Jumat, 02 Januari 2015

Merayakan Rasa Kebaruan



Aku selalu menunggu momen pergantian tahun. Entah kenapa, mungkin karena momen itu dekat dengan momen Natal. Dulu, sekitar sepuluh hingga lima belas tahun yang lalu, Natal dan Tahun Baru adalah saat-saat paling kutunggu-tunggu. Bukan hanya karena biasanya akhir Desember adalah libur sekolah, sehingga aku bisa berpuas-puas menonton televisi, karena biasanya televisi di rumahku tidak boleh menyala di malam hari untuk memberiku dan kakak-kakakku waktu untuk belajar, walaupun tidak jarang juga masing-masing dari kami menghabiskan waktu di dalam kamar untuk tidur-tiduran atau membaca buku komik sampai akhirnya lupa mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang kemudian diselesaikan pada pagi harinya di kelas sebelum guru mata pelajaran pertama datang ke kelas untuk mulai memberikan materi.

Seiring waktu terus berjalan momen Natal tidak lagi seistimewa seperti waktuku kanak-kanak. Aku sadar, kalau itu hari yang istimewa bagi kepercayaan yang kubawa sejak lahir ini. Akan tetapi suasana itu semakin hari semakin menjadi sesuatu yang sekadar dirayakan tanpa betul benar dirasakan. Malah beberapa waktu terakhir ini, perdebatan nyinyir segelintir orang tentang boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal tidak menambah baik suasana perayaan tersebut.

Berbeda dengan yang aku rasakan dengan tahun baru. Hingar-bingar perayaan tahun baru menjadi lebih melekat dalam memoriku. Padahal tahun baru bukan berasal juga dari kepercayaan keimananku. Tidak ada dogma, tidak ada kewajiban, tidak ada paksaan pada setiap orang untuk merayakannya. Tahun baru tidak sekadar perayaan hingar-bingar gegap gempita penuh orang yang bertempik sorak menghitung mundur detik-detik yang tidak pernah terpengaruh pada perayaan atau peringatan apapun. Detik jadi menit, melanjut jam - tetap, konstan - jadi konsep waktu yang disepakati oleh manusia untuk mereka bisa membedakaan hari ini, kemarin, besok, tulat, dan tubin - sekarang, tadi, nanti dan sebentar lagi.

Tahun baru buatku jadi semacam pembatas antara sudah melakukan banyak hal dan akan melakukan apa lagi. Momentum pergantian ini jadi semacam ruang dan waktu hampa antara kemarin dan esok. Saat ketika aku mencoba memanfaatkan 'saat ini' dengan merenungkan yang telah lalu untuk memasuki tahap khawatir dengan apa yang belum terjadi setelah ini.
...
Bersyukur. Tidak ada hal yang lebih baik kulakukan kecuali bersyukur dalam momen ini. Melihat sejenak perjalan tahun ini, apa yang sudah kuraih dan yang belum bisa - apa sudah kuselesaikan dan yang masih kutunda. Segala kepuasan dan kekecewaan, segala cabang yang harus dituntaskan dengan pilihan, seluruh kebimbangan yang berlanjut dengan keputusan - semuanya hanya bisa disyukuri sekarang. Ketimbang aku menyesali hal-hal yang tidak sesuai keinginanku, toh aku tak bisa lagi mengulangi saat itu, lebih baik aku bersyukur karena seburuk apapun keputusan yang kubuat, aku sudah bisa melalui tahun ini dengan keadaan yang tidak mungkin bisa lebih baik dan tidak lebih baik. Hidup cuma sekali, jadi percayalah segala yang sudah berhasil kamu lewati adalah keputusanmu yang terbaik.

Aku juga percaya bahwa bersyukur adalah cara untuk mendapatkan lebih banyak hal yang kemudian harus disyukuri lagi kemudian, buatku ini semacam sebuah lingkaran positif. Seperti perdebatan mana yang lebih dulu ayam ataukah telurnya? (Walaupun di kitab suci sudah tertulis jawabnya. Tuhan tidak pernah menciptakan telur). Bersyukur karena sudah mendapat banyak, atau bersyukur untuk mendapat lebih banyak? Atau mungkin kamu lebih suka sekadar bersyukur tanpa memikirkan kausalitasnya. Kamu bisa bersyukur pada siapapun (apapun?). 

Penafsiranku, bersyukur tidak selalu merujuk pada hubungan vertikal manusia dan Tuhannya. Bersyukur juga merupakan cara berkomunikasi pada diri sendiri, pada alam bawah sadarmu, pada hati nurani. Bersyukur, melepaskan segala beban yang selama ini sudah berhasil kubawa juga berarti aku memberi penghargaan pribadi atas segala kepuasan dan kekecewaan, segala cabang yang harus dituntaskan dengan pilihan dan seluruh kebimbangan yang berlanjut dengan keputusan.
...
Tahun baru dengan segala keriaannya selalu menyentak ditunggu. Menutup satu periode waktu dan bersiap untuk periode berikutnya. Menutup dengan bergembira supaya bersemangat pula membuka pagina yang baru. Detonasi bunga api yang membakar malam, menyisakan asap dan redusi padat belerang dan mesiu, turut berdentum juga dalam dadaku. Membakarku untuk mengerjakan sesuatu lebih baik lagi di kesempatan yang lain.

Kebaruan adalah sesuatu yang menyenangkan bagi para pecinta hal dinamis. Tidak ada yang tetap konstan kecuali waktu yang sudah terkonsepsi. Itu kenapa aku menikmati Tahun Baru dengan kegembiraan, dengan kesenangan. Bukan hanya sekadar merayakan kebaruan itu, merasakan juga kebaruan perlu juga dengan mengubah hal-hal lama yang perlu diubah, mengubah sesuatu yang baik jadi lebih baik. Terpenting satu rasa yang tidak boleh dilupa, syukur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar