenal ide utopis Marx tentang masyarakat tanpa
kelas sebelumnya, tapi semangat mereka sama. Mereka sama-sama ingin melihat
setiap manusia bisa mendapatkan apa yang menjadi hak-nya sesuai dengan
porsinya.
Memang bisa saja langsung ditembak pertanyaan: Bukannya hubungan
antara Raja dan rakyat di sebuah kerajaan tetap timpang? Betul, kasta dalam
kehidupan Kraton masih kuat dilestarikan hingga saat ini. Raja masih tetap
sangat kaya, dan tetap masih saja ada rakyat yang miskin. Tapi saya pribadi
menganggap itu adalah sebuah upaya pelestarian kekayaan budaya. Toh, Marx tidak
akan bisa bertahan hidup tanpa sokongan dari teman kapitalis-nya, Engels.
Semangatnya yang paling ingin saya angkat, bahwa sebenarnya
kerinduan akan sebuah sistem yang tidak saling menindas ini sudah jadi
kerinduan abadi. Tidak salah tentu jika setiap orang punya pilihan dan caranya
hidup masing-masing. Setiap orang pasti punya kerinduan untuk merdeka dan yang
pasti tidak ada orang yang ingin ditindas oleh orang lain.
Tentu tidak salah juga ketika semakin banyak orang, terutama di
Indonesia yang semakin merindukan semangat manunggaling
kawula gusti. Semangat kepemimpinan yang berusaha mereduksi selisih antara
jurang hidup rakyat dan puncak kursi kekuasaan. Semakin banyak orang yang merindukan
kebijakan tidak bermula dari perintah semata tanpa berkaca pada rakyatnya. “Tanah hadirkan tahta, tahta untuk rakyat. Di
mana rajanya bercermin di kalbu rakyat. Demikianlah singgasana bermartabat,
berdiri kokoh tuk mengayomi rakyat.”
Demokrasi, dari untuk oleh rakyat. Belakangan ini semakin banyak
orang paham dengan demokrasi. Berarti semakin banyak orang paham dengan konsep
pemerintahan yang tidak menindas. Semakin banyak orang yang sadar bahwa dengan
menjadi rakyat, harusnya mereka (kami) lah yang menjadi pusat segala kegiatan
pemerintah.
“Demokrasi menurut kami adalah mendengar suara rakyat,” kalimat ini
muncul dari salah seorang capres, Jokowi, di debat terbuka perdana capres
cawapres beberapa waktu yang lalu. Kalimat ini buat saya pribadi terdengar
lebih menenangkan, menyejukkan. Kalimat sederhana yang tepat sasaran dan tepat
harapan.
Bicara tentang pemilu, hanya tersisa dua pilihan sekarang. Jika saya
memakai penilaian dengan berdasar pada “manunggaling
kawula gusti”, semangat Jokowi menjadi yang paling mencerminkan usaha
mereduksi gap antara kawula dan gusti. Entah mau dibilang itu pencitraan atau strategi, menurut
saya lagi Jokowi lebih berhasil membangun citra dan menerapkan strateginya. Citranya
tepat harapan, dan strateginya tepat sasaran. Strategi kesederhanaannya dan
kepercayaan dirinya menolak koalisi gendut perburuan suara partai punya nilai
tambah daripada calon yang satunya.
Saya tidak 100% percaya bahwa apa yang dijanjikan oleh kedua capres
itu dapat terlaksana. Tetapi saya tentu tergoda untuk mulai percaya dengan
sosok pemimpin yang punya citra baru, punya semangat segar dan punya pretasi
yang cukup bisa menggambarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa depan. Ya, kita
sama-sama tidak bisa melihat ke waktu depan, yang bisa kita bandingkan dan
nilai adalah masa lalu dan apa yang dikerjakannya saat ini.
Indonesia adalah negeri yang sangat besar dan luas, tidak bisa
serta-merta mengalami perubahan masif. Butuh proses. Kedua capres saya rasa
punya tujuan yang sama, membawa Indonesia menuju kondisi yang lebih baik. Tapi saya
orang yang percaya proses dan bagi saya tercapainya tujuan itu bonus, karena
tidak ada satupun yang punya tujuan buruk. Menculik pun punya tujuan yang baik,
tapi prosesnya yang berpotensi jadi masalah. Begitu juga, memimpin. Setiap pemimpin
pasti punya tujuan yang baik, saya tidak ragu. Tapi bagi saya, hanya ada satu
pasang yang berhasil membuktikan prosesnya, membuktikan prestasi dari proses
yang sudah ia jalankan.
Saya mengharapkan perubahan di negeri ini. Indonesia sudah bosan dengan sifat pemerintahan yang memelihara jarak antara pengisi kursi dan rakyat
jelata di sekitarnya. Saya berharap ada pemimpin yang tidak takut noda lumpur
di sawah dan pasar, daripada pemimpin yang membawa noda di masa lalunya. Saya berharap
ada pemimpin yang mau memikul beban bersama sambil menunjukkan arahnya, bukan
pemimpin yang 'hanya' punya kuasa untuk melakukan segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar