Jumat, 15 Agustus 2014

Pada Pahlawan


Beberapa tahun yang lalu, ketika masih duduk di bangku sekolah memakai seragam merah putih. Pelajaran kesenian, di tanggal menjelang perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Biasanya kami disuruh oleh ibu guru mencari lagu wajib dan bergiliran menyanyikannya satu persatu di depan kelas untuk penilaian kesenian. Baru sekarang aku sadar, bukan hanya nada dan dinamika menyanyi yang dinilai bu guru di kelas. Asal aku berani maju ke depan kelas dan bernyanyi dengan percaya diri, ibu guru tidak akan terlalu menyoal sumbang tidaknya suaraku. Tapi untunya suaraku tak sumbang. 

‘Dengarlah dengar nyanyian mulia bagimu pahlawan kesuma bangsa’

Dulu aku juga masih bingung membedakan apa itu lagu wajib nasional dan apa itu lagu kebangsaan. Kata bu guru Indonesia Raya itu lagu kebangsaan, dan lagu seperti Indonesia Pusaka, Tanah Airku dan Padamu Negeri itu lagu wajib nasional. Bukankah lagu kebangsaan itu juga seharusnya jadi lagu wajib. Ah, aku juga masih bingung.

Aku tidak ingat betul, lagu apa yang aku nyanyikan di depan kelas saat diminta bu guru menyanyikan lagu wajib nasional. Apakah itu Garuda Pancasila atau Bendera Merah Putih aku sudah lupa. Tapi aku selalu ingat kalau aku ingin menyanyikan lagu yang belum dinyanyikan siapapun yang menyanyi sebelumku. Makanya, aku berusaha mengingat lebih banyak lagu dari temanku yang lain.
Ini lagu wajib nasional favoritku, lagu karya Cornel Simanjuntak yang liriknya ditulis oleh Usmar Ismail. Nada dasar C=Do, ketukan 4/4, temponya Di Marcia. Artinya, dinyanyikan dengan tegas, seperti lagu mars. Ikuti derap langkah kaki tentara berbaris, kata bu guru. Aku suka sekali lagu “Pada Pahlawan”. Membuat orang yang mendengar tambah bersemangat.

Semakin kemari, semakin tambah usia dan semakin bertambah jumlah buku yang aku baca, semakin bertambah pula orang yang kutemui untuk berdiskusi. Lalu aku mulai menyadari, kita ini, ah jangan sebut kita. Generalisasi tidak selalu bisa diterima. Aku di beberapa tahun yang lalu ini terlanjur terdidik dalam paradigma militeristik. Nama pahlawan nasional kebanyakan diawali dengan gelar kemiliteran dan kepahlawanan didapat melalu jalan perang. Jenderal, Brigadir Jenderal, Kapten, Marsekal, Laksamana tapi tidak Kamerad. Kalaupun tidak dari kalangan militer, pahlawan selalu diidentikkan dengan semangat yang menggebu dan bisa mengobarkan sekumpulan orang untuk mau berperang. Bung Karno, Bung Tomo.

Salah? Aku tidak bilang seperti itu. Benar? Aku tidak sedang bicara tentang salah dan benar. Memang negeri ini berdiri dari api perang dengan penjajah asing dan hingga sekarang masih ditempa dalam gelombang panas perang melawan penjajah yang makin tak tampak wujudnya.

‘Dengar derap langkah pahlawan, Menuju medan perang
Memanggil setiap putera, Ikut bela bangsa’

Betul memang, kita masih selalu dalam perang. Setiap waktu bahkan kita berperang. Perang bukan melulu tentang mengangkat senjata. Ini klise, tapi selalu tepat. Perang melawan diri sendiri adalah yang terberat. Kita perlu menderapkan langkah ketika menuju medan perang. Derap langkah yang berani dan percaya diri, seperti ketika maju ke depan kelas untuk menyanyikan lagu wajib nasional. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pahlawan dalam perangnya masing masing. Aku tidak bicara tentang menjadi pemenang, tapi jadilah yang terbaik. Karena toh di pihak yang kalah pun ada pahlawan di antaranya.

               ‘karena kita adalah pahlawan masa kini, pahlawan yang sungguh nyata ada di sini
                Kekuatanku datang dari otak dan hati, kan kuberikan semua kepada negeri ini’

Pada pahlawan yang selalu berjuang dalam perangnya masing-masing menurutku ada dua hal yang masih perlu selalu diingat. Bela bangsa dan memberi pada negeri. Karena seperti kurang lengkap rasanya menjadi pahlawan tanpa memberi kontribusi bagi sekitarnya.

*Selamat ulang tahun ke 69, Indonesia.
Yogyakarta 16 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar