Alkisah sebuah negeri di seberang laut, selaksa
hasta jaraknya, hiduplah seorang raja tampan rupawan dan berwibawa. Ia dikenal
sebagai seorang pribadi yang tegas dan gagah berani. Ia adalah putera mahkota
yang luwes berperang, tak heran ia menjadi panglima perang yang pandai berkata
menyemangati prajuritnya dan cerdas berstrategi menghadapi semua musuhnya. Tak
pernah ia mundur sejengkal pun ketika berhadap-hadapan dengan musuh-musuhnya,
bahkan nyawanya dipertaruhkan demi membawa kemenangan dan kejayaan prajurit dan
negerinya. Beberapa kali ia hampir terbunuh dalam perang, tapi ia sama sekali
tidak pernah gentar.
Saat ini negerinya sudah aman dan tentram,
tidak ada lagi perang melawan negeri-negeri yang berselisih. Kedamaian
menyelimuti kehidupan negeri itu. Sang raja pun sudah meninggalkan medan
berdarah, ia ingin menikmati masa tuanya dengan menjadi raja memerintah
negerinya dengan arif dan mengangkat kesejahteraan, berkuasa di atas tanah
tumpah darahnya.
Sang raja memiliki satu kesenangan. Ia memiliki
tanah yang sangat luas dan dipenuhi oleh kuda-kuda terbaik dari seluruh penjuru
negeri. Kuda-kudanya terpandang di antara kerajaan-kerajaan tetangganya sebagai
kuda-kuda terkuat dan tercepat. Kuda-kuda gagah yang akan mendukung kepiawaian
perwira-perwira pilihan di medan peperangan.
Suatu hari, raja kedatangan tamu kehormatan
dari kerajaan tetangga. Tamu itu datang berpesiar ke negeri sang raja. Tamunya
adalah seorang pesolek yang sangat suka melihat keindahan. Ia sangat kagum
dengan negeri sang raja. Tidak sangat mewah, tapi pohon-pohon hijau merindangi
jalan-jalan kota yang ramai orang beraktivitas. Tidak sangat rapi, tapi
kesemrawutan itu ternyata yang membuat kealamian negerinya terpancar.
Orang-orang yang sangat ramah, walaupun perompak dan pemerkosa tetap saja sulit
dicabut habis dari dalam masyarakatnya. Banyak orang berpakaian sangat indah
dan tampak mewah, walaupun tetap ada beberapa mereka yang berbaju
compang-camping berjalan pincang meminta belas kasihan orang-orang di
sekitarnya.
Raja sangat senang dikunjungi oleh si tamu raja
beserta rombongannya. Ia ingin menghormati tamunya ini, maka ia membuatkan
sebuah pesta perpisahan untuk si tamu raja. Ia menyembelih lembu-lembu terbaik,
ia memerintahkan hamba-hambanya memotong ayam-ayam pilihan untuk menyiapkan
hindangan-hidangan terlezat untuk tamunya ini. Ia meminta agar anggur-anggur
terbaik dikeluarkan dari gudang penyimpanan dan dihidangkan di dalam pesta.
Pesta tersebut berlangsung meriah gegap gempita. Musik rakyat dialunkan, para
badut melawak menghibur mereka yang datang.
Anggur, daging, dan semua hidangan memabukkan
si tamu raja dan hadirin yang lainnya. Dengan merah muka dalam mabuknya, si
tamu raja kehilangan kontrol atas dirinya. Ia tanpa sengaja berkomentar atas
pakaian yang dikenakan oleh sang raja. Si tamu raja mengatakan harusnya raja di
negeri sebesar ini punya pakaian kebesaran yang jauh lebih mewah dari itu.
Esoknya, si tamu raja beserta rombongan pergi
meninggalkan negeri indah itu dengan hati gembira karena disambut dan dilepas dengan
sangat menyenangkan. Mereka akan melanjutkan perjalanan pesiarnya lagi.
Muka sang raja murung sore itu. Sang raja
ternyata tersinggung dengan perkataan si tamu di malam pesta perpisahan.
Ternyata raja adalah pribadi yang pemarah. Sejak kecil, sang raja hidup dalam
kesempurnaan. Ia tidak pernah kalah dalam berperang. Ia tidak pernah dikritik
sebelumnya karena ia selalu jadi sosok yang sempurna. Tampan rupawan, cerdas
dan dicintai rakyatnya.
Segera sang raja memanggil penasihatnya dan
memerintahkannya untuk memanggil penjahit terbaik di negeri itu untuk
membuatkannya pakaian kebesaran yang lebih mewah dari yang dimiliki sebelumnya.
Beberapa hari kemudian datanglah si penjahit
dengan beberapa orang dalam tim penjahitnya. Sang raja sangat senang dengan kedatangan
si penjahit. Sang raja sudah membayangkan baju kebesaran barunya yang akan
dimilikinya segera. Ia ingin melakukan pawai
Si penjahit datang dan meminta izin pada sang
raja untuk memulai kerjanya dan timnya dengan mengukur ukuran tubuh sang raja.
Dengan pita ukur berwarna emas, si penjahit mulai mengukur ukuran tubuh sang
raja dari ujung kepala hingga ujung kaki, agar nantinya pakaian kebesaran yang
dijahitnya bisa pas pada tubuh raja. Si penjahit tampak sangat profesional
mengerjakan tugasnya.
“Baju kebesaran ini akan saya jahit dengan
menggunakan bahan-bahan yang saya ambil dari negeri antah berantah. Kainnya
sangat bagus, selembut sutra tapi sekuat baja untuk melindungi tubuh sang raja
dari panas terik matahari dan dingin angin malam dibuat dari bahan kejujuran
dicampur dengan kebajikan, benangnya saya buat dengan campuran cinta tanah air,
kancingnya yang berkilau bagaikan permata dibuat dari bahan kemuliaan,”
Si penjahit mulai menjelaskan rencananya.
“Pakaian kebesaran raja dibuat lengkap dengan
sepatu. Dibuat dari bahan kulit pilihan dicampur dengan sedikit aroma
kekuasaan. Tidak mudah berbau dan tidak bisa basah. Sepatu itu akan melindungi
sang raja dan dipercaya menambah wibawa sang raja dalam setiap langkah yang
diambilnya.”
“Tidak lengkap tentunya pakaian kebesaran yang
baru tanpa mahkota raja yang baru juga. Mahkota sang raja akan dikerjakan oleh
perajin logam mulia terbaik. Emas murni yang berkilau, bertahtakan puluhan
permata dan bermatakan berlian. Mahkota ini akan sangat ringan juga karena
sudah dicampur dengan tetes kebanggaan. Kami butuh 50 hari, yang mulia, untuk
mengerjakan semua hal ini,” akhir si penjahit. “Oh iya, ini yang sangat
penting. Karena semua bahan ini kami buat dengan campuran kejujuran, kebajikan,
kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan, pakaian kebesaran raja hanya akan bisa
dilihat oleh orang-orang yang baik dan jujur hatinya. Jika tidak baik dan jujur
hatinya, orang tersebut tidak bisa melihat keindahan pakaian yang kami buat,”
tambah si penjahit sambil ia undur diri dari hadapan sang raja.
***
Sebulan
lamanya sang raja menunggu. Ia selalu membayangkan akan seperti apa nantinya
pakaian kebesarannya yang baru. Akan tetapi ia juga sedikit takut. Ia selalu
teringat kata-kata si penjahit tentang bahan ajaib yang digunakannya untuk
membuat pakaian kebesarannya. Kalau tidak bisa melihat pakaiannya, berarti ia
bukan sang raja yang baik dan jujur hatinya. Ia nanti tidak bisa memiliki
pakaian dengan campuran kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan
kebanggaan. Apa nanti pendapat rakyatnya jika sang rajanya ternyata bukan orang
yang baik dan jujur hatinya? Bisa-bisa rakyat negeri itu tidak lagi bisa
memercayai sang raja yang tampan rupawan itu. Sang Raja takut. Ia takut
kehilangan cinta rakyatnya.
Pagi hari
ke 50, dada sang raja berdebar lebih kencang. Ia bangun dengan tersenyum lebar.
Bahagia mengingat bahwa pakaian kebesarannya akan diantar padanya hari itu
juga. Seperti anak kecil bangun di pagi di hari Natal, tahu bahwa hadiahnya
akan segera datang. Sang Raja sudah menyiapkan pawai keliling untuk
mempertontonkan pakaian kebesarannya yang baru. Ia sudah memilih kuda terbaik
yang dimilikinya untuk jadi tunggangannya selama pawai berlangsung.
Si penjahit
dan timnya datang. Mereka membawa tiga peti kayu, “Yang Mulia, ini hasil kerja
keras kami selama 50 hari. Pakaian kebesaran raja dari bahan-bahan pilihan yang
sudah dicampur dengan kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan
kebanggaan. Hanya orang-orang baik dan jujur hatinya yang bisa melihat pakaian
ini.”
Ketika peti
dibuka sang raja terkejut. Ia tidak melihat isi apapun di dalam peti tersebut.
Sang Raja terkejut karena ternyata ia bukan Sang Raja yang baik dan jujur
hatinya. Ia tidak bisa melihat pakaian kebesarannya yang baru. Dengan perlahan
si penjahit mengeluarkan pakaian kebesaran raja. Ia meminta raja menanggalkan
semua pakaiannya yang lama. “Sangat lembut bukan kain pakaiannya, Yang Mulia?
Juga sangat ringan, Yang Mulia pasti akan merasa seakan tidak memakai bahan
apapun. Yang Mulia tidak akan mudah berkeringat memakai pakaian ini,” kata si
penjahit sambil memakaikan pakaian kebesarannya. Sang Raja bingung, ia kemudian
berpura-pura senang. “Pakaian ini tentu akan menambah kecintaan rakyat
terhadapku,” bisiknya dalam hati menenangkan diri. Ia tentu tidak mau dianggap
sebagai raja yang tidak jujur dan baik hatinya.
Sang Raja
merasa telanjang walaupun menurut si penjahit, sepatu, pakaian dan mahkota yang
baru sangat pas dan serasi dipakai oleh sang raja. Sekali lagi sang raja merasa
perlu berpura-pura merasa memakai baju barunya yang bercampur kejujuran,
kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Ia mulai menaiki kudanya untuk
berpawai di hadapan rakyatnya. Ia percaya dengan si penjahit, ia malu mengakui
jika ia tidak bisa melihat pakaian kebesarannya sendiri yang bertahtakan
kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Ia yakin bahwa ia
adalah Sang Raja yang jujur dan baik hatinya.
Rakyat
sudah menantikan sang raja yang dicintainya. Mereka juga sudah tahu tentang
pakaian kebesaran raja yang berisi kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan
dan kebanggaan. Mereka tahu juga bahwa hanya orang yang baik dan jujur hati
yang bisa melihat pakaian kebesaran raja yang baru. Semua merasa was-was apakah
mereka orang yang cukup jujur dan baik hati untuk bisa melihat pakaian raja. Mereka
berkumpul di jalan utama istana ingin melihat sang raja dengan pakaian kebesarannya
yang baru. Rakyat mulai bersorak-sorak tidak sabar.
Sang Raja
keluar dengan berkuda. Diiringi rombongan prajurit istana. Ada alat musik tabuh
dan tiup mengiringi rombongan tersebut. Semua orang yang datang menunggu pawai
tersebut terkejut melihat Sang Raja telanjang mengendarai kuda. Akan tetapi
mereka kemudian tetap bersorak memuji pakaian baru Sang Raja.
“Lihat pakaian itu. Sangat mewah kancingnya berkilau. Indah sekali!” puji
seorang bapak yang datang sambil menggendong anak lelakinya.
“Mahkota
baru raja adalah hal terindah yang pernah aku lihat. Tidak ada yang bisa
mengalahkan keindahan dan kemewahan perhiasan raja kali ini,” ujar yang lain.
“Pasti
harga sepatu itu mahal sekali. Lihat, itu pasti dari kulit terbaik yang pernah
dibuat oleh tangan manusia.”
Mereka malu
mengakui ketidakmampuannya melihat pakaian kebesaran raja yang penuh dengan
kejujuran, kebajikan, kemuliaan, kekuasaan dan kebanggaan. Mereka jelas melihat
Sang Raja telanjang berkeliling di atas punggung kudanya. Mereka membutakan
diri karena tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak jujur dan baik hatinya.
Mereka terlalu cinta sehingga tidak sadar sedang mempermalukan rajanya yang
sedang telanjang.
*disadur
dari dongeng karya Hans Chistian Andersen, “Emperor’s New Clothes”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar