Senin, 12 Mei 2014

Tidak Semudah Seperti Seharusnya

Karena kita tidak bisa selalu hidup dalam kungkungan “seharusnya” karena selalu ada “senyatanya”.

Menjelang empat tahun aku menuntut ilmu di kampus, dan tiga tahun mengenal sedikit tentang sosiologi, baru sekarang kalimat ini terlintas dalam pikiranku. Das sollen und das sein. Padahal itu inti dari selama ini aku belajar. Bahwa harapan dan kenyataan selalu akan membuat selisih di antara. Jarak ini yang dinamakan utopia, spasi di mana kamu akan sadar tidak semua hal yang kamu anggap seharusnya bisa menjadi senyatanya dalam hidupmu.

Aku harusnya mengerti semua hal ini. Waktunya sudah cukup di kelas untuk memahami semua materi yang menjelaskan tentang jarak di antara keduanya. Akan tetapi memang ternyata ilmu itu tidak pernah cukup sebatas pertemuan di kelas dan materi di buku pedoman. Bahwa waktu dan pengalaman yang perlahan akan memberimu ujian untuk kamu dipaksa mengerti. Waktu dan pengalaman adalah sistem pendidikan paling bijak, bukan sistem yang diakhiri dengan Ujian Nasional. Mereka tidak pernah memberimu penilaian, sehingga kamu dengan bebas mengeksplorasi ilmumu sendiri. Mereka selalu bisa memaksamu belajar dengan sendirinya, bahkan tanpa membuatmu merasa terpaksa belajar. Mereka tidak memberikanmu penghargaan, tapi kamu akan tahu bahwa kamu berharga ketika selalu bisa memaknainya. Setiap orang punya standar kompetensinya sendiri, karena memang setiap orang adalah pribadi yang merdeka.

Aku sering masih terjebak dalam pemikiranku sendiri. Aku masih mengungkung diriku dalam belenggu “seharusnya”. Aku masih suka memaksakan diri dengan apa yang seharusnya aku lakukan, atau apa yang orang lain mau dari apa yang seharusnya aku harapkan. Aku sering lupa melihat juga “senyatanya” yang aku inginkan. Aku sering lupa juga apa yang “senyatanya” bisa terjadi. Parahnya, aku sering lupa dengan utopia yang dimiliki oleh masing-masing orang, tiap orang kan juga punya masalah dan utopianya sendiri yang kadang ingin aku campuri.

“Seharusnya” yang aku mau, selalu bertabrakan dengan “senyatanya” yang ada di sekelilingku. Kenyataannya, aku tidak selalu bisa bertahan dengan hanya berpikir tentang yang seharusnya aku dapatkan. Bukan untuk mengecilkan harapan dan memaklumi apa yang tidak aku dapatkan, tetapi lebih kepada untuk berusaha memahami bahwa hidup tidak semudah seperti seharusnya.

*masih dalam rangkaian pertanyaan "Wie sollten wir sein?". (Apa yang seharusnya kita capai?) 
13/5/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar