panas, semua panas.
semua ingin segalanya sesuai rencana.
semua ingin semuanya sempurna.
siap, semua siap.
semua panik menyiapkan.
semua ingin seluruhnya sudah siap
harap, semua berharap
semua berharap segalanya baik baik saja
semua berharap keduanya akan bahagia
semua, ya semua!
21/5/2011
*didedikasikan untuk Mbak Reno dan Mas Yudhis
Jumat, 20 Mei 2011
Minggu, 08 Mei 2011
Sepucuk Surat Seorang Sahabat
saya baru mulai membaca buku karangan penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi : Pulau Buru. Dalam buku pertamanya, Bumi Manusia, ada satu bagian yang membuat saya benar-benar terkesan dan ingin supaya lebih banyak yang terkesan dan tergugah.
ini adalah isi surat dari Miriam de La Croix untuk Minke.
Tulisnya:
Sahabat,
Tentu kau sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Kunantikan beritamu tapi tak juga kunjung tiba. Jadi aku yang mengalah.
Jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadapmu. Sampai dua kali ia bertanya, ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu. Sungguh ia terkesan oleh sikapmu. Kau, katanya, orang Jawa dari jenis lain, terbuat dari bahan lain, seorang pemula dan pembaru sekaligus.
Dengan senanghati aku tulis surat ini, malah merasa mendapat kehormatan dapat menyampaikan pendapat Papa. Mir, Sarah, katanya lagi pada kami, begitu kiranya wajah Jawa nanti yang terasuki peradaban kita, tidak lagi melata seperti cacing kena matari. Maaf, Minke, kalau Papa menggunakan perbandingan sekasar itu. Ia tidak bermaksud menghina. Kau tak marah, bukan ? Jangan, jangan marah, sahabat. Tak ada pikiran jahat pada Papa mau pun kami berdua terhadap Pribumi apalagi terhadap pribadimu.
Papa merasa iba melihat bangsa Jawa yang sudah sedemikian dalam kejatuhannya. Dengarkan kata Papa lagi, sekali pun tetap menggunakan perbandingan kasar tsb.: Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini ? Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derjad mereka kembali.,Kau dapat mengikuti aku, sahabat Jangan terburu gusar sebelum memahami pintaku.
Tidak semua orang Eropa peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa, misalnya, sekali pun seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang ia tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya, sekali pun ingin sekali kami mengulurkan tangan. Kami hanya menduga tahu apa mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada Multatuli, bukan ? Nah, pengarang yang diagungkan oleh kaum liberal itu memang sudah sangat berjasa pada bangsamu. Ya, Multatuli, di samping Domine Baron von Hoevel itu, dan seorang lagi, yang barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja mereka tidak pernah bicara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, yakni Belanda. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan bangsamu secara patut.
Sahabat,
Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudah termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita bicara tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa, telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jeng-Kbl dengan kelakuan para permbesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda ke-krbposan watak dan jiwanya. Pahlawan-pahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan konsessi, begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang telah mempetaruhkan jiwa-raga dan harta-benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak mengerti tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat keagungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri.
Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada -yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami jangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat yang masak dan berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh-kesah bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya setelah kau pulang dari kunjunganmu yang pertama. Kau sendiri pergi dengan hati mengkal atau sebal, bukan ? Kami dapat mengerti, karena kau belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja meninggalkan kau, agar kau bisa bicara bebas dengan kami. Tapi sayang, kau bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa menanyakan pendapat kami tentang kau. Pada akhirnya Minke marah, Sarah melaporkan, Doktor Snouck Hurgronje dan assosiasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi:tepat seperti kau katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku. Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan hargadiri sebagai pribadi mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bela berada di antara mereka sendiri. Begitu di dekat seorang Eropa, seorang saja, sudah melata, bahkan mengangkat pandang pun tak ada keberanian lagi. Aku setuju
dengan pujian untukmu. Selamatlah untukmu, sahabat.
Kemudian, sahabat, dari gedung wayang-orang mulai terdengar suara gamelan. Sudah lebih dua tahun ini Papa menyuruh kami memperhatikan musik menurut pengucapan bangsamu itu. Kalian memang sudah lama belajar mendengarkan dan mungkin sudah bisa menikmatinya, katanya lagi. Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu bunyi gung. Begitu dalam musik Jawa, tetapi tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin, pemikir, yang bisa memberikan kataputus.
Sahabat, aku minta dengan amat sangat kau sudi memahami ucapan yang takkan kau dapatkan dari siapa pun kecuali ayahku itu, juga tidak dari sarjana besar Snouck Hurgronje. Maka kami bangga punya ayah seperti dia. Papa yakin, kau suka pada gamelan, lebih daripada musik Eropa, karena kau dilahirkan dan dibesarkan dalam ayunan gamelanmu yang agung itu.
Minke, sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini ? Kaulah itu bakalnya ? Gung yang agung itu ? Bolehkah kami berdoa untukmu ?
Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad-abad belakangan ini. Dan gung kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias – merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan, tidak ada pribadi. Itu tanggapan dari seorang Eropa, sahabat. Satu orang Jawa pun takkan punya tanggapan demikian. Kata Papa lagi: kalau dalam dua puluh tahun mendatang dia masih tetap begitu, tanpa perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya.
Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada dua puluh tahun mendatang ? Pada suatu kali kelak kami akan pulang ke Nederland. aku akan bergerak di lapangan politik, Minke. Cuma sayang sekali Nederland belum membenarkan seorang wanita jadi anggota Tweede Kamer*. Aku punya impian, sahabat, sekiranya kelak sudah tidak demikian lagi, dan aku menjadi Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, aku akan banyak bicara tentang negeri dan bangsamu. Kalau aku datang ke Jawa pertama-tama akan kudengarkan kembali gamelanmu, gamelan yang indah dalam kesatuan bunyi tiada duanya itu. Kalau temanya tetap saja, suatu dambaan tanpa usaha itu, berarti belum ada Messias datang atau dilahirkan. Artinya juga: kau belum muncul jadi gung, atau memang tiada seorang Jawa pun akan muncul, hanya akan tenggelam terus dalam curahan nada-nada ulangan dan lingkaran setan. Kalau ada terjadi perubahan, aku akan cari kau, khusus untuk mengulurkan tangan hormat padamu.
Sahabat, dua puluh tahun! itu terlalu amat lama dalam jaman yang menderap berlumba ini, juga cukup panjang biar pun dilihat dari hidup seseorang. Nah, sahabatku Minke, inilah surat pertama yang kau terima dari sahabatmu yang tulus dan berpengharapan baik
Miriam de la Croix.
pertanyaan penutup dari saya : siapa mau turut jadi "gung-gung" selanjutnya?
ini adalah isi surat dari Miriam de La Croix untuk Minke.
Tulisnya:
Sahabat,
Tentu kau sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Kunantikan beritamu tapi tak juga kunjung tiba. Jadi aku yang mengalah.
Jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadapmu. Sampai dua kali ia bertanya, ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu. Sungguh ia terkesan oleh sikapmu. Kau, katanya, orang Jawa dari jenis lain, terbuat dari bahan lain, seorang pemula dan pembaru sekaligus.
Dengan senanghati aku tulis surat ini, malah merasa mendapat kehormatan dapat menyampaikan pendapat Papa. Mir, Sarah, katanya lagi pada kami, begitu kiranya wajah Jawa nanti yang terasuki peradaban kita, tidak lagi melata seperti cacing kena matari. Maaf, Minke, kalau Papa menggunakan perbandingan sekasar itu. Ia tidak bermaksud menghina. Kau tak marah, bukan ? Jangan, jangan marah, sahabat. Tak ada pikiran jahat pada Papa mau pun kami berdua terhadap Pribumi apalagi terhadap pribadimu.
Papa merasa iba melihat bangsa Jawa yang sudah sedemikian dalam kejatuhannya. Dengarkan kata Papa lagi, sekali pun tetap menggunakan perbandingan kasar tsb.: Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini ? Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derjad mereka kembali.,Kau dapat mengikuti aku, sahabat Jangan terburu gusar sebelum memahami pintaku.
Tidak semua orang Eropa peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa, misalnya, sekali pun seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang ia tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya, sekali pun ingin sekali kami mengulurkan tangan. Kami hanya menduga tahu apa mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada Multatuli, bukan ? Nah, pengarang yang diagungkan oleh kaum liberal itu memang sudah sangat berjasa pada bangsamu. Ya, Multatuli, di samping Domine Baron von Hoevel itu, dan seorang lagi, yang barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja mereka tidak pernah bicara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, yakni Belanda. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan bangsamu secara patut.
Sahabat,
Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudah termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita bicara tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa, telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jeng-Kbl dengan kelakuan para permbesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda ke-krbposan watak dan jiwanya. Pahlawan-pahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan konsessi, begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang telah mempetaruhkan jiwa-raga dan harta-benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak mengerti tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat keagungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri.
Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada -yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami jangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat yang masak dan berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh-kesah bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya setelah kau pulang dari kunjunganmu yang pertama. Kau sendiri pergi dengan hati mengkal atau sebal, bukan ? Kami dapat mengerti, karena kau belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja meninggalkan kau, agar kau bisa bicara bebas dengan kami. Tapi sayang, kau bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa menanyakan pendapat kami tentang kau. Pada akhirnya Minke marah, Sarah melaporkan, Doktor Snouck Hurgronje dan assosiasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi:tepat seperti kau katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku. Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan hargadiri sebagai pribadi mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bela berada di antara mereka sendiri. Begitu di dekat seorang Eropa, seorang saja, sudah melata, bahkan mengangkat pandang pun tak ada keberanian lagi. Aku setuju
dengan pujian untukmu. Selamatlah untukmu, sahabat.
Kemudian, sahabat, dari gedung wayang-orang mulai terdengar suara gamelan. Sudah lebih dua tahun ini Papa menyuruh kami memperhatikan musik menurut pengucapan bangsamu itu. Kalian memang sudah lama belajar mendengarkan dan mungkin sudah bisa menikmatinya, katanya lagi. Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu bunyi gung. Begitu dalam musik Jawa, tetapi tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin, pemikir, yang bisa memberikan kataputus.
Sahabat, aku minta dengan amat sangat kau sudi memahami ucapan yang takkan kau dapatkan dari siapa pun kecuali ayahku itu, juga tidak dari sarjana besar Snouck Hurgronje. Maka kami bangga punya ayah seperti dia. Papa yakin, kau suka pada gamelan, lebih daripada musik Eropa, karena kau dilahirkan dan dibesarkan dalam ayunan gamelanmu yang agung itu.
Minke, sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini ? Kaulah itu bakalnya ? Gung yang agung itu ? Bolehkah kami berdoa untukmu ?
Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad-abad belakangan ini. Dan gung kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias – merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan, tidak ada pribadi. Itu tanggapan dari seorang Eropa, sahabat. Satu orang Jawa pun takkan punya tanggapan demikian. Kata Papa lagi: kalau dalam dua puluh tahun mendatang dia masih tetap begitu, tanpa perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya.
Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada dua puluh tahun mendatang ? Pada suatu kali kelak kami akan pulang ke Nederland. aku akan bergerak di lapangan politik, Minke. Cuma sayang sekali Nederland belum membenarkan seorang wanita jadi anggota Tweede Kamer*. Aku punya impian, sahabat, sekiranya kelak sudah tidak demikian lagi, dan aku menjadi Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, aku akan banyak bicara tentang negeri dan bangsamu. Kalau aku datang ke Jawa pertama-tama akan kudengarkan kembali gamelanmu, gamelan yang indah dalam kesatuan bunyi tiada duanya itu. Kalau temanya tetap saja, suatu dambaan tanpa usaha itu, berarti belum ada Messias datang atau dilahirkan. Artinya juga: kau belum muncul jadi gung, atau memang tiada seorang Jawa pun akan muncul, hanya akan tenggelam terus dalam curahan nada-nada ulangan dan lingkaran setan. Kalau ada terjadi perubahan, aku akan cari kau, khusus untuk mengulurkan tangan hormat padamu.
Sahabat, dua puluh tahun! itu terlalu amat lama dalam jaman yang menderap berlumba ini, juga cukup panjang biar pun dilihat dari hidup seseorang. Nah, sahabatku Minke, inilah surat pertama yang kau terima dari sahabatmu yang tulus dan berpengharapan baik
Miriam de la Croix.
pertanyaan penutup dari saya : siapa mau turut jadi "gung-gung" selanjutnya?
Kamis, 05 Mei 2011
Skeptis
Benarkah semua ada batasnya?
kalau begitu di mana batas langit? jaraknya bahkan berjuta tahun cahaya
dan lalu di mana batas kemungkinan?
Benarkah ada kebetulan?
apakah selama ini kita hidup dalam kebetulan?
bagaimana kalau tanpa usaha dan persiapan?
Benarkah ada takdir?
percayakah aku pada nasib?
bagaimana kalau aku yang menentukan sendiri?
kalau begitu di mana batas langit? jaraknya bahkan berjuta tahun cahaya
dan lalu di mana batas kemungkinan?
Benarkah ada kebetulan?
apakah selama ini kita hidup dalam kebetulan?
bagaimana kalau tanpa usaha dan persiapan?
Benarkah ada takdir?
percayakah aku pada nasib?
bagaimana kalau aku yang menentukan sendiri?
Senin, 02 Mei 2011
Berbagi dalam Kekurangan
Masih tentang pengalaman saya di Cilacap, masih tentang sebuah desa nelayan di seberang Pulau Nusakambangan. Kali ini saya ingin bercerita tentang pengalaman yang membuat saya sangat tersentuh. Pengalaman tentang berbagi, tentang kesederhanaan, dan tentang kasih sayang.
Ini tentang sebuah keluarga. seorang suami, Pak Ismail atau yang lebih suka dipanggil Pak Gendut atau Pak Jenggot. Istrinya yang bernama Bu Wiji, dan seorang anak laki-laki berumur 11 tahun, Fais. Mereka tinggal di sebuah gubug reyot dalam arti yang sesungguhnya. Gubug itu hanya terbuat dari anyaman bambu, atau yang disebut gedheg. Atapnya juga bukan terbuat dari daun kering yang kalau hujan lebat tidak kuat menahan derasnya laju air hujan untuk masuk ke dalam. Bukan bocor lagi namanya, lebih mirip hujan dalam rumah.
Untungnya mereka dipercaya untuk menjaga sebuah depot tempat distribusi ikan hasil tangkapan nelayan. Depot itu lebih mampu melindungi penghuninya dari hujan, jadi jika hujan lebat mereka bertiga memilih untuk tidur di sebuah kamar kecil di depot tersebut.
Awal pertemuan dengan Bu Wiji dan Pak Gendut, saya merasa tsayat dengan mereka. Pak Gendut dengan kulit hitam khas nelayan, jenggot tebal dan rambut gondrong, di lengannya masih tersisa bekas tato yang sudah mulai memudar, tanpa baju sambil memegang rokok kretek di tangannya. Saya pikir awalnya dia adalah seorang preman dermaga, karena tempat pertemuan saya memang di dermaga.
Bu Wiji juga tidak kalah sangar. Perempuan gendut, lusuh rambut panjangnya selalu diikat melingkar ke atas dan juga merokok. Berkulit hitam, mungkin memang karena pengaruh matahari yang tidak bersahabat di Cilacap.
Ketika bertemu mereka sedang duduk-duduk bersama beberapa warga lain yang tidak kalah sangar di pinggir dermaga, dekat dengan timbunan sampah. Tatapan awal dari orang-orang ini juga benar-benar tidak ramah. Coba bayangkan! Mungkin kalau teman-teman yang ada di posisi saya juga merasa tsayat.
Saya dan empat teman saya, semuanya laki-laki, melewati kumpulan orang-orang ini. Kami ingin menuju ke dermaga dan melihat-lihat lingkungan sekitar. Ketika kami berbelok di satu jalan setapak, Bu Wiji ini berteriak, “Mas, jangan lewat sana. Itu buntu jalannya, balik lagi lewat sini aja.” Inilah awal perbincangan panjang dengan keluarga Bu Wiji.
Saya memberanikan diri membuka perbincangan dengan mereka. Saya bertanya tentang ikan yang sedang langka, dia bertanya kami dari mana. Sampai kami diajak masuk ke depot yang mereka jaga. Begitulah awalnya hingga hampir setiap hari selama di Cilacap, kami bermain sambil berbincang di depot tersebut.
Banyak sekali cerita yang disampaikan oleh Pak Gendut dan Bu Wiji. Pak Gendut bercerita sekitar tahun lalu ia pernah mengalami kapal karam. Selama sehari semalam dia bertahan di laut lepas hanya berpegangan pada bangkai kapal yang terbalik itu. Katanya dari 12 orang yang ada di kapal itu, yang bisa selamat kembali ke darat hanya 11 orang saja. Satu orang hilang sebelum sempat diselamatkan.
Pak Gendut ini juga bercerita tentang masa lalunya, sekitar tahun 1992-1995. Sebelum menikah dengan Bu Wiji, Pak Gendut pernah bekerja sebagai penangkap lumba-lumba di kapal milik peneliti dari Australia. Dari ceritanya, saya berpikir bahwa Pak Gendut ini bisa saja kaya sampai sekarang. Waktu bekerja menangkap lumba-lumba itu, ia mendapat bayaran yang cukup besar. Gajinya Rp 50.000 sehari selama 3 tahun. Belum lagi bonus kalau mendapat lumba-lumba yang dapat dipakai penelitian Rp 100.000 per lumba-lumba.
Bayaran itu sangat besar, mengingat makan dan hidup sudah ditanggung pemilik kapal juga harus diingat itu tahun di mana krisis keuangan belum mencapai puncaknya.
Lucunya uang itu bisa habis, lucu menurut saya. Ya, kehidupan nelayan memang keras. Setiap kali merapat selama 3 tahun tersebut, uang bayarannya bisa langsung habis. “buat foya-foya, Mas. Masih muda waktu itu”
Sekarang, Pak Gendut sudah tidak lagi foya-foya, tidak bisa. Ia jadi seorang bapak, dan suami yang bertanggung jawab. Bekerja apapun untuk membiayai hidup keluarganya. Mengantarkan anaknya ngaji, dan yang buat saya terkejut adalah Pak Gendut hafal beberapa ayat dalam Al-quran dan mengerti artinya. Sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.
Malam terakhir di Cilacap adalah malam yang membuat saya sangat terharu. Saya dan teman-teman yang selama di Cilacap berbincang dengan keluarga Pak Gendut diundang untuk “bakar-bakar ikan”. Ragil yang kebetulan bertemu di hari sebelumnya dipanggil oleh Bu Wiji “Gil, Agil.. Besok malem main ke gudang ya. Kalo dapet ikan nanti dibakarin ikan sama Pak Gendut”
Siapa yang menolak makan ikan bakar segar di pinggir dermaga di malam terakhir? Tidak ada. Tentu saja saya dan teman-teman memenuhi undangan itu.
Satu hal yang benar-benar menunjukkan kehebatan mereka sebagai seorang manusia yang utuh. Ini pikiran saya ketika diundang. Hari-hari ini adalah masanya paila atau paceklik ikan di Cilacap. Sebagai penjaga depot ikan, mereka hanya mendapat bayaran uang makan yang pasti setiap harinya Rp 10.000 saja. Nominal yang tipis dari kata cukup.
Hari itu untungnya depot kedatangan ikan tongkol cukup banyak setelah sangat lama tidak ada ikan. Mereka menyisakan 4 kg ikan tongkol untuk menjamu kami. Menjamu orang-orang baru yang mungkin belum bisa disebut “kenal”. Harga ikan tongkol itu bisa mencapai Rp 13.500 per kilogramnya. Kalikan saja 4 kg, hasilnya lebih dari Rp 50.000 kan. Andai saja ikan itu dijual kepada tengkulak, pasti mereka bisa mendapat penghasilan lebih besar. Tapi ternyata mereka ikhlas membakarkan 4 kg tongkol itu untuk kami.
Sedap sekali ikan bakar malam itu. ikan tongkol dibakar di atas tungku buatan sendiri dari kayu kering dan kulit kelapa kering. Dilumuri minyak goreng dan penyedap rasa, disajikan bersama kecap manis dengan rajangan bawang merah dan cabai. Pedas, mantap, apalagi malam itu hujan gerimis. Muka kami penuh peluh karena terlalu pedas. Sambil didongengi Pak Gendut dan Bu Wiji tentang pengalamannya selama hidup. Seru sekali mendengarkan perjalanan keras kehidupan mereka, karena logat Banyumasan-nya dan gurauan spontan yang dilontarkan.
Malam itu saya belajar tentang bagaimana berbagi yang sebenarnya. Berbagi dari kekurangannya, bukan berbagi dari kelebihan. Sampai sekarang hal itu masih sangat sulit saya lakukan sendiri. Saya masih bisa hidup enak di rumah, makan tanpa merasa sulit, tapi tetap saya masih belum mengerti bagaimana cara berbagi seperti itu. Saya bersekolah sampai perguruan tinggi dan saya harus belajar berbagi dari pasangan suami istri yang tidak pernah lulus SMP.
Mereka tidak pernah mengharap bantuan dari kami, sedikit pun tidak terlisankan keinginan itu. hanya doa dari saya untuk keluarga Pak Gendut agar kebaikan mereka mendapat balasannya apapun bentuknya. Lindungilah mereka dan biarkan mereka tetap menjadi guru untuk berbagi.
Pesan dari Sampah-Sampah
Berada di kampung nelayan di Cilacap kemarin rasanya seperti membuka satu lagi celah untuk melihat dunia nyata. Hawa tidak berahabat yang ditawarkan, keramahan dan penerimaan yang disuguhkan, serta makanan berbahan ikan segar yang disajikan mewarnai kehidupan saya selama lima hari di sana.
Sebuah desa kecil tempat tinggal nelayan yang hidup berdampingan dengan kilang minyak milik Pertamina menjadi tempat tinggal yang cukup menyenangkan selama lima hari berada di sana. Di balik semua pengalaman di Cilacap, ada hal yang membuat saya prihatin. Sampah.
Sepintas, mendengar “pesisir pantai di halaman belakang rumah” yang terbayangkan adalah laut biru muda dengan pasir putih bersih yang bisa dinikmati sambil minum kopi, duduk di kursi kayu di belakang rumah. Tapi yang saya dapatkan ketika sampai di Cilacap adalah laut biru tua sedikit pekat, mungkin karena minyak mentah, dengan pasir hitam yang penuh sampah rumah tangga. Walaupun masih bisa duduk di kursi kayu di belakang rumah sambil minum kopi. Tapi baunya? Campuran antara bau ikan yang diasinkan dan dijemur, bau laut yang amis, bercampur dengan bau sampah seperti di TPA. Sama sekali bukan aroma yang menyenangkan, bahkan mungkin aroma neraka seperti itu.
Jemuran ikan asin |
Tumpukan sampah rumah tangga pinggir di laut |
Permasalahan buang sampah di belakang rumah (baca : pinggir laut) ini hanyalah masalah yang tampak di permukaan saja, ada masalah-masalah lain yang berada di dasarnya, dan lebih banyak lagi yang timbul karenanya.
Sampah-sampah di pinggir laut itu memang sengaja dibuang oleh masyarakat sekitar. Bagi mereka membuang sampah ke laut itu adalah hal yang benar. Dengan logat ngapak khas Banyumasan seorang ibu yang saya tanya tentang buang sampah di laut mengatakan “kalo sampahnya saya buang ke laut kan nanti kalo pas air pasang naik sampahnya bersih, Mas”.
Benar memang ketika air pasang naik, gelombang membawa sampah-sampah itu pergi dari tempat awal membuang sampah, tapi sampah itu hanya akan berpindah tempat saja. Tetap saja masih ada sampah yang terkumpul di pesisir dan kemudian membusuk sehingga membuat bau yang sangat tidak enak.
Masalah sebenarnya tidak hanya berhenti pada aroma saja. Masalah keindahan, kesehatan, dan kelestarian alam jadi efek lain dari sampah-sampah itu. saya sangat suka melihat pantai dan laut, tapi sampah-sampah di pesisir itu benar-benar menghancurkan kecintaan saya pada laut.
Saya sempat bertanya juga pada warga sekitar, apakah tidak ada petugas yang mengambil sampah-sampah rumah tangga tersebut. Jawaban yang saya dapatkan sangat ironis kedengarannya. Ternyata dulu ada petugas yang setiap kali bertugas mengambil sampah dari perkampungan itu. “di sini kan MCK-nya sulit, Mas. Jadi orang-orang itu kalo buang air besar dimasukin ke dalem tas plastik terus dibuang bareng sama sampah, jadi petugasnya males ngambilin sampah lagi.”
Dalam suatu kesempatan, saya berbincang dengan ketua RW setempat. Saya bertanya apakah pemerintah pernah memberikan penyuluhan misalnya untuk masyarakat agar sadar akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Jawaban yang saya terima pun sesuai dengan tebakan saya sebelum menjawab, belum pernah. Saya tidak menyalahkan pemerintah karena tidak memberikan penyuluhan tersebut karena masyarakat juga memang tidak peduli dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Menurut saya sampah di pinggir laut ini mungkin menjadi alasan paila selama 2 tahun belakangan ini. Paila adalah sebutan masyarakat sekitar untuk menyebut paceklik ikan. Selama 2 tahun ini, ikan sangat sedikit bisa ditangkap. Sangat sedikit pendapatan yang diperoleh para nelayan tersebut. Bayangkan saja nelayan yang tiap harinya menyandarkan kehidupan pada ada tidaknya ikan di laut harus bertahan dalam keadaan tidak ada ikan selama 2 tahun. Artinya selama 2 tahun itu otomatis tidak ada pemasukan bagi para nelayan.
Kalau saya jadi ikan juga pasti saya berusaha pergi menjauh dari sampah-sampah itu. baunya mengerikan, dan belum lagi sampah plastik yang mungkin saja tersangkut di insang dan membuat saya tidak bisa bernafas. Jadi tidak heran kalau 2 tahun ini paila terus berlangsung.
Sayangnya para nelayan di Cilacap itu tidak menyadari kerugian dari membuang sampah di pinggir laut tersebut. Hal itu dianggap biasa, tidak ada efek sampingnya. Coba saja masyarakat sekitar sedikit lebih peduli dengan lautnya. Laut yang menyediakan kehidupan bagi mereka sendiri. Mungkin saja ikan-ikan tidak perlu langka, mungkin saja nelayan tetap bisa melaut dan kembali dengan beberapa blong ikan tongkol segar, mungkin saja keindahan pantai dan laut tetap terjaga.
Bisa dilihat kan bahwa hal kecil seperti membuang sampah bisa berakibat pada banyak hal. Saya tidak mengerti apa sulitnya membuang sampah di tempatnya, kesulitannya juga pasti hanya berujung pada satu jawaban, malas.
Sampah-sampah di pantai Cilacap itu menyampaikan pesan pada saya bahwa lagi-lagi hal kecil bisa jadi solusi bagi hal yang lebih besar. Sampah sekecil puntung rokok pun tetap lah sampah, dan kalau tidak dibuang pada tempatnya pasti akan mengganggu, mengganggu kebersihan setidaknya.
Cerita dari Seberang Pulau Penjahat
Baru saja pulang dari Cilacap. Kota di seberang pulau penjahat. Banyak sekali hal yang saya dapatkan dalam perjalanan kali ini. Banyak pula dari pengalaman itu yang jadi bahan renungan saya yang ingin saya bagikan.
Perjalanan ini dalam rangka latihan penelitian jurusan Sosiologi UGM 2010. Sebagai mahasiswa Sosiologi, kemampuan kami untuk melihat kehidupan social secara kritis memang harus dilatih. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penelitian lapangan ini.
Selama di Cilacap saya tinggal di sebuah Desa nelayan, Sentolo Kawat, namanya. Tepatnya di kawasan sekitar RW 01. Deretan rumah kecil berdempetan, dengan ataupun tidak dengan tembok permanen menyambut kedatangan kami. Jalan tanah dan di beberapa tempat berkonblok jadi pijakan awal kami di Cilacap.
Bayangan awal saya ketika berangkat hampir semuanya terputarbalikkan. Saya sudah menduga bahwa desa yang akan saya tinggali dengan 80 teman lain ini adalah desa yang sedikit kurang layak karena bayangan saya tentang pekerjaan nelayan adalah kerja dengan penghasilan kurang juga. Kesan pertama juga sudah mendukung dugaan awal saya itu, tapi ternyata semuanya jadi terbalik karena ternyata banyak juga nelayan yang kaya.
Tempat tinggal saya saja punya televisi yang lebih besar daripada milik saya di rumah. Kamar saya dan 5 teman yang lain berada di lantai atas, mirip loteng tapi cukup besar untuk kami semua. Dan, ada televisi lainnya di dalam kamar kami. Paling menarik adalah pemandangan dari kamar, laut dalam yang dibatasai pulau Nusakambangan dan kapal tanker super besar yang mengapung di atasnya. Pemandangan yang tidak akan bisa ditemui di kota Yogyakarta.
Tapi memang nelayan kaya itu hanya segelintir dari nelayan kebanyakan. Lebih banyak nelayan yang hidup susah di Sentolo Kawat, apalagi dengan adanya paceklik ikan atau yang disebut paila selama 2 tahun belakangan.
Disambut dengan kesenian angklung dari pemuda kampung nelayan, kami serombongan diperlakukan bak rombongan kehormatan. Sedikit tidak nyaman memang dengan keadaan seperti itu, rasanya semua perhatian tertuju pada kami semua. Tapi kemudian yang terpikir adalah bahwa penerimaan masyarakat sekitar sangat baik terhadap kami, dan ini merupakan kabar gembira bagi rencana penelitian kami. Kabar baik bagi keterbukaan yang diperlukan dalam wawancara yang akan kami laksanakan untuk penelitian.
Lima hari bagi saya cukup lama berada di Cilacap, mungkin karena saya sedikit tidak betah berada di sana. Masalah utama yang menyebabkan ketidakbetahan saya adalah masalah hawa dan udara. Waktu tidur malam adalah waktu yang sedikit tidak menyenangkan karena sumuk. Parahnya lagi di rumah saya, khususnya di kamar saya tidak ada kipas angin. Jadilah setiap malam saya tidur hanya berselimutkan sarung. Ya, hanya sarung dan celana dalam. Itu pun setiap pagi badan saya masih selalu basah oleh keringat.
Untungnya kegiatan selama di Cilacap menyenangkan, ditambah lagi orang-orangnya yang ramah membuat rasa sumuk itu tersejukkan. Melihat nelayan berangkat melaut pada pagi hari dari atas jembatan yang setiap kali harus bergoyang karena dilewati truk atau bus. Sekelompok pria berbadan hitam lusuh dengan kaos lengan panjang berbahan saringan tahu menyiapkan perahu untuk mencari ikan dan berharap mendapat beberapa blong ikan setiap pulang. Anak-anak kecil yang selalu terlihat gembira, bermain-main bersama mungkin tidak tahu kesusahan orang tuanya menghadapi paila.
Bertemu dengan banyak orang baru yang sangat menyenangkan. Berkenalan dengan orang-orang dari sisi lain kehidupan. Mendengar banyak cerita dari sepasang suami istri mantan preman pelabuhan yang dermawan. Yang pernah juga bekerja menangkap lumba-lumba bersama kelompok peneliti dari Australia untuk keperluan penelitian. Diberi wejangan dari seorang pengusaha udang yang tidak pernah lulus SD, yang pernah rugi hingga milyard-an rupiah. Berbagi cerita tentang kenakalan remaja dari seorang Haji pemilik kapal nelayan besar yang mantan pemabuk minuman dan ganja asal Sumatera Utara.
Papan Administratif Pemprov Jateng |
anak-anak di sana suka sekali difoto |
2 hari pertama, ada kapal tanker super besar di dekat lampu yang menyala itu |
ini hasil tangkapan nelayan setempat, hiu 200kg |
pertandingan melawan PSN (Persatuan Sepakbola Nelayan) |
Ini adalah sebuah pengalaman baru. Pengalaman baru yang akan menjadi bekal bagi perjalanan saya selanjutnya. Memepatkan waktu dan jarak dalam tulisan-tulisan yang akan saya lakukan agar selalu terikat baik dalam mengahadapi guncangan-guncangan di perjalanan nantinya.
*foto-foto oleh Jason Iskandar
Langganan:
Postingan (Atom)