Selasa, 25 Maret 2014

Ulang Tahun


Hari ini ulang tahunku, sudah duapuluhdua ternyata.

Aku tumbuh dalam keluarga yang tidak punya tradisi untuk merayakan hari ulang tahun. “Ulang tahun bukan prestasi, nggak perlu dirayakan berlebihan,” aku ingat betul Bapak pernah berkata seperti itu di hari ulang tahunnya entah ke berapa, aku tidak terlalu ingat. Tetap dengan nada khas Bapak yang santai tapi tajam, mungkin tangannya masih menjepit sepuntung rokok dan mengenakan singlet kebesarannya menikmati hari luangnya. Jarang ada kado, jarang ada kue tart,

Dalam keluarga, kami merayakan ulang tahun dengan sangat sederhana. Nasi kuning, abon, kering tempe, telur dadar suwir dan bergedel serta ayam goreng kuning buatan Ibu yang paling kerap ada di atas meja makan ketika ada salah satu anggota keluarga yang berulang tahun. Itu pun aku sudah tidak terlalu ingat kapan terakhir kami berlima duduk bersama di meja makan, berdoa bersama lalu menyantap lahap nasi kuning dari koki rumah favorit kami sekeluarga.  

Kata-kata itu kemudian tetap tertanam di dalam pemikiranku. Terlalu kuat mungkin, sehingga kadang aku tidak terlalu peduli dengan hari ulang tahunku atau orang-orang di sekitarku. Itu salahnya. Mengucapkan ulang tahun jadi bentuk kepedulian seharusnya. Aku jadi tahu kalau banyak orang yang peduli. Dan bahagia rasanya dipedulikan. Tapi permasalahannya aku tidak terlalu suka dengan kepedulian lewat media social. Ah aku mulai berpikir terlalu banyak.

Ulang tahun bukan prestasi makanya tidak perlu dirayakan, tapi keluargaku bahkan ketika berprestasi pun, jarang kami merayakannya. Aku pulang ke rumah dengan membawa piala juara kelas, atau medali emas Kejuaraan Daerah Tae Kwon Do pun pelukan dan ucapan selamat yang tulus sudah jadi hadiah terindah buatku. Rasanya prestasi itu jadi kewajiban buatku karena sudah dipedulikan sedemikian hebat oleh orang-orang di sekitarku. Aku sadar bahwa prestasiku bukan hanya untukku. Prestasi itu jadi kebanggaan orang-orang terdekatku. Menyadari itu adalah hadiah terindah untukku.

Tapi bukannya kami tidak suka bersenang-senang. Kami merayakan sesuatu juga. Kami merayakan kehidupan. Caranya dengan terus berkarya dan selalu jadi yang terbaik. Celebrating life. Menikmati kehidupan, berpikir positif dan berusaha menyebarkan energi baik di lingkungan kami.
Bicara tentang duapuluhdua tahun yang lalu, menurutku, Ibu yang paling layak diberi ucapan selamat. Ibu yang meregang nyawanya untuk memberiku pelajaran baru. Ibu yang menahan sakit yang tidak pernah bisa aku bayangkan rasanya untuk kemudian merawatku sampai sekarang ini. Ibu yang terus tegar mengusahakan aku tetap bisa sekolah setelah Bapak dipanggil Tuhan. Sampai saat ini, aku masih merasa ini semua prestasinya
“26 Maret 1992, kulahir di bumi dengan tangisku yang pertama. Ia karuniakan nafasku penuh cinta, tuk mempersembahkan warna baru ke dunia. Ia sambutku mesra lewat keluarga. Bapak Ibu yang hebat dan dua kakakku juga. Tangan-tangan mereka yang bantuku terus berkarya bergaya dan berjaya dengan penuh rasa bangga.”

lirik lagu ciptaan kakakku yang pertama ini yang selalu mengingatkanku bahwa dalam setiap tindakanku, kesuksesanku selalu ada mereka, George Prasetya, Ami Kunhidayati, Kristoforus Aryo Bagaskoro, Reno Dwi Hapsari. Dua tahun belakangan ini selalu ada Acintya Indracara, dan mulai setahun yang lalu ada Tantra Anargya dan Tara Pradnyaparamita. Tidak lupa juga ada Yudhistira Setya Utama dan Diana Mandasari. Terimakasih ya sudah selalu ada selama ini :*

*terimakasih atas semua dukungan, kepedulian, ucapan, doa, harapan dan pisuhan di hari ini. Semoga semua itu jadi semangatku dalam berkarya bagi kemuliaan Tuhan yang semakin besar.

1 komentar:

  1. adalah baik jika setiap hari seseorang memestakan kerayaan yang dirasakannya, apapun itu.

    BalasHapus