Senin, 16 Juni 2014

Presiden Bukan Superman



"Sudah bukan waktunya lagi untuk superman, sekarang waktunya untuk super-team"

Film action superhero yang tahun ini akan segera release di layar lebar kebanyakan bukan lagi sosok superhero yang bekerja seorang diri. Sebut Teenage Mutant Ninja Turtles, X-Men, Transformers, dan 300. Semuanya adalah pembela kebenaran yang bertarung melawan kejahatan dengan kerja tim. Belum lagi ada tokoh seperti The Incredible, The Avengers dan Power Ranger yang tidak pernah mati. Kerja tim terbukti bisa saling mendukung satu sama lain. Bandingkan dengan Superman yang kerja sendiri. Sepotong kryptonite kecil bisa Superman jadi lemah. Jika mau melawan Spiderman, seranglah Mary Jane, Peter Parker lemah hatinya.
 
Buatku mirip juga dengan pemilu kali ini. Ambil Capresnya, anggap keduanya sama-sama sangat baik dan sangat bersih, (anggap) mereka selevel. Capres satu adalah orang gagah yang punya cita-cita besar membawa Negara ini ke masa depan yang lebih baik. Pemimpin visioner yang dipercaya oleh pendukungnya akan menjadi sosok ksatria yang mengangkat harkat dan martabat bangsa. Capres dua adalah orang yang sederhana, terbata saat harus berpidato tetapi sudah menunjukkan niatnya bekerja mulai dari hal terkecil untuk mencapai cita-cita yang tidak kalah besarnya, membuat bangsa bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Berusaha memperbaiki sistem dan membawa harapan bagi anak muda.

(Anggap) keduanya seri secara penilaian personal tokoh. Lalu siapa yang bisa dibandingkan? Ya Tim-nya, orang-orang di belakang yang jadi pendukung capres masing-masing. Bandingkan rekam jejak dan prestasi orang-orang di belakang para capres. Negeri ini tidak dijalankan oleh satu orang saja, tapi sebuah sistem lah yang menggerakkan kehidupan Negara. Saya hanya mau bilang kalau sebenarnya tidak lagi relevan membandingkan capres satu dan capres dua, atau membandingkan cawapres dua dengan cawapres satu.

Waktu pertama kali pemilu mulai diperbincangkan dan isu bahwa Jokowi akan diangkat menjadi capres atau cawapres oleh beberapa partai politik saya sebenarnya berharap dan bersikeras kalau jokowi belum waktunya untuk naik. Menurut saya, jika Jokowi bisa membuktikan prestasinya dengan membawa perubahan bagi Jakarta, dia tidak akan bisa dilawan di pemilu periode berikutnya. Saya percaya kalau Jokowi adalah orang baik dan bisa menjadi pemimpin yang baik, tetapi perjalanan karirnya yang (terkesan) melompat-lompat bisa jadi senjata makan tuan.

Saya juga masih berharap konvensi Partai Demokrat bisa mengajukan satu calon, pemimpin muda baru dari kalangan tua yang itu-itu saja di Indonesia. Akan tetapi ternyata perolehan suara di pileg membuat pemenang konvensi Demokrat tidak bisa ‘menikmati’ kemenangannya untuk menjadi presiden. Jatuh sudah harapan saya.

Sekarang pilihannya tinggal dua tokoh, Jokowi atau Prabowo, dengan masing-masing koalisinya. Kembali, anggaplah dua tokoh itu sama kuat. Lalu saya mulai melihat siapa orang yang di belakang mereka. Ada masing-masing satu tokoh di tiap koalisi yang membuat saya menjadi sangat yakin untuk memilih salah satu dan tidak memilih yang lainnya.

Bapak Anis Baswedan. Tokoh pendidikan ini adalah salah satu alasan saya menjadi yakin memilih capres yang diusungnya. Program yang dicetuskannya, Indonesia Mengajar sudah dikenal seantero negeri. Mengusahakan pendidikan terbaik bagi anak-anak di tempat-tempat terpencil yang sebetulnya sangat merindukan proses belajar mengajar. Walaupun ia tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, tetapi dengan kemauan dan kemampuannya ia berhasil menggerakkan anak muda berpendidikan untuk mengasingkan diri dan menjadi pengajar muda, menjauh dari fasilitas untuk membantu pendidikan bagi mereka yang sangat membutuhkan, di saat Negara absen dalam memenuhi hak pendidikan warganya. Masuk atau tidaknya Pak Anis Baswedan dalam pemerintahan Jokowi nanti jika terpilih saya tidak terlalu memikirkannya, tetapi kepercayaan saya padanya cukup membuat saya lebih yakin bahwa kubu sini lebih bisa dipercaya. 

Dan barisan lain yang saya anggap bisa dipercaya mendukung Jokowi: Dahlan Iskan, Slank & Slankers, salah satunya.

Di seberang ada Pak Abu Rizal Bakrie. Tokoh ini yang membuat saya sangat yakin tidak memilih kubu ini. Janji mendapat jabatan menteri utama dan konsep trisula yang sempat tersebut dalam deklarasi Golkar mendukung Prabowo membuat saya sangat sangsi dengan masa depan bangsa ini. Dia berbicara tentang kesejahteraan rakyat Indonesia, tetapi ia masih melupakan orang-orang yang rumahnya jadi korban malpraktek perusahaannya, Lapindo. Kasusnya masih belum bisa diterima penyelesaiannya hingga sekarang. Orang-orang yang rumahnya terendam lumpur itu masih belum mendapat ganti rugi yang selayaknya untuk mereka dan keluarganya. Saya membayangkan, jika saja benar Prabowo naik ke tampuk kuasa dan konsep trisulanya terlaksana, apalagi yang bisa dilakukan oleh seorang ARB? Kalau belum ada di atas saja ia sudah bisa menenggelamkan rumah ribuan orang dan tetap dengan tersenyum lebar memeluk boneka beruang sambil plesir ke tempat yang sangat indah. Menganggap masalahnya selesai padahal belum.

Lalu barisan yang mendukung kubu ini pun tidak punya rekam jejak yang baik dalam pandangan saya, terutama FPI. Kelompok mengorbankan sosok Tuhan sebagai alasan melakukan kekerasan.

Saya tidak sedang berusaha membandingkan semuanya satu-persatu. Dua orang di atas sudah sangat menggambarkan pandangan saya terhadap masing-masing kubu.

Betul. Saya setuju bahwa tidak ada yang seratus persen baik. Kalau di kedua belah pihak ada tokoh yang dianggap pernah melanggar HAM, kesampingkan dulu. Urusan HAM jadi sama lemah di kedua pihak. Tapi paling tidak di salah satu kubu tidak ada tokoh yang anaknya pernah kena hukum pidana dan tidak pernah diketahui kabar selanjutnya, tidak ada ada yang usahanya menenggelamkan rumah ribuan orang, tidak ada yang dipanggil oleh KPK karena mengambil jatah orang lain yang ingin pergi ke tanah sucinya. Tidak ada dukungan dari kelompok salah tempat yang tidak paham arti Bhinneka Tunggal Ika. 

Presiden bukan superman, dia bukan satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas Negara ini. Presiden dipilih untuk menjadi motor gerakan bagi Negara ini. Siapapun yang terpilih nanti seharusnya adalah sosok yang bisa dengan konsisten bergerak menjadi motor untuk menggerakkan setiap subsistem dalam Negara ini.

Kalau harus memilih di antara dua mesin untuk saya gunakan, saya pasti akan memilih salah satu yang kerusakannya paling sedikit. Siapa yang tidak setuju?

Saya tidak terlalu percaya kerja 1 presiden dan pasangannya saja. Presiden toh bukan superman yang bisa mengubah seluruh negeri sebesar ini hanya dengan amanah selama 5-10 tahun. Saya pribadi lebih percaya dengan kerja tim daripada kerja sendiri. Ber-2 lebih baik daripada 1orang diri kan?

1 komentar:

  1. akhirnya dijadikan tulisan blog juga, bung. jgn berhenti menulis yes!

    BalasHapus