Sore
ini, Jokowi diwawancara oleh seorang reporter Metro TV. Wawancara santai ini
membahas tentang kegiatan-kegiatan Jokowi selama kampanye.
Salah
satu dari bahasan wawancara ini menyangkut klarifikasi isu tentang orang tua
Jokowi yang diberitakan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Isu kedekatan
seseorang dengan PKI ternyata masih jadi isu sensitif bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Buktinya, “tuduhan” seseorang punya kedekatan dengan PKI
jadi hal yang sangat perlu diklarifikasi, pun PKI jadi bahan untuk seseorang
menuduh jahat pihak yang lain. Ternyata internalisasi kebencian terhadap PKI
selama rezim Orde Baru masih tertanam hingga sekarang, selang 16 tahun (katanya)
reformasi lahir.
Menurut saya ada dua masalah di sini. Pertama,
kebanyakan orang masih ‘hanya’ punya pengetahuan tentang PKI dan G30S lewat
referensi yang dibuat saat Orde Baru. Salah satu media yang paling kuat
pengaruh propagandanya adalah film karya Arifin C. Noer, “Pengkhianatan
G30S/PKI”. Hasil survey menunjukkan bahwa propaganda yang dilakukan oleh Orde
Baru dengan menggunakan film “Pengkhianatan G30S/PKI” dapat bertahan bahkan
hingga masa rezim itu habis. Komunisme masih dianggap sebagai bahaya yang
sewaktu-waktu bisa muncul lagi dan membahayakan kehidupan Indonesia.
“Setahun
setelah ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ beredar, majalah Tempo pada 1985 mengadakan
survei. Kepada 900 responden di Jawa dan Sumatera, ditanyakan apa ancaman
paling berbahaya terhadap Indonesia. Jawaban terbesar adalah bahaya bangkitnya
kembali komunisme (33,65 persen), jauh melampaui korupsi yang dianggap bahaya
kedua (18,42 persen). Pada awal abad ini, harian Kompas mengadakan jajak
pendapat serupa pada 2002 serta 2003, dan hasilnya mirip temuan Tempo” (Kurniawan et
al. 2013. Halaman 161)
Kedua,
hal yang membuat saya sedih sebenarnya adalah pemilihan kalimat yang diucapkan
oleh Jokowi untuk mengklarifikasi isu keterlibatan orang tuanya. Dalam
wawancara tadi, Jokowi mengatakan, “PKI bagaimana? Wong bapak saya tu Haji, ibu saya Hajah.” Buat saya, kalimat ini
menunjukkan kekurangpahaman seorang Jokowi juga terhadap isu PKI dan G30S di
Indonesia.
Kalimat
itu menurut saya lagi menunjukkan bahwa pemahaman PKI adalah Atheis dan tidak
bertuhan, lalu darahnya menjadi halal masih jadi referensi utama sebagian besar
orang di Indonesia. Padahal waktu itu banyak juga orang yang beragama jadi
anggota PKI, lagipula komunisme tidak pernah mengatakan tentang atheisme. Bahwa
komunisme tidak menyarankan seseorang untuk beragama bisa jadi benar, karena
agama jadi candu untuk beberapa orang.
Ada 500.000 hingga 1.000.000 jiwa melayang dalam kurun
waktu hanya beberapa bulan saja di Indonesia. Tanpa pengadilan, tanpa tuduhan
yang jelas. Kasus ini adalah salah satu kasus pembunuhan massal terbesar di
abad 20, menurut John Roosa. Orang-orang ini dibunuh oleh sesama warga
Indonesia dengan cara-cara yang bisa dibilang tidak berperikemanusiaan. PKI di
masa pasca tragedi G30S adalah korban dari kekerasan Hak Asasi Manusia.
…
Negara Jerman pernah punya pengalaman yang cukup
senada dengan Indonesia. Jerman pernah mengalami masa di mana Nazi melakukan
‘bersih lingkungan’ dari orang-orang Yahudi. Jutaan ras Yahudi disiksa dan
dibunuh. Saat ini mereka punya posisi yang lebih baik menurut saya. Pemerintah
Jerman sudah meminta maaf kepada seluruh keluarga dan semua orang yang pernah
menjadi korban selama Nazi berkuasa. Walaupun masa lalu tidak akan pernah dapat
ditarik kembali, tetapi para korban paling tidak sudah mendapat pengakuan dan
penghormatan yang seharusnya mereka dapatkan.
Nazi sebagai pelaku, dan Yahudi jadi korban. Militer
diktatorial sudah dibuang jauh oleh mayoritas warga Jerman. Hal ini sudah
menjadi hal yang traumatik bagi warga Jerman. Makanya saya heran dengan
beberapa pemikiran di Indonesia yang masih percaya bahwa Negara ini butuh
pemimpin militeristik. Ah, mereka pasti belum pernah berada di sisi korban.
Baru-baru ini, Ahmad Dhani dikecam oleh media Jerman
karena membawa simbol-simbol Nazi untuk mengusung salah satu pasangan capres.
Kalau tegas, militer, kuat dan wibawa salah satu capres dicitrakan melalui
simbol-simbol Nazi, harusnya kita wajib untuk khawatir. Jangan-jangan memang
fasisme militer yang akan diusung paling tidak 5 tahun ke depan. Satu hal yang
saya yakini tentang fasisme, sejalan dengan salah satu grup rap Indonesia,
Homicide. Saya yakin bahwa fasis yang baik adalah fasis yang mati!
…
Hal ini menjadi lebih serius buat saya karena isu ini
muncul di masa pertarungan politik. Satu pihak melemparkan isu PKI sebagai
senjata untuk memfitnah, yang ternyata tidak terbukti benar. Pihak yang lain
ternyata punya pandangan yang tidak sesuai dengan harapan saya. Dua dua pihak tidak
ada yang lebih benar. Pihak yang satu membuat fitnah jelas salah, dan cara
menanggapi fitnah dari pihak kedua pun kurang tepat. Terlepas dari siapa pun
yang akan jadi presiden di periode selanjutnya, isu Hak Asasi Manusia harus
jadi isu sangat penting dan sesegera mungkin diselesaikan apapun hasilnya.