Masih lekat dalam ingatan kita peristiwa Joni Malela. Seorang tuna netra yang harus menemui akhir hidupnya saat berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia.
Kuatnya keinginan orang-orang itu untuk sekadar bertemu SBY atau sebenarnya sepiring makanan lah yang mendorong mereka untuk datang ke sana, membuat mereka rela berdesakan seperti itu. Kalau memang iya karena masalah perut, sebegitu miskinnya ya Indonesia sampai makanan gratis di hari raya pun harus berebutan seperti itu?
Tetapi bukan masalah makan yang ada di benak saya. Pertanyaanku apakah pengatur acara di Istana Presiden tidak mengerti yang namanya system antre ya? Seburuk itukah pendidikan di Indonesia sampai mereka tidak tahu, tidak bisa, atau tidak mau antre? Saya membayangkan kalau kejadian kemarin itu petugas sudah menyiapkan pembatas atrean. Karena kalau memang masyarakat belum sadar untuk antre, setidaknya mereka bisa kan diperintah untuk antre. Jalur antrean itu mungkin bisa mengurangi orang-orang itu berdesakan.
Seperti ketika seseorang yang ingin menabungkan hasil dari pendapatan minus konsumsi di bank. Ada pembatas untuk mengatur jalur antrean nasabah, sehingga jelas mana yang lebih dulu bisa dilayani. Atau memang berdesakan itu yang diharapkan oleh presiden dengan membuat open house di kediamannya? Semacam politik citra, ketika sangat banyak yang datang ke open house itu semakin menunjukkan pula bahwa presiden kita itu benar-benar masih dicintai oleh rakyatnya. Kalau memang benar seperti itu,sepertinya sudah tidak relevan lagi dijalankan oleh Pak Presiden. Orang Indonesia tahu kalau ia didukung oleh 62 % rakyat Indonesia, apa gunanya lagi politik citra seperti itu?
Parahnya, jangankan orang-orang yang datang ke rumah SBY kemarin itu yang notebene adalah orang-orang dengan pendidikan tidak tinggi, bahkan orang-orang kaya yang punya uang lebih untuk pergi ke luar negeri itu pun banyak yang tidak tahu caranya antre.
Ini pengalaman saya sendiri, merasakan perbedaan yang sangat njegleg ketika sempat menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, Changi, dan Frankfurt. Di ketiga bandara internasional di tiga negara yang berbeda ini juga punya perbedaan yang sangat terasa. Mulai di Bandara Soekarno-Hatta, orang-orang Indonesia dengan mudahnya menerobos antrean. Sepertinya hanya mereka sendiri yang terburu-buru di sana. Sampai di Changi, mulai berubah keadaannya sedikit lebih tertib, walaupun masih ada yang serobot sana serobot sini (ga heran, sebagian besar masih orang Indonesia juga). Lebih-lebih ketika sudah masuk Bandara Internasional di Frankfurt, ketertibannya sangat terlihat. Bandara di mana orang-orang di negara itu memang sudah terkenal dengan ketertibannya.
Bukan mau membanding-bandingkan dengan negara lain, tapi belajar dari orang lain untuk menjadi lebih baik kan juga tidak pernah salah. Kembali ke masalah Joni Malela tadi. Kalau sudah ada kejadian seperti ini kemudian orang berlomba-lomba mencari kambing hitam dari tewasnya Joni Malela. Presiden sendiri juga sudah memberi santunan 10 juta rupiah, dan dengan begitu sudah selesai semua(?)
Sebenarnya saya ingin memberikan sisi lain yang bisa saya dapat dalam melihat peristiwa yang menghilangkan satu kehidupan di negara ini. Kebiasaan kecil yang kadang tidak terpikirkan seperti antre itu mungkin bisa menjadi solusi bagi kabar yang kadang dibesar-besarkan.
hAY HAY ini puput temennya ola mampir blog mu..
BalasHapusbudayakan antreee ..haha :D