30 September 1965.
Saat di mana negeri ini mengalami
masa kelam. Masa lalu abu-abu yang hingga sekarang belum pasti warnanya. Bukan
putih bukan hitam. Abu-abu. Bagaimana peristiwanya, siapa pelakunya, mengapa
terjadi? Semuanya masih samar, tidak jelas. Hanya satu yang mungkin bisa
diyakini, semuanya jadi korban. Semuanya merasa kehilangan, semuanya dirugikan,
atau paling tidak, akan ada saatnya mereka merasa rugi.
Mengenang masa lalu. Orang punya
caranya masing-masing. Punya caranya sendiri untuk menghargai masa lalunya, yang harusnya tidak ada
yang boleh, walaupun bisa, mengatur jalan cerita dan sejarah seseorang.
Hari tanggal yang sama, empat puluh delapan tahun
kemudian. Papermoon membawakan kenangan dengan caranya sendiri. “Secangkir Kopi
dari Playa” mengisahkan tentang kisah
nyata, romansa sepasang kekasih yang sempat terganggu
kejadian puluhan tahun silam.
Ini tentang
mencintai. Ini tentang bagaimana seseorang menepati janjinya. Ini tentang
kekuatan kenangan yang bisa membuat seseorang bertahan hidup.
“Secangkir
Kopi dari Playa” sudah pernah dipentaskan sebelumnya pada tahun 2011 di
Yogyakarta. Waktu itu, pentas ini diadakan di sebuah toko barang antik. Di sebuah
ruangan penuh barang yang sarat dengan cerita dan kenangan.
Kali
ini, berbeda. Bukan lagi di toko barang antik seperti sebelumnya. Dilangsungkan
di sebuah rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pertunjukan di Jakarta kali
ini gratis, tapi setiap
orang yang mau menyaksikan
pentasnya harus memulai dulu dengan berbagi. Mereka
harus menukarkan tiket pertunjukan dengan sebuah
barang yang ingin dilupakan, serta alasan mengapa ia ingin melupakan barang
tersebut.
Menurutku,
pementasan “Secangkir Kopi dari Playa” di Jakarta kali ini lebih intim. Suasana dan
koneksi antara penonton, boneka dan pemainnya mulai dibangun bahkan sebelum
pertunjukkan berlangsung. Konsepnya adalah pengumpulan barang untuk pembukaan
museum. “Museum Pahit Manis” namanya.
Museum
ini mengumpulkan barang dari siapapun yang ingin berbagi kenangan, tentang
apapun. Tentang keluarga, tentang refleksi diri, tapi yang akhirnya paling
banyak terkumpul adalah tentang kisah cinta dengan pasangannya. Memang kisah
cinta seperti ini tidak akan pernah ada habisnya Barang-barang yang dikumpulkan itu kemudian
dipajang di luar area pertunjukan, lengkap dengan cerita pahit-manisnya.
“Secangkir Kopi dari Playa” itu seperti menceritakan
lagi sebuah kenangan pahit manis. Rasanya seperti cangkir kenangan penikmatnya
diisi lagi dengan tuangan kenangan lain dengan cara yang indah. Lewat boneka-boneka
yang tampak hidup, punya jiwa, punya rasa.
Proses
pengumpulan benda dan ceritanya itu seperti proses menuang dan mengisi cangkir dan
teko kenangan. Teko kenangan yang terus diisi mungkin akan penuh suatu saat, maka
penontonnya sekarang diminta untuk menuangkan dulu kenangan yang pernah
dialaminya sendiri untuk dinikmati orang lain. Berbagi kenangan
masa lalu, baru kemudian “Secangkir Kopi dari Playa” mengisi lagi hati
penontonnya dengan kenangan tentang kisah romansa pemuda pemudi.
Kenangan
tentang 30 September 1965 di Indonesia, menjadi kenangan pahit bagi siapapun,
terutama untuk negeri ini. Tragedi itu akan selamanya terkenang. Terlepas dari
siapa yang salah dan siapa yang benar, harus disadari bahwa kejadian itu benar pernah
terjadi. Kejadian mengerikan itu benar-benar pernah ada.
Hari
tanggal yang sama, empat puluh delapan tahun kemudian aku mengingatnya dengan
cara yang indah. Dengan cara yang menyenangkan. Dengan cerita cinta, bukan
permusuhan seperti yang biasanya dilakukan. Karena aku pernah mendengar kalau apa
yang kita rasakan saat ini sebagai kebenaran, suatu hari nanti akan kita jumpai sebagai sesuatu yang
indah[1],
seperti yang selalu disampaikan Frans, tour
guide, Museum Pahit Manis.
Secangkir
Kopi dari Playa ini menjadi semacam jalan untukku memaknai kenangan negeri ini
lewat konflik yang pernah terjadi. Bahwa dalam tragedi sebesar itu, dalam kisah
sedih semasif itu masih tersisa berkas-berkas kasih. Walaupun samar. Karena cinta
masih ada.
[1] "What We Have Here Perceived as Truth, We Shall Encounter Some Day as
Beauty” – judul pameran karya FX Harsono tanggal 1-22 Juli di Jogja National
Museum di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar