Ujian Nasional 2013. Sudah tiga tahun yang lalu, saya berhasil lolos dari hadangan kelulusan. Memori tentang usaha dan tekanan yang saya lalui masih menjadi hal yang tidak bisa terlupakan. Eudamonia, mengetahui kelulusan dengan berjalan kaki beberapa kilometer dari sekolah menuju Tugu Jogja hanya untuk menyanyi Indonesia Raya dan Mars De Britto juga terus lekat dalam ingatan saya.
Bicara tentang UN, di luar "kegagalan" distribusi soal tepat pada waktunya ke 11 Provinsi, menurutku tidak pernah berubah. Bahwa UN tidak pernah bisa mengukur apapun. Dan kalau benar memang UN sebagai ukuran standar pendidikan negara ini, berarti pendidikan di sini betul sangat dangkal.
Saya
mengerjakan 6 mata pelajaran yg diujiankan pada tahun 2010. Nilai yg
saya dapat cukup bagus saat itu. Dua nilai 9, dua nilai 8, satu nilai 7,
dan satu nilai nyaris 6. Tetapi setelah 3 tahun berselang, hanya
soal-soal bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris saja yang masih bisa saya
kerjakan. Sisanya? Saya sudah kesulitan untuk mengerjakannya. Saya
yakin, kebanyakan dari kamu juga mengalami hal yang sama. Lalu apa guna
nilai cukup baik tadi buat saya? Selain hanya untuk dibanggakan pada
teman lain yang mendapat nilai tidak lebih baik? Bahkan untuk masuk PTN
pun saya melalui tes tertulis yang terpisah.
Kalau dibilang
pendidikan itu harus berkesinambungan, berarti UN tidak menjadi sistem dalam pendidikan yang tepat. Karena pelajaran yang
saya terima di SMA menjadi sebatas pengukur nilai yang selesai
manfaatnya ketika sudah menerima ijazah SMA. Angka 10 dan 5 menjadi
tidak timpang lagi setelah ijazah itu masuk ke map plastik untuk
dimasukkan ke dalam lemari penyimpanan berkas di rumah.
Mirisnya,
proses pencapaian nilai bagi semua peserta UN malah menjadi kontradiksi
bagi pendidikan itu sendiri. Segala cara diusahakan untuk dapat nilai
NEM terbaik, atau peringkat sekolah yang lebih baik. Membeli jawaban,
dan bentuk kecurangan semacamnya menjadi hal yang sepertinya sudah bisa
ditoleransi.
Kemudian juntrungannya adalah mentalitas yang bangga
akan ketidakjujuran. Kenangan curang saat menghadapi UN menjadi hal
yang normal bahkan tampak menjadi memori yang dapat dibanggakan. Tidak
heran kalau sekarang kita sering melihat orang yang ditangkap karena
kasus korupsi tetap dengan bangga melambaikan tangan ke kamera para
pencari berita. Bangga? Atau karena kebiasaan orang Indonesia yang murah
senyum? Tetapi rasanya (semoga) warga negeri ini masih punya rasa malu.
Saya
jadi salah satu orang yang merasa berhak bangga bisa mengerjakan UN
dengan kemampuan sendiri. Sanksi sosial yang akan diterima dari
teman-teman di sekolah saya rasanya menjadi momok yang lebih menakutkan
dari pada tidak lulus. Tetapi sebanyak apa lingkungan seperti itu bisa
terbentuk di negara seluas ini?
Rasa-rasanya bekal dari SMA
adalah mengenai pelajaran tentang hidup. Tentang bersosialisasi, menemui
tantangan, memecahkan permasalahan, memupuk sikap empati pada
lingkungan. Hanya sedikit saja sisa mata pelajaran yang saya ingat
sampai saat ini. Rata-rata nyaris 8 di ijazah saya tadi, sekali lagi
hanya berhenti pada sebatas bukti lulus Sekolah Menengah Atas.
Sudah banyak siswa yang mengeluh, guru yang menolak, orang tua yang menentang, tetapi nyatanya sistem seperti ini tidak pernah berubah. Nyatanya keluhan, tolakan, dan tentangan tersebut tidak pernah bisa menggoyahkan kekerasan hati para pembuat keputusan. Lalu alasan apa yang sangat kuat sehingga mereka tetap pada pendiriannya terus mengadakan UN walaupun program ini menghabiskan dana yang tidak sedikit hanya untuk mencetak soal-soalnya?
Tapi
sekali lagi, hanya komentar dan berbagi pemikiran saja yang bisa saya
lakukan saat ini. Jadi buat apa ada Ujian Nasional? Saya memilih untuk berusaha berpendapat bahwa mungkin untuk eksplorasi, dan mencari ramuan yang cocok untuk pendidikan negeri ini. Daripada menghakimi UN sebagai kekolotan penguasa, dan proyek sampingan
kejar setoran (?) Eksplorasi aja terus, Pak!
Selasa, 16 April 2013
Sabtu, 13 April 2013
Itulah Gunanya (Menjadi) Teman
Pernah kamu dihubungi temanmu ketika ia membutuhkan bantuan? Pernah kamu dicari temanmu hanya ketika ia membutuhkan bantuan? Pernah kamu mencari temanmu hanya ketika kamu butuh bantuan?
Saya sering tidak mengerti dengan keluhan dari orang-orang yang saya kenal lewat media sosialnya. Mereka mengeluh tentang ketidaksukaannya ketika dihubungi saat dibutuhkan bantuannya oleh orang lain. Datang menemui teman di saat butuh bantuan saja, apakah itu sebuah kesalahan?
Menurutku, tidak ada yang salah dengan mencari bantuan pada teman-temanmu. Begitu juga sebaliknya. Siapa pun dia, di mana pun dia, ketika kamu membutuhkan bantuan dan temanmu sanggup membantu apa yang salah? Begitu juga sebaliknya.
Saya, sebagai teman, merasa kalau itulah maknanya menjadi teman. Kalau kata Mocca, "a friend in need is a friend in deed". Saya merasa senang hati ketika ada teman yang minta bantuan secara mendadak dan saya bisa memenuhinya. Pilihannya adalah saya bisa membantu atau tidak, bukan saya tidak mau membantu karena dia hanya datang saat butuh bantuan.
Kalau dibalik, saya merasa punya sangat banyak kenalan, tersebar di banyak tempat juga. Saya tidak bisa dengan intensitas tinggi yang sama berkomunikasi dengan semua teman saya itu. Dan apakah ketika saya tidak bisa menjaga intensitas komunikasi dengan beberapa teman saya kemudian membuat saya tidak berhak meminta bantuan? Lalu dunia saya akan semakin sempit dengan hanya lima sampai delapan teman saja yang setiap harinya bisa jalin komunikasi.
Itulah gunanya teman, diminta bantuan di saat diperlukan. Dan itu juga gunanya menjadi teman, memberi bantuan juga di saat diperlukan. Bantuan apapun itu, mungkin hanya diperlukan sebagai teman berbagi cerita, sampai teman yang membantu angkat lemari saat pindah kos, atau teman belajar soal matematika untuk Ujian Nasional, juga teman "titip nge-print" ya!
Pada akhirnya, setiap orang bisa punya pendapatnya masing-masing. Tapi yang jelas saya adalah orang tipe yang cukup bingung dengan pernyataan "temen kok dateng pas butuhnya aja". Ya karena "that's what friends are for" to? Untuk jadi orang yang siap di saat dibutuhkan (saja).
Saya sering tidak mengerti dengan keluhan dari orang-orang yang saya kenal lewat media sosialnya. Mereka mengeluh tentang ketidaksukaannya ketika dihubungi saat dibutuhkan bantuannya oleh orang lain. Datang menemui teman di saat butuh bantuan saja, apakah itu sebuah kesalahan?
Menurutku, tidak ada yang salah dengan mencari bantuan pada teman-temanmu. Begitu juga sebaliknya. Siapa pun dia, di mana pun dia, ketika kamu membutuhkan bantuan dan temanmu sanggup membantu apa yang salah? Begitu juga sebaliknya.
Saya, sebagai teman, merasa kalau itulah maknanya menjadi teman. Kalau kata Mocca, "a friend in need is a friend in deed". Saya merasa senang hati ketika ada teman yang minta bantuan secara mendadak dan saya bisa memenuhinya. Pilihannya adalah saya bisa membantu atau tidak, bukan saya tidak mau membantu karena dia hanya datang saat butuh bantuan.
Kalau dibalik, saya merasa punya sangat banyak kenalan, tersebar di banyak tempat juga. Saya tidak bisa dengan intensitas tinggi yang sama berkomunikasi dengan semua teman saya itu. Dan apakah ketika saya tidak bisa menjaga intensitas komunikasi dengan beberapa teman saya kemudian membuat saya tidak berhak meminta bantuan? Lalu dunia saya akan semakin sempit dengan hanya lima sampai delapan teman saja yang setiap harinya bisa jalin komunikasi.
Itulah gunanya teman, diminta bantuan di saat diperlukan. Dan itu juga gunanya menjadi teman, memberi bantuan juga di saat diperlukan. Bantuan apapun itu, mungkin hanya diperlukan sebagai teman berbagi cerita, sampai teman yang membantu angkat lemari saat pindah kos, atau teman belajar soal matematika untuk Ujian Nasional, juga teman "titip nge-print" ya!
Pada akhirnya, setiap orang bisa punya pendapatnya masing-masing. Tapi yang jelas saya adalah orang tipe yang cukup bingung dengan pernyataan "temen kok dateng pas butuhnya aja". Ya karena "that's what friends are for" to? Untuk jadi orang yang siap di saat dibutuhkan (saja).
Pelajaran Tentang Belajar
Menyaksikan pagelaran wayang memang sudah bukan menjadi hal yang populer bagi anak muda di tahun 2013 ini. Bahkan kesannya sangat ketinggalan zaman dan usang. Datang ke pagelaran wayang kulit dan memang saya menemukan kalau sebagian besar penontonnya adalah bapak-bapak, sedikit ibu-ibu yang membawa anaknya usia SD, dan lebih sedikit lagi anak muda.
Keterbatasan pengertian bahasa untuk mengerti alur cerita membuat saya menikmati pagelaran wayang kulit dengan bertukar cerita dengan teman-teman diiringi alunan satu set lengkap gamelan Jawa.
Kira-kira ini isi pembicaraan kami :
Dimulai dengan mencari alasan mengapa wayang kulit sudah semakin tidak diminati oleh orang seusia kami yang lahir sekitar awal tahun 90an. Menurut kami, pertama-tama, adalah kesulitan bahasa. Dalam pertunjukan wayang kulit yang tradisional, sesuai pakem, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kuno yang masih tercampur dengan Sansekerta. Bahasa tersebut bisa terdengar sangat asing bagi telinga orang-orang "modern" saat ini. Nyatanya sudah ada pagelaran wayang kulit yang menggunakan Bahasa Jawa yang biasa digunakan sehari-hari, tetapi penikmat pertunjukannya tetap bukan anak muda.
Minat mungkin bisa menjelaskan. Kurangnya minat anak muda mengenal wayang membuat hal itu menjadi tidak lagi menarik untuk dipelajari. Nyatanya, saya sangat berminat dengan wayang tetapi baru sekali ini "sempat" datang menyaksikan langsung. Sampai kami pada pemikiran kalau bisa jadi kegiatan belajar di kuliah adalah salah satu yang jadi penghambat minat anak muda pada wayang.
Wayang selalu digelar pada waktu malam hari. Tujuannya, pada zaman dulu adalah untuk mengisi waktu luang orang-orang. Tetapi apakah waktu luang itu benar-benar nyata untuk mahasiswa saat ini? Banyak dari teman saya dan mungkin saya sendiri sering menghabiskan malam dengan tugas. Tugas untuk mendapat sekadar nilai A, B, C atau sialnya D. Tentu pendapat ini di luar dari kalahnya pamor wayang sebagai pengisi waktu luang dibanding game online, mall dan cafe yang sudah menjadi stadar gaul anak muda sekarang.
Tetapi memang, bagi saya, tugas-tugas dan tuntutan dari sistem edukasi yang ada sekarang menjadi semakin membatasi, minat anak muda mengeksplorasi hal selain buku materi panduan belajarnya.
Padahal dalam cerita wayang selalu ada pembelajaran yang sangat baik tentang kehidupan. Setiap tokoh dalam cerita wayang selalu punya kelebihan dan kekurangan. Tokoh-tokohnya adalah gambaran nyata tentang manusia dan dengan tafsir tertentu menjelaskan hubungannya dengan Tuhan. Tidak pernah ada sosok sempurna dalam pewayangan. Arjuna misalnya, ia adalah sosok ksatria yang sangat kuat, tampan, dan menjadi salah satu tokoh Pandawa yang paling sakti. Tetapi ia juga seorang playboy. Nafsunya terhadap perempuan sangat besar. Rahwana, raksasa yang lahir dan menjadi gambaran tentang segala nafsu duniawi yang bisa dimiliki manusia. Tetapi ia adalah sosok yang sangat bisa menghargai Dewi Sinta. Rahwana tidak pernah menyentuh Dewi Sinta tanpa izin darinya, ia melawan segala nafsunya untuk berusaha mendapatkan hati sang Dewi.
Buat saya, kadang cerita wayang bisa mengajarkan lebih banyak daripada ajaran agama. Cerita wayang adalah cerita yang butuh penafsiran ulang untuk dapat memahami pesannya. Kelebihannya dari ajaran agama adalah tidak ada pihak yang terlegitimasi untuk 'memaksakan' tafsir tentang cerita wayang. Saya bisa saja menyatakan kalau para dewa berlaku curang dengan menggagalkan Sastra Jendra Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi sehingga lahirlah Rahwana dan adik-adik jahatnya. Tetapi menjadi sulit bagi saya jika saya menyatakan kalau Tuhan pun bisa tidak sempurna.
Seharusnya dengan wayang, manusia bisa belajar banyak hal. Saya mendapat pelajaran dengan bebas membuat tafsir tentang pesan moral dari cerita pewayangan dengan tidak ada seorang pun yang berhak menyatakan kalau tafsir saya salah. Masalah tafsir bisa jadi sangat sensitif bagi ajaran agama. Perbedaan tafsir atas satu atau beberapa ayat bisa menjadi alasan yang dibenarkan untuk mencabut nyawa seseorang. Perbedaan tafsir bisa jadi pemecah perang bagi beberapa negara tanpa pernah diketahui penyelesaiannya.
Tidak sesederhana ini perbincangan 6 jam tadi malam. Tapi pada akhir malam menjelang pagi itu saya mendapat banyak hal baru. Pelajaran tentang belajar, belajar bukan hanya sekadar kuliah menyiapkan masa depan, belajar dengan melihat ke masa lalu menghargai karya kebudayaan, dan belajar tentang kehidupan.
Keterbatasan pengertian bahasa untuk mengerti alur cerita membuat saya menikmati pagelaran wayang kulit dengan bertukar cerita dengan teman-teman diiringi alunan satu set lengkap gamelan Jawa.
Kira-kira ini isi pembicaraan kami :
Dimulai dengan mencari alasan mengapa wayang kulit sudah semakin tidak diminati oleh orang seusia kami yang lahir sekitar awal tahun 90an. Menurut kami, pertama-tama, adalah kesulitan bahasa. Dalam pertunjukan wayang kulit yang tradisional, sesuai pakem, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kuno yang masih tercampur dengan Sansekerta. Bahasa tersebut bisa terdengar sangat asing bagi telinga orang-orang "modern" saat ini. Nyatanya sudah ada pagelaran wayang kulit yang menggunakan Bahasa Jawa yang biasa digunakan sehari-hari, tetapi penikmat pertunjukannya tetap bukan anak muda.
Minat mungkin bisa menjelaskan. Kurangnya minat anak muda mengenal wayang membuat hal itu menjadi tidak lagi menarik untuk dipelajari. Nyatanya, saya sangat berminat dengan wayang tetapi baru sekali ini "sempat" datang menyaksikan langsung. Sampai kami pada pemikiran kalau bisa jadi kegiatan belajar di kuliah adalah salah satu yang jadi penghambat minat anak muda pada wayang.
Wayang selalu digelar pada waktu malam hari. Tujuannya, pada zaman dulu adalah untuk mengisi waktu luang orang-orang. Tetapi apakah waktu luang itu benar-benar nyata untuk mahasiswa saat ini? Banyak dari teman saya dan mungkin saya sendiri sering menghabiskan malam dengan tugas. Tugas untuk mendapat sekadar nilai A, B, C atau sialnya D. Tentu pendapat ini di luar dari kalahnya pamor wayang sebagai pengisi waktu luang dibanding game online, mall dan cafe yang sudah menjadi stadar gaul anak muda sekarang.
Tetapi memang, bagi saya, tugas-tugas dan tuntutan dari sistem edukasi yang ada sekarang menjadi semakin membatasi, minat anak muda mengeksplorasi hal selain buku materi panduan belajarnya.
Padahal dalam cerita wayang selalu ada pembelajaran yang sangat baik tentang kehidupan. Setiap tokoh dalam cerita wayang selalu punya kelebihan dan kekurangan. Tokoh-tokohnya adalah gambaran nyata tentang manusia dan dengan tafsir tertentu menjelaskan hubungannya dengan Tuhan. Tidak pernah ada sosok sempurna dalam pewayangan. Arjuna misalnya, ia adalah sosok ksatria yang sangat kuat, tampan, dan menjadi salah satu tokoh Pandawa yang paling sakti. Tetapi ia juga seorang playboy. Nafsunya terhadap perempuan sangat besar. Rahwana, raksasa yang lahir dan menjadi gambaran tentang segala nafsu duniawi yang bisa dimiliki manusia. Tetapi ia adalah sosok yang sangat bisa menghargai Dewi Sinta. Rahwana tidak pernah menyentuh Dewi Sinta tanpa izin darinya, ia melawan segala nafsunya untuk berusaha mendapatkan hati sang Dewi.
Buat saya, kadang cerita wayang bisa mengajarkan lebih banyak daripada ajaran agama. Cerita wayang adalah cerita yang butuh penafsiran ulang untuk dapat memahami pesannya. Kelebihannya dari ajaran agama adalah tidak ada pihak yang terlegitimasi untuk 'memaksakan' tafsir tentang cerita wayang. Saya bisa saja menyatakan kalau para dewa berlaku curang dengan menggagalkan Sastra Jendra Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi sehingga lahirlah Rahwana dan adik-adik jahatnya. Tetapi menjadi sulit bagi saya jika saya menyatakan kalau Tuhan pun bisa tidak sempurna.
Seharusnya dengan wayang, manusia bisa belajar banyak hal. Saya mendapat pelajaran dengan bebas membuat tafsir tentang pesan moral dari cerita pewayangan dengan tidak ada seorang pun yang berhak menyatakan kalau tafsir saya salah. Masalah tafsir bisa jadi sangat sensitif bagi ajaran agama. Perbedaan tafsir atas satu atau beberapa ayat bisa menjadi alasan yang dibenarkan untuk mencabut nyawa seseorang. Perbedaan tafsir bisa jadi pemecah perang bagi beberapa negara tanpa pernah diketahui penyelesaiannya.
Tidak sesederhana ini perbincangan 6 jam tadi malam. Tapi pada akhir malam menjelang pagi itu saya mendapat banyak hal baru. Pelajaran tentang belajar, belajar bukan hanya sekadar kuliah menyiapkan masa depan, belajar dengan melihat ke masa lalu menghargai karya kebudayaan, dan belajar tentang kehidupan.
Wayang Kulit
Tadi malam adalah kali pertama saya datang dan menyaksikan langsung pagelaran wayang kulit tradisional. Saya bersama 5 teman yang lain berangkat menuju Pendopo Museum Diponegoro. Ayah dari salah satu sahabat saya adalah seorang dalang, cukup kondang, kata anaknya. Saya jelas tidak mengerti ukuran keterkenalan seorang dalang itu sebatas apa. Hal yang pasti oleh pribadi seumuran saya juga merupakan ukuran yang asing. Paling-paling dalang paling dikenal adalah Ki Manteb dengan "Pancen Oye"-nya.
Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono adalah sang dalang, ayah Richo, teman saya itu. Ia adalah seorang Tionghoa. Bukan bermaksud SARA, hanya saja memang bias etnis itu sudah sangat jelas terlihat sekarang.
Cerita lakonnya berjudul "Sekar Kanyiri Salaga", sebuah lakon yang baru pertama kali itu digelar. Alur ceritanya? Saya sendiri tidak mengerti karena bahasa yang digunakan oleh Ki Radyo Harsono, sebagai dalang tradisional, adalah Bahasa Jawa kuno yang masih tercampur dengan Sansekerta. Tapi bukannya saya tidak bisa menikmati wayangan itu.
Sepanjang pagelaran saya berhasil dibuat sangat takjub. Melihat Ki Dalang yang tidak menghadap teks apapun, dalam pikiran saya bagaimana bisa ia semalam suntuk menceritakan satu lakon lengkap dengan dialog dan penghayatan dan perubahan suara pada tiap dialog tokohnya. Mendapat cerita dari Richo bahwa baru semalam sebelumnya ayahnya diberi bahan untuk memainkan lakon "Sekar Kanyiri Salaga" itu, logika saya tentang latihan untuk menyiapkan pertunjukan langsung rusak. Mendengar dialog antar tokoh sekaligus menyadari ketiadaan teks itu membuat saya berpikir kalau seorang dalang adalah freestyle rapper terhebat. Bukan para kulit hitam yang tinggal di Bronx sana.
Sebagai orang yang mengaku Jawa, saya merasa sedikit malu, kenapa baru sekarang setelah 21 tahun saya datang langsung menyaksikan pagelaran Wayang Kulit seperti ini. Nama saya bahasa Jawa, saya menghabiskan sebagian besar usia saya sekarang di satu-satunya Kerajaan Jawa yang diakui sebagai Provinsi di Indonesia, saya berbicara dengan teman-teman dengan fasih berbahasa Jawa, tetapi baru kali ini datang ke pertunjukan Wayang Kulit. Semacam merasa kurang "gaul".
Dalam waktu 6 jam, banyak sekali perbincangan menarik terjadi antara saya dan teman-teman saya tentang wayang, budaya Jawa, dan anak muda. Dalam waktu 6 jam pula saya merasa mendapat sangat banyak pengatahuan dan masukan baru untuk otak saya ini. Pada akhir malam menjelang pagi itu, saya berjanji pada diri saya sendiri kalau kedatangan untuk wayang kulit ini bukan jadi yang terakhir untuk saya.
Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono adalah sang dalang, ayah Richo, teman saya itu. Ia adalah seorang Tionghoa. Bukan bermaksud SARA, hanya saja memang bias etnis itu sudah sangat jelas terlihat sekarang.
Cerita lakonnya berjudul "Sekar Kanyiri Salaga", sebuah lakon yang baru pertama kali itu digelar. Alur ceritanya? Saya sendiri tidak mengerti karena bahasa yang digunakan oleh Ki Radyo Harsono, sebagai dalang tradisional, adalah Bahasa Jawa kuno yang masih tercampur dengan Sansekerta. Tapi bukannya saya tidak bisa menikmati wayangan itu.
Sepanjang pagelaran saya berhasil dibuat sangat takjub. Melihat Ki Dalang yang tidak menghadap teks apapun, dalam pikiran saya bagaimana bisa ia semalam suntuk menceritakan satu lakon lengkap dengan dialog dan penghayatan dan perubahan suara pada tiap dialog tokohnya. Mendapat cerita dari Richo bahwa baru semalam sebelumnya ayahnya diberi bahan untuk memainkan lakon "Sekar Kanyiri Salaga" itu, logika saya tentang latihan untuk menyiapkan pertunjukan langsung rusak. Mendengar dialog antar tokoh sekaligus menyadari ketiadaan teks itu membuat saya berpikir kalau seorang dalang adalah freestyle rapper terhebat. Bukan para kulit hitam yang tinggal di Bronx sana.
Sebagai orang yang mengaku Jawa, saya merasa sedikit malu, kenapa baru sekarang setelah 21 tahun saya datang langsung menyaksikan pagelaran Wayang Kulit seperti ini. Nama saya bahasa Jawa, saya menghabiskan sebagian besar usia saya sekarang di satu-satunya Kerajaan Jawa yang diakui sebagai Provinsi di Indonesia, saya berbicara dengan teman-teman dengan fasih berbahasa Jawa, tetapi baru kali ini datang ke pertunjukan Wayang Kulit. Semacam merasa kurang "gaul".
Dalam waktu 6 jam, banyak sekali perbincangan menarik terjadi antara saya dan teman-teman saya tentang wayang, budaya Jawa, dan anak muda. Dalam waktu 6 jam pula saya merasa mendapat sangat banyak pengatahuan dan masukan baru untuk otak saya ini. Pada akhir malam menjelang pagi itu, saya berjanji pada diri saya sendiri kalau kedatangan untuk wayang kulit ini bukan jadi yang terakhir untuk saya.
Langganan:
Postingan (Atom)