Hari ini ulang
tahunku, sudah duapuluhdua ternyata.
Aku tumbuh dalam
keluarga yang tidak punya tradisi untuk merayakan hari ulang tahun. “Ulang
tahun bukan prestasi, nggak perlu dirayakan berlebihan,” aku ingat betul Bapak
pernah berkata seperti itu di hari ulang tahunnya entah ke berapa, aku tidak
terlalu ingat. Tetap dengan nada khas Bapak yang santai tapi tajam, mungkin tangannya
masih menjepit sepuntung rokok dan mengenakan singlet kebesarannya menikmati
hari luangnya. Jarang ada kado, jarang ada kue tart,
Dalam keluarga,
kami merayakan ulang tahun dengan sangat sederhana. Nasi kuning, abon, kering tempe,
telur dadar suwir dan bergedel serta ayam goreng kuning buatan Ibu yang paling
kerap ada di atas meja makan ketika ada salah satu anggota keluarga yang
berulang tahun. Itu pun aku sudah tidak terlalu ingat kapan terakhir kami
berlima duduk bersama di meja makan, berdoa bersama lalu menyantap lahap nasi
kuning dari koki rumah favorit kami sekeluarga.
Kata-kata itu
kemudian tetap tertanam di dalam pemikiranku. Terlalu kuat mungkin, sehingga
kadang aku tidak terlalu peduli dengan hari ulang tahunku atau orang-orang di
sekitarku. Itu salahnya. Mengucapkan ulang tahun jadi bentuk kepedulian
seharusnya. Aku jadi tahu kalau banyak orang yang peduli. Dan bahagia rasanya
dipedulikan. Tapi permasalahannya aku tidak terlalu suka dengan kepedulian
lewat media social. Ah aku mulai berpikir terlalu banyak.
Ulang tahun
bukan prestasi makanya tidak perlu dirayakan, tapi keluargaku bahkan ketika berprestasi
pun, jarang kami merayakannya. Aku pulang ke rumah dengan membawa piala juara
kelas, atau medali emas Kejuaraan Daerah Tae Kwon Do pun pelukan dan ucapan
selamat yang tulus sudah jadi hadiah terindah buatku. Rasanya prestasi itu jadi
kewajiban buatku karena sudah dipedulikan sedemikian hebat oleh orang-orang di
sekitarku. Aku sadar bahwa prestasiku bukan hanya untukku. Prestasi itu jadi
kebanggaan orang-orang terdekatku. Menyadari itu adalah hadiah terindah
untukku.
Tapi bukannya
kami tidak suka bersenang-senang. Kami merayakan sesuatu juga. Kami merayakan
kehidupan. Caranya dengan terus berkarya dan selalu jadi yang terbaik. Celebrating life. Menikmati kehidupan,
berpikir positif dan berusaha menyebarkan energi baik di lingkungan kami.
…
Bicara tentang
duapuluhdua tahun yang lalu, menurutku, Ibu yang paling layak diberi ucapan
selamat. Ibu yang meregang nyawanya untuk memberiku pelajaran baru. Ibu yang menahan
sakit yang tidak pernah bisa aku bayangkan rasanya untuk kemudian merawatku
sampai sekarang ini. Ibu yang terus tegar mengusahakan aku tetap bisa sekolah
setelah Bapak dipanggil Tuhan. Sampai saat ini, aku masih merasa ini semua
prestasinya
…
“26 Maret 1992, kulahir di bumi dengan
tangisku yang pertama. Ia karuniakan nafasku penuh cinta, tuk mempersembahkan
warna baru ke dunia. Ia sambutku mesra lewat keluarga. Bapak Ibu yang hebat dan
dua kakakku juga. Tangan-tangan mereka yang bantuku terus berkarya bergaya dan berjaya
dengan penuh rasa bangga.”
lirik lagu
ciptaan kakakku yang pertama ini yang selalu mengingatkanku bahwa dalam setiap
tindakanku, kesuksesanku selalu ada mereka, George Prasetya, Ami Kunhidayati,
Kristoforus Aryo Bagaskoro, Reno Dwi Hapsari. Dua tahun belakangan ini selalu
ada Acintya Indracara, dan mulai setahun yang lalu ada Tantra Anargya dan Tara
Pradnyaparamita. Tidak lupa juga ada Yudhistira Setya Utama dan Diana Mandasari.
Terimakasih ya sudah selalu ada selama ini :*
*terimakasih
atas semua dukungan, kepedulian, ucapan, doa, harapan dan pisuhan di hari ini. Semoga
semua itu jadi semangatku dalam berkarya bagi kemuliaan Tuhan yang semakin
besar.
adalah baik jika setiap hari seseorang memestakan kerayaan yang dirasakannya, apapun itu.
BalasHapus