Beberapa tahun yang lalu, ketika masih duduk di bangku sekolah memakai seragam merah putih. Pelajaran kesenian, di tanggal menjelang perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Biasanya kami disuruh oleh ibu guru mencari lagu wajib dan bergiliran menyanyikannya satu persatu di depan kelas untuk penilaian kesenian. Baru sekarang aku sadar, bukan hanya nada dan dinamika menyanyi yang dinilai bu guru di kelas. Asal aku berani maju ke depan kelas dan bernyanyi dengan percaya diri, ibu guru tidak akan terlalu menyoal sumbang tidaknya suaraku. Tapi untunya suaraku tak sumbang.
‘Dengarlah dengar nyanyian mulia bagimu pahlawan kesuma bangsa’
Dulu aku
juga masih bingung membedakan apa itu lagu wajib nasional dan apa itu lagu kebangsaan.
Kata bu guru Indonesia Raya itu lagu kebangsaan, dan lagu seperti Indonesia
Pusaka, Tanah Airku dan Padamu Negeri itu lagu wajib nasional. Bukankah lagu
kebangsaan itu juga seharusnya jadi lagu wajib. Ah, aku juga masih bingung.
Aku tidak
ingat betul, lagu apa yang aku nyanyikan di depan kelas saat diminta bu guru
menyanyikan lagu wajib nasional. Apakah itu Garuda Pancasila atau Bendera Merah
Putih aku sudah lupa. Tapi aku selalu ingat kalau aku ingin menyanyikan lagu
yang belum dinyanyikan siapapun yang menyanyi sebelumku. Makanya, aku berusaha
mengingat lebih banyak lagu dari temanku yang lain.
Ini lagu
wajib nasional favoritku, lagu karya Cornel Simanjuntak yang liriknya ditulis
oleh Usmar Ismail. Nada dasar C=Do, ketukan 4/4, temponya Di Marcia. Artinya, dinyanyikan
dengan tegas, seperti lagu mars. Ikuti derap langkah kaki tentara berbaris,
kata bu guru. Aku suka sekali lagu “Pada Pahlawan”. Membuat orang yang
mendengar tambah bersemangat.
Semakin kemari,
semakin tambah usia dan semakin bertambah jumlah buku yang aku baca, semakin
bertambah pula orang yang kutemui untuk berdiskusi. Lalu aku mulai menyadari,
kita ini, ah jangan sebut kita. Generalisasi tidak selalu bisa diterima. Aku di
beberapa tahun yang lalu ini terlanjur terdidik dalam paradigma militeristik. Nama
pahlawan nasional kebanyakan diawali dengan gelar kemiliteran dan kepahlawanan
didapat melalu jalan perang. Jenderal, Brigadir Jenderal, Kapten, Marsekal,
Laksamana tapi tidak Kamerad. Kalaupun tidak dari kalangan militer, pahlawan
selalu diidentikkan dengan semangat yang menggebu dan bisa mengobarkan
sekumpulan orang untuk mau berperang. Bung Karno, Bung Tomo.
Salah? Aku tidak
bilang seperti itu. Benar? Aku tidak sedang bicara tentang salah dan benar. Memang
negeri ini berdiri dari api perang dengan penjajah asing dan hingga sekarang
masih ditempa dalam gelombang panas perang melawan penjajah yang makin tak
tampak wujudnya.
‘Dengar
derap langkah pahlawan, Menuju medan perang
Memanggil
setiap putera, Ikut bela bangsa’
Betul memang, kita
masih selalu dalam perang. Setiap waktu bahkan kita berperang. Perang bukan
melulu tentang mengangkat senjata. Ini klise, tapi selalu tepat. Perang melawan
diri sendiri adalah yang terberat. Kita perlu menderapkan langkah ketika menuju
medan perang. Derap langkah yang berani dan percaya diri, seperti ketika maju
ke depan kelas untuk menyanyikan lagu wajib nasional. Yang perlu dilakukan
adalah menjadi pahlawan dalam perangnya masing masing. Aku tidak bicara tentang
menjadi pemenang, tapi jadilah yang terbaik. Karena toh di pihak yang kalah pun
ada pahlawan di antaranya.
‘karena kita adalah pahlawan
masa kini, pahlawan yang sungguh nyata ada di sini
Kekuatanku datang dari otak dan
hati, kan kuberikan semua kepada negeri ini’
Pada pahlawan yang selalu berjuang dalam perangnya
masing-masing menurutku ada dua hal yang masih perlu selalu diingat. Bela
bangsa dan memberi pada negeri. Karena seperti kurang lengkap rasanya menjadi
pahlawan tanpa memberi kontribusi bagi sekitarnya.
*Selamat ulang tahun
ke 69, Indonesia.
Yogyakarta 16 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar