Kamis, 28 Agustus 2014

Pakaian Kebesaran Sang Raja



Alkisah sebuah negeri di seberang laut, selaksa hasta jaraknya, hiduplah seorang raja tampan rupawan dan berwibawa. Ia dikenal sebagai seorang pribadi yang tegas dan gagah berani. Ia adalah putera mahkota yang luwes berperang, tak heran ia menjadi panglima perang yang pandai berkata menyemangati prajuritnya dan cerdas berstrategi menghadapi semua musuhnya. Tak pernah ia mundur sejengkal pun ketika berhadap-hadapan dengan musuh-musuhnya, bahkan nyawanya dipertaruhkan demi membawa kemenangan dan kejayaan prajurit dan negerinya. Beberapa kali ia hampir terbunuh dalam perang, tapi ia sama sekali tidak pernah gentar.

Saat ini negerinya sudah aman dan tentram, tidak ada lagi perang melawan negeri-negeri yang berselisih. Kedamaian menyelimuti kehidupan negeri itu. Sang raja pun sudah meninggalkan medan berdarah, ia ingin menikmati masa tuanya dengan menjadi raja memerintah negerinya dengan arif dan mengangkat kesejahteraan, berkuasa di atas tanah tumpah darahnya.

Sang raja memiliki satu kesenangan. Ia memiliki tanah yang sangat luas dan dipenuhi oleh kuda-kuda terbaik dari seluruh penjuru negeri. Kuda-kudanya terpandang di antara kerajaan-kerajaan tetangganya sebagai kuda-kuda terkuat dan tercepat. Kuda-kuda gagah yang akan mendukung kepiawaian perwira-perwira pilihan di medan peperangan.

Suatu hari, raja kedatangan tamu kehormatan dari kerajaan tetangga. Tamu itu datang berpesiar ke negeri sang raja. Tamunya adalah seorang pesolek yang sangat suka melihat keindahan. Ia sangat kagum dengan negeri sang raja. Tidak sangat mewah, tapi pohon-pohon hijau merindangi jalan-jalan kota yang ramai orang beraktivitas. Tidak sangat rapi, tapi kesemrawutan itu ternyata yang membuat kealamian negerinya terpancar. Orang-orang yang sangat ramah, walaupun perompak dan pemerkosa tetap saja sulit dicabut habis dari dalam masyarakatnya. Banyak orang berpakaian sangat indah dan tampak mewah, walaupun tetap ada beberapa mereka yang berbaju compang-camping berjalan pincang meminta belas kasihan orang-orang di sekitarnya.

Raja sangat senang dikunjungi oleh si tamu raja beserta rombongannya. Ia ingin menghormati tamunya ini, maka ia membuatkan sebuah pesta perpisahan untuk si tamu raja. Ia menyembelih lembu-lembu terbaik, ia memerintahkan hamba-hambanya memotong ayam-ayam pilihan untuk menyiapkan hindangan-hidangan terlezat untuk tamunya ini. Ia meminta agar anggur-anggur terbaik dikeluarkan dari gudang penyimpanan dan dihidangkan di dalam pesta. Pesta tersebut berlangsung meriah gegap gempita. Musik rakyat dialunkan, para badut melawak menghibur mereka yang datang.
Anggur, daging, dan semua hidangan memabukkan si tamu raja dan hadirin yang lainnya. Dengan merah muka dalam mabuknya, si tamu raja kehilangan kontrol atas dirinya. Ia tanpa sengaja berkomentar atas pakaian yang dikenakan oleh sang raja. Si tamu raja mengatakan harusnya raja di negeri sebesar ini punya pakaian kebesaran yang jauh lebih mewah dari itu.

Esoknya, si tamu raja beserta rombongan pergi meninggalkan negeri indah itu dengan hati gembira karena disambut dan dilepas dengan sangat menyenangkan. Mereka akan melanjutkan perjalanan pesiarnya lagi.

Muka sang raja murung sore itu. Sang raja ternyata tersinggung dengan perkataan si tamu di malam pesta perpisahan. Ternyata raja adalah pribadi yang pemarah. Sejak kecil, sang raja hidup dalam kesempurnaan. Ia tidak pernah kalah dalam berperang. Ia tidak pernah dikritik sebelumnya karena ia selalu jadi sosok yang sempurna. Tampan rupawan, cerdas dan dicintai rakyatnya.

Segera sang raja memanggil penasihatnya dan memerintahkannya untuk memanggil penjahit terbaik di negeri itu untuk membuatkannya pakaian kebesaran yang lebih mewah dari yang dimiliki sebelumnya.

Beberapa hari kemudian datanglah si penjahit dengan beberapa orang dalam tim penjahitnya. Sang raja sangat senang dengan kedatangan si penjahit. Sang raja sudah membayangkan baju kebesaran barunya yang akan dimilikinya segera. Ia ingin melakukan pawai

Si penjahit datang dan meminta izin pada sang raja untuk memulai kerjanya dan timnya dengan mengukur ukuran tubuh sang raja. Dengan pita ukur berwarna emas, si penjahit mulai mengukur ukuran tubuh sang raja dari ujung kepala hingga ujung kaki, agar nantinya pakaian kebesaran yang dijahitnya bisa pas pada tubuh raja. Si penjahit tampak sangat profesional mengerjakan tugasnya.

“Baju kebesaran ini akan saya jahit dengan menggunakan bahan-bahan yang saya ambil dari negeri antah berantah. Kainnya sangat bagus, selembut sutra tapi sekuat baja untuk melindungi tubuh sang raja dari panas terik matahari dan dingin angin malam dibuat dari bahan kejujuran dicampur dengan kebajikan, benangnya saya buat dengan campuran cinta tanah air, kancingnya yang berkilau bagaikan permata dibuat dari bahan kemuliaan,”

Si penjahit mulai menjelaskan rencananya.

“Pakaian kebesaran raja dibuat lengkap dengan sepatu. Dibuat dari bahan kulit pilihan dicampur dengan sedikit aroma kekuasaan. Tidak mudah berbau dan tidak bisa basah. Sepatu itu akan melindungi sang raja dan dipercaya menambah wibawa sang raja dalam setiap langkah yang diambilnya.”

“Tidak lengkap tentunya pakaian kebesaran yang baru tanpa mahkota raja yang baru juga. Mahkota sang raja akan dikerjakan oleh perajin logam mulia terbaik. Emas murni yang berkilau, bertahtakan puluhan permata dan bermatakan berlian. Mahkota ini akan sangat ringan juga karena sudah dicampur dengan tetes kebanggaan. Kami butuh 50 hari, yang mulia, untuk mengerjakan semua hal ini,” akhir si penjahit. “Oh iya, ini yang sangat penting. Karena semua bahan ini kami buat dengan campuran kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan, pakaian kebesaran raja hanya akan bisa dilihat oleh orang-orang yang baik dan jujur hatinya. Jika tidak baik dan jujur hatinya, orang tersebut tidak bisa melihat keindahan pakaian yang kami buat,” tambah si penjahit sambil ia undur diri dari hadapan sang raja.

***

Sebulan lamanya sang raja menunggu. Ia selalu membayangkan akan seperti apa nantinya pakaian kebesarannya yang baru. Akan tetapi ia juga sedikit takut. Ia selalu teringat kata-kata si penjahit tentang bahan ajaib yang digunakannya untuk membuat pakaian kebesarannya. Kalau tidak bisa melihat pakaiannya, berarti ia bukan sang raja yang baik dan jujur hatinya. Ia nanti tidak bisa memiliki pakaian dengan campuran kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Apa nanti pendapat rakyatnya jika sang rajanya ternyata bukan orang yang baik dan jujur hatinya? Bisa-bisa rakyat negeri itu tidak lagi bisa memercayai sang raja yang tampan rupawan itu. Sang Raja takut. Ia takut kehilangan cinta rakyatnya.

Pagi hari ke 50, dada sang raja berdebar lebih kencang. Ia bangun dengan tersenyum lebar. Bahagia mengingat bahwa pakaian kebesarannya akan diantar padanya hari itu juga. Seperti anak kecil bangun di pagi di hari Natal, tahu bahwa hadiahnya akan segera datang. Sang Raja sudah menyiapkan pawai keliling untuk mempertontonkan pakaian kebesarannya yang baru. Ia sudah memilih kuda terbaik yang dimilikinya untuk jadi tunggangannya selama pawai berlangsung.

Si penjahit dan timnya datang. Mereka membawa tiga peti kayu, “Yang Mulia, ini hasil kerja keras kami selama 50 hari. Pakaian kebesaran raja dari bahan-bahan pilihan yang sudah dicampur dengan kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Hanya orang-orang baik dan jujur hatinya yang bisa melihat pakaian ini.”

Ketika peti dibuka sang raja terkejut. Ia tidak melihat isi apapun di dalam peti tersebut. Sang Raja terkejut karena ternyata ia bukan Sang Raja yang baik dan jujur hatinya. Ia tidak bisa melihat pakaian kebesarannya yang baru. Dengan perlahan si penjahit mengeluarkan pakaian kebesaran raja. Ia meminta raja menanggalkan semua pakaiannya yang lama. “Sangat lembut bukan kain pakaiannya, Yang Mulia? Juga sangat ringan, Yang Mulia pasti akan merasa seakan tidak memakai bahan apapun. Yang Mulia tidak akan mudah berkeringat memakai pakaian ini,” kata si penjahit sambil memakaikan pakaian kebesarannya. Sang Raja bingung, ia kemudian berpura-pura senang. “Pakaian ini tentu akan menambah kecintaan rakyat terhadapku,” bisiknya dalam hati menenangkan diri. Ia tentu tidak mau dianggap sebagai raja yang tidak jujur dan baik hatinya.

Sang Raja merasa telanjang walaupun menurut si penjahit, sepatu, pakaian dan mahkota yang baru sangat pas dan serasi dipakai oleh sang raja. Sekali lagi sang raja merasa perlu berpura-pura merasa memakai baju barunya yang bercampur kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Ia mulai menaiki kudanya untuk berpawai di hadapan rakyatnya. Ia percaya dengan si penjahit, ia malu mengakui jika ia tidak bisa melihat pakaian kebesarannya sendiri yang bertahtakan kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Ia yakin bahwa ia adalah Sang Raja yang jujur dan baik hatinya.

Rakyat sudah menantikan sang raja yang dicintainya. Mereka juga sudah tahu tentang pakaian kebesaran raja yang berisi kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Mereka tahu juga bahwa hanya orang yang baik dan jujur hati yang bisa melihat pakaian kebesaran raja yang baru. Semua merasa was-was apakah mereka orang yang cukup jujur dan baik hati untuk bisa melihat pakaian raja. Mereka berkumpul di jalan utama istana ingin melihat sang raja dengan pakaian kebesarannya yang baru. Rakyat mulai bersorak-sorak tidak sabar.

Sang Raja keluar dengan berkuda. Diiringi rombongan prajurit istana. Ada alat musik tabuh dan tiup mengiringi rombongan tersebut. Semua orang yang datang menunggu pawai tersebut terkejut melihat Sang Raja telanjang mengendarai kuda. Akan tetapi mereka kemudian tetap bersorak memuji pakaian baru Sang Raja.
 
“Lihat pakaian itu. Sangat mewah kancingnya berkilau. Indah sekali!” puji seorang bapak yang datang sambil menggendong anak lelakinya.
“Mahkota baru raja adalah hal terindah yang pernah aku lihat. Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan dan kemewahan perhiasan raja kali ini,” ujar yang lain.
 “Pasti harga sepatu itu mahal sekali. Lihat, itu pasti dari kulit terbaik yang pernah dibuat oleh tangan manusia.”

Mereka malu mengakui ketidakmampuannya melihat pakaian kebesaran raja yang penuh dengan kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Mereka jelas melihat Sang Raja telanjang berkeliling di atas punggung kudanya. Mereka membutakan diri karena tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak jujur dan baik hatinya. Mereka terlalu cinta sehingga tidak sadar sedang mempermalukan rajanya yang sedang telanjang.


*disadur dari dongeng karya Hans Chistian Andersen, “Emperor’s New Clothes”

Jumat, 15 Agustus 2014

Pada Pahlawan


Beberapa tahun yang lalu, ketika masih duduk di bangku sekolah memakai seragam merah putih. Pelajaran kesenian, di tanggal menjelang perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Biasanya kami disuruh oleh ibu guru mencari lagu wajib dan bergiliran menyanyikannya satu persatu di depan kelas untuk penilaian kesenian. Baru sekarang aku sadar, bukan hanya nada dan dinamika menyanyi yang dinilai bu guru di kelas. Asal aku berani maju ke depan kelas dan bernyanyi dengan percaya diri, ibu guru tidak akan terlalu menyoal sumbang tidaknya suaraku. Tapi untunya suaraku tak sumbang. 

‘Dengarlah dengar nyanyian mulia bagimu pahlawan kesuma bangsa’

Dulu aku juga masih bingung membedakan apa itu lagu wajib nasional dan apa itu lagu kebangsaan. Kata bu guru Indonesia Raya itu lagu kebangsaan, dan lagu seperti Indonesia Pusaka, Tanah Airku dan Padamu Negeri itu lagu wajib nasional. Bukankah lagu kebangsaan itu juga seharusnya jadi lagu wajib. Ah, aku juga masih bingung.

Aku tidak ingat betul, lagu apa yang aku nyanyikan di depan kelas saat diminta bu guru menyanyikan lagu wajib nasional. Apakah itu Garuda Pancasila atau Bendera Merah Putih aku sudah lupa. Tapi aku selalu ingat kalau aku ingin menyanyikan lagu yang belum dinyanyikan siapapun yang menyanyi sebelumku. Makanya, aku berusaha mengingat lebih banyak lagu dari temanku yang lain.
Ini lagu wajib nasional favoritku, lagu karya Cornel Simanjuntak yang liriknya ditulis oleh Usmar Ismail. Nada dasar C=Do, ketukan 4/4, temponya Di Marcia. Artinya, dinyanyikan dengan tegas, seperti lagu mars. Ikuti derap langkah kaki tentara berbaris, kata bu guru. Aku suka sekali lagu “Pada Pahlawan”. Membuat orang yang mendengar tambah bersemangat.

Semakin kemari, semakin tambah usia dan semakin bertambah jumlah buku yang aku baca, semakin bertambah pula orang yang kutemui untuk berdiskusi. Lalu aku mulai menyadari, kita ini, ah jangan sebut kita. Generalisasi tidak selalu bisa diterima. Aku di beberapa tahun yang lalu ini terlanjur terdidik dalam paradigma militeristik. Nama pahlawan nasional kebanyakan diawali dengan gelar kemiliteran dan kepahlawanan didapat melalu jalan perang. Jenderal, Brigadir Jenderal, Kapten, Marsekal, Laksamana tapi tidak Kamerad. Kalaupun tidak dari kalangan militer, pahlawan selalu diidentikkan dengan semangat yang menggebu dan bisa mengobarkan sekumpulan orang untuk mau berperang. Bung Karno, Bung Tomo.

Salah? Aku tidak bilang seperti itu. Benar? Aku tidak sedang bicara tentang salah dan benar. Memang negeri ini berdiri dari api perang dengan penjajah asing dan hingga sekarang masih ditempa dalam gelombang panas perang melawan penjajah yang makin tak tampak wujudnya.

‘Dengar derap langkah pahlawan, Menuju medan perang
Memanggil setiap putera, Ikut bela bangsa’

Betul memang, kita masih selalu dalam perang. Setiap waktu bahkan kita berperang. Perang bukan melulu tentang mengangkat senjata. Ini klise, tapi selalu tepat. Perang melawan diri sendiri adalah yang terberat. Kita perlu menderapkan langkah ketika menuju medan perang. Derap langkah yang berani dan percaya diri, seperti ketika maju ke depan kelas untuk menyanyikan lagu wajib nasional. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pahlawan dalam perangnya masing masing. Aku tidak bicara tentang menjadi pemenang, tapi jadilah yang terbaik. Karena toh di pihak yang kalah pun ada pahlawan di antaranya.

               ‘karena kita adalah pahlawan masa kini, pahlawan yang sungguh nyata ada di sini
                Kekuatanku datang dari otak dan hati, kan kuberikan semua kepada negeri ini’

Pada pahlawan yang selalu berjuang dalam perangnya masing-masing menurutku ada dua hal yang masih perlu selalu diingat. Bela bangsa dan memberi pada negeri. Karena seperti kurang lengkap rasanya menjadi pahlawan tanpa memberi kontribusi bagi sekitarnya.

*Selamat ulang tahun ke 69, Indonesia.
Yogyakarta 16 Agustus 2014