Aku selalu menunggu momen pergantian tahun.
Entah kenapa, mungkin karena momen itu dekat dengan momen Natal. Dulu, sekitar
sepuluh hingga lima belas tahun yang lalu, Natal dan Tahun Baru adalah
saat-saat paling kutunggu-tunggu. Bukan hanya karena biasanya akhir Desember
adalah libur sekolah, sehingga aku bisa berpuas-puas menonton televisi, karena
biasanya televisi di rumahku tidak boleh menyala di malam hari untuk memberiku
dan kakak-kakakku waktu untuk belajar, walaupun tidak jarang juga masing-masing
dari kami menghabiskan waktu di dalam kamar untuk tidur-tiduran atau membaca
buku komik sampai akhirnya lupa mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang kemudian
diselesaikan pada pagi harinya di kelas sebelum guru mata pelajaran pertama
datang ke kelas untuk mulai memberikan materi.
Seiring waktu terus berjalan momen Natal tidak
lagi seistimewa seperti waktuku kanak-kanak. Aku sadar, kalau itu hari yang
istimewa bagi kepercayaan yang kubawa sejak lahir ini. Akan tetapi suasana itu
semakin hari semakin menjadi sesuatu yang sekadar dirayakan tanpa betul benar
dirasakan. Malah beberapa waktu terakhir ini, perdebatan nyinyir segelintir
orang tentang boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal tidak menambah baik
suasana perayaan tersebut.
Berbeda dengan yang aku rasakan dengan tahun
baru. Hingar-bingar perayaan tahun baru menjadi lebih melekat dalam memoriku.
Padahal tahun baru bukan berasal juga dari kepercayaan keimananku. Tidak ada
dogma, tidak ada kewajiban, tidak ada paksaan pada setiap orang untuk
merayakannya. Tahun baru tidak sekadar perayaan hingar-bingar gegap gempita
penuh orang yang bertempik sorak menghitung mundur detik-detik yang tidak
pernah terpengaruh pada perayaan atau peringatan apapun. Detik jadi menit,
melanjut jam - tetap, konstan - jadi konsep waktu yang disepakati oleh manusia
untuk mereka bisa membedakaan hari ini, kemarin, besok, tulat, dan tubin -
sekarang, tadi, nanti dan sebentar lagi.
Tahun baru buatku jadi semacam pembatas antara
sudah melakukan banyak hal dan akan melakukan apa lagi. Momentum pergantian ini
jadi semacam ruang dan waktu hampa antara kemarin dan esok. Saat ketika aku
mencoba memanfaatkan 'saat ini' dengan merenungkan yang telah lalu untuk
memasuki tahap khawatir dengan apa yang belum terjadi setelah ini.
...
Bersyukur. Tidak ada hal yang lebih baik
kulakukan kecuali bersyukur dalam momen ini. Melihat sejenak perjalan tahun
ini, apa yang sudah kuraih dan yang belum bisa - apa sudah kuselesaikan dan
yang masih kutunda. Segala kepuasan dan kekecewaan, segala cabang yang harus dituntaskan
dengan pilihan, seluruh kebimbangan yang berlanjut dengan keputusan - semuanya
hanya bisa disyukuri sekarang. Ketimbang aku menyesali hal-hal yang tidak
sesuai keinginanku, toh aku tak bisa lagi mengulangi saat itu, lebih baik aku
bersyukur karena seburuk apapun keputusan yang kubuat, aku sudah bisa melalui
tahun ini dengan keadaan yang tidak mungkin bisa lebih baik dan tidak lebih
baik. Hidup cuma sekali, jadi percayalah segala yang sudah berhasil kamu lewati
adalah keputusanmu yang terbaik.
Aku juga percaya bahwa bersyukur adalah cara
untuk mendapatkan lebih banyak hal yang kemudian harus disyukuri lagi kemudian,
buatku ini semacam sebuah lingkaran positif. Seperti perdebatan mana yang lebih
dulu ayam ataukah telurnya? (Walaupun di kitab suci sudah tertulis jawabnya.
Tuhan tidak pernah menciptakan telur). Bersyukur karena sudah mendapat banyak,
atau bersyukur untuk mendapat lebih banyak? Atau mungkin kamu lebih suka
sekadar bersyukur tanpa memikirkan kausalitasnya. Kamu bisa bersyukur pada
siapapun (apapun?).
Penafsiranku, bersyukur tidak selalu merujuk pada hubungan
vertikal manusia dan Tuhannya. Bersyukur juga merupakan cara berkomunikasi pada
diri sendiri, pada alam bawah sadarmu, pada hati nurani. Bersyukur, melepaskan
segala beban yang selama ini sudah berhasil kubawa juga berarti aku memberi
penghargaan pribadi atas segala kepuasan dan kekecewaan, segala cabang yang
harus dituntaskan dengan pilihan dan seluruh kebimbangan yang berlanjut dengan
keputusan.
...
Tahun baru dengan segala keriaannya selalu menyentak ditunggu. Menutup
satu periode waktu dan bersiap untuk periode berikutnya. Menutup dengan
bergembira supaya bersemangat pula membuka pagina yang baru. Detonasi bunga api
yang membakar malam, menyisakan asap dan redusi padat belerang dan mesiu, turut
berdentum juga dalam dadaku. Membakarku untuk mengerjakan sesuatu lebih baik
lagi di kesempatan yang lain.
Kebaruan adalah sesuatu yang menyenangkan bagi para pecinta hal dinamis.
Tidak ada yang tetap konstan kecuali waktu yang sudah terkonsepsi. Itu kenapa aku menikmati Tahun Baru dengan kegembiraan, dengan kesenangan. Bukan hanya
sekadar merayakan kebaruan itu, merasakan juga kebaruan perlu juga dengan mengubah
hal-hal lama yang perlu diubah, mengubah sesuatu yang baik jadi lebih baik. Terpenting satu rasa yang tidak boleh dilupa, syukur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar