Sabtu, 02 November 2013

Sadar Berbeda

Kan kuingat selalu
Kan kukenang selalu
Senja indah
senja di Kaimana
Seiring surya
Meredupkan sinar
Dikau datang
Ke hati berdebar.

Kamu mungkin tidak banyak yang kenal tentang syair di atas, tapi coba bacakan barisan syair tersebut pada bapak, ibumu, atau paklik dan budhemu. Mereka pasti lebih mengenalnya. Lagu tersebut adalah lagu “Senja di Kaimana”, lagu yang dipopulerkan oleh Alfian pada tahun 1970an. Liriknya hasil karya seorang prajurit Trikora yang mendarat di Kaimana dalam tugas pembebasan Irian Barat. Ya, Kaimana dulu adalah salah satu pelabuhan penting bagi beberapa sejarah Indonesia terkait Papua.

Tidak hanya senjanya, di belahan Papua mana pun, rasanya pasti akan ditemukan keindahan-keindahan yang dikatakan mirip surga itu. Sementara ini baru Rajaampat saja yang terkenal, itu baru sebagian kecil dari keindahan Papua seluruhnya.

oleh : Suryo Hapsoro

Tapi aku bukan dalam rangka bercerita tentang keindahan alam Kaimana. Hal yang terlalu indah untuk diceritakan. Datanglah ke sana, rasakan sendiri, dan kamu akan tahu mengapa aku kesulitan menceritakan keindahannya. Aku ingin bercerita tentang keindahan lain yang aku temukan di Tanah Papua, surga kecil jatuh ke bumi. Keindahan yang membuatku yakin betul kalau aku mencintai negeri ini. Bahwa perbedaan itu betul sungguh indah bila dipahami bersama.

Momen ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 kemarin aku rayakan bersama teman-teman unit PPA01 - Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada dan warga Kaimana. Aku yakin, 17an tahun ini menjadi yang paling berkesan untukku sampai 21 tahun aku belajar bernafas.

Beberapa tahun yang lalu, aku pernah berkata kalau nasionalisme tidak harus ditunjukkan dengan upacara bendera. Tidak ada yang suka mengikuti upacara yang panas, orang harus bersikap sempurna selama kurang lebih 1 jam, lelah, pusing, bahkan tidak sedikit yang pingsan ketika upacara tengah berlangsung. Nasionalisme seseorang harusnya cukup ditunjukkan dengan berusaha sekuatnya untuk membuat hari esok negaranya menjadi lebih baik.


Agustus Kemarin adalah kali pertama aku mengetahui dan mengikuti rangkaian kegiatan “kenegaraan” dalam rangka merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia. Kami, kelompok KKN Kaimana, mendapatkan undangan resmi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana untuk mengikuti seluruh rangkaian kegiatan kenegaraan tersebut.

Melalui dan mengikuti seluruh rangkaian acara kenegaraan tersebut membuatku tidak lagi meremehkan upacara bendera. Memang, upacara melelahkan, panas, menyebalkan tetapi bukan berarti upacara bendera saat 17 Agustus itu tidak perlu. Kalau kamu tinggal di Papua mungkin bisa merasakan pentingnya I.N.D.O.N.E.S.I.A. Dengan ratusan suku yang berbeda, identitas sebagai Indonesia, bahasa Indonesia menjadi wadah netralisasi primordialisme suku. Menjadi pencipta kesadaran akan perbedaan dan kebutuhan rasa kebersamaan.

Di Jawa sini, mungkin tidak terlalu dirasa penting. Kita terlalu seragam, terlalu satu warna, terlalu satu suku. Jadi rasanya buat apa ada upacara (buat apa ada Indonesia?) kalau kita sudah merasa sama. Sama Jawa, sama Islam, sama Sunda, sama suku, tapi tidak merasa sama sebagai Bangsa Indonesia. Rasa kesamaan sempit itu sebenarnya yang menjadi bom bunuh diri. Identitas bangsa ini kemudian terdistorsi menjadi sekadar rasa kesukuan, keagamaan.

Bila sudah merasa sama, pasti akan ada yang ingin berbeda. Negatifnya jadi terkesan seperti mencari-cari perbedaan. Membuat konflik dan masalah perbedaan yang seharusnya tidak perlu. Rasa kesamaan itu yang menurutku makin mengikis arti pentingnya Indonesia sebagai pemersatu.

Aku berefleksi, kenapa aku harus menolak ikut upacara paling tidak setahun sekali padahal setiap Minggu aku meluangkan waktu pergi ke Gereja. Padahal aku tinggal di tanah Indonesia. Tuhan meletakkan aku di tanah ini untuk jadi tanah tumpah darahku, untuk berkarya bagi Tuhan dan seharusnya bagi bangsaku juga. Seharusnya aku bisa menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia, Tidak hanya 50%-50%, seperti yang dikatakan Mgr. Soegijapranata SJ, uskup yang belum lama ini kisahnya diabadikan dalam sebuah film layar lebar.

Upacara menjadi semacam titik penyadaran bahwa Negara ini masih ada, Negara ini masih kokoh berdiri walaupun diterpa selaksa masalah. Merah Putih tetap dapat berkibar setinggi-tingginya. I.N.D.O.N.E.S.I.A tetap bersatu walaupun berjuta perbedaan hidup di dalamnya. Bahwa dalam upacara bukan hanya kaki dan seluruh tubuhmu saja yang harus tegap berdiri, tapi lebih dari itu. Hatimu. Hatimu harus tegap, busungkan dadamu dan sadarilah kalau I.N.D.O.N.E.S.I.A adalah negara besar. Negeri multikultur yang sangat kaya. Tanamkanlah dalam diri bahwa justru perbedaan itu yang menjadikan negeri ini semakin kaya, dan kekayaan itulah yang harus dijaga oleh setiap pribadi manusia yang mengaku orang Indonesia.


Perbedaan memang harus disadari dan diakui. Dengan begitu perbedaan tersebut bisa digunakan untuk saling melengkapi, bukan hanya kekurangan dan kesalahan saja yang dicari. Menurutku tidak pada tempatnya kalau kita semua harus merasa sama karena memang tidak akan pernah sama. Bahkan pusaran jari kelingking dan jari manis tangan kananmu pun tidak akan pernah sama. Maka bukannya kita semua harus menyatukan perbedaan, sebenarnya jauh lebih indah kalau kita bisa bersatu dalam perbedaan.

Senja di Kaimana
Dan kasihmu dara
Dalam jiwa
Sampai akhir masa

Terimakasih Kaimana, pelajaran ini akan selalu terkenang sampai akhir masa.

*foto diambil oleh teman saya, Jason Iskandar, dan saya sendiri

1 komentar:

  1. Tulisannya rapih ya. Kapan gue bisa nulis serapih ini. Hehehe. Temanya keren. Salam Indonesia. Salam nasionalisme. :D

    BalasHapus