“Makna rindu itu semakin tereduksi oleh keberadaan teknologi”
Kalimat ini aku tulis di
draft blog
diefolgerung.blogspot.com milikku sejak tanggal 3 Mei 2013. Belum
sempat aku lanjutkan karena aku masih belum bisa menjelaskan dengan
kalimat yang tepat apa maksud kalimat yang tiba-tiba muncul di pemikiran
aku itu.
Ternyata beberapa minggu kemudian, bahasan dalam kelas
sama dengan apa yang aku pikirkan tersebur. Keintiman dalam hubungan
dengan siapapun mengalami transformasi karena adanya teknologi Diakui
atau tidak, disadari atau tidak, memang itu kenyataannya.
Teknologi
membuat semuanya dapat diketahui dengan cepat, sangat cepat malah. Aku
bisa dengan cepat mengetahui apa yang terjadi di jauh sana apa yang
sedang dikerjakannya. Aku bisa dengan mudah mengetahui kecelakaan di
seberang laut sana. Rasanya semua menjadi semakin mudah, terlalu mudah
bahkan. Mengetahui menjadi suatu hal yang jauh lebih mudah daripada
beberapa dekade terakhir.
Bahkan sampai saya berpikir bahwa
sepertinya tidak ada lagi waktu untuk merasa rindu. Terlalu cepat kabar
bisa diketahui. Semakin tidak ada jarak yang bisa memunculkan rasa rindu
itu.
Saya mengetahui satu cerita paling romantis yang pernah saya
dengar. Ini kisah nyata, dan pelakunya masih hidup di negeri ini.
Usianya sudah senja, tapi bisa memberikan inspirasi bagi kita yang masih
akan terbit ini. Kisah ini dijadikan Papermoon Puppet Theater untuk
menjadi ide cerita salah satu pertunjukannya setahun yang lalu. Judulnya
“Setjangkir Kopi dari Plaja”. (Secangkir Kopi dari Playa)
Adalah
sepasang kekasih, tinggal di Jakarta. Waktu itu tahun 1960. Si lelaki
adalah salah satu dari 17 mahasiswa terbaik yang dipilih oleh Ir.
Soekarno untuk diberi beasiswa belajar di Rusia, Uni Soviet waktu itu.
Ia dibiayai untuk belajar metalurgi di Negara komunis itu. 5 tahun harus
dijalaninya untuk belajar, tidak ada kesempatan untuk pulang di
sela-selanya, karena belum semudah sekarang untuk berpindah tempat.
Janjinya pada kekasihnya, “aku akan menikahimu sekembalinya aku
belajar”. Keduanya berpisah dengan ketakutan akan rasa rindu.
Hampir
lima tahun berselang, si lelaki sudah hampir saatnya bisa pulang.
Ternyata pecahlah konflik G30S, yang katanya didalangi oleh Partai
Komunis Indonesia. Konflik ini membuat hubungan Indonesia dengan Uni
Soviet yang telah dibangun oleh Ir. Soekarno lewat NASAKOM-nya menjadi
runtuh, seketika rusak. Si Lelaki tidak bisa pulang,
passport-nya dicabut, tidak lagi dianggap sebagai warga Negara Indonesia, hanya karena ia belajar di Negara komunis (?)
Tidak ada
handphone, tidak ada internet dengan
facebook, twitter
dan media jejaring sosial yang lainnya. Satu-satunya kesempatan bagi si
lelaki untuk memberi kabar pada kekasihnya adalah dengan surat. Tapi
hubungan kerja sama Indonesia dan Uni Soviet rusak. Jadi tidak ada lagi
kesempatan itu. Tanpa sanak saudara dan keluarga, hanya dengan
teman-teman, dan tanpa status kewarganegaraan.
Ia berjuang, dan
mungkin sudah pasrah kalau memang sudah tidak lagi bisa pulang. Bertemu
dengan seluruh keluarganya dan tentu saja kekasihnya yang sudah
dijanjikan untuk menikah. Ia melanjutkan belajarnya hingga ia berpindah
ke Kuba, Negara komunis yang lain. Tinggalah ia di sana, di sebuah kota
bernama Playa. Ia menjadi ahli metalurgi, hingga diberi kewarganegaraan
istimewa oleh Kuba, ia menjadi aset untuk Kuba. Padahal seharusnya ia
bisa jadi aset berharga untuk negeri ini, itu hal yang sudah
direncanakan oleh Soekarno waktu itu. Andai saja kejadian ’65 tidak
seburuk itu.
Tiga puluh lima tahun lamanya ia tidak bisa memberi
kabar pada semua yang ada di Indonesia. Sampai pada suatu waktu, Gusdur,
yang menjadi Presiden kala itu mengetahui cerita tentang si lelaki dan
beberapa teman yang lain, yang tidak bisa pulang. Dengan bantuan
Presiden Gusdur itulah si lelaki bisa pulang. Satu orang yang paling
ingin ditemuinya adalah kekasihnya. Ia masih ingat janji akan menikahi
gadis yang dicintainya itu. Tiga puluh lima tahun si lelaki sama sekali
tidak menikah, karena baginya janji harus ditepati. Ia mencari kabar
tentang kekasihnya itu, mereka akhirnya bertemu dan ternyata kekasihnya
sudah menikah dengan orang.
Aku tidak bisa membayangkan perasaan
dua orang ini. Si lelaki yang bertahan bertahun lamanya untuk berusaha
memenuhi janjinya, menikahi seorang gadis. Ternyata kekasihnya sudah
tidak lagi sendiri. Kekasihnya juga pasti juga hancur perasaannya.
Mengetahui kalau ternyata lelaki pujaannya berpuluh tahun lalu masih
ingat dengan janjinya dan memenuhinya. Perempuan mana yang tidak
tersanjung?
Pak Widodo dan Bu Widari. Keduanya masih hidup. Bu
Widari tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Sedangkan Pak Widodo
kembali ke Kuba, karena di sana ia dibutuhkan.
Kisah cinta yang
rasanya klise, tetapi aku merasakan jika kisah seperti ini tidak akan
bisa terulang. Romantis dan kisah cinta yang lain akan muncul sesuai
dengan tanda-tanda zaman yang memang juga berubah.
Andai saja
internet sudah bisa diakses dengan mudahnya seperti saat ini, andai saja
informasi yang bisa didapat oleh seseorang sudah dengan luasnya
menyebar pasti Pak Widodo dan Bu Widari bisa saling memberi kabar.
Mungkin Pak Widodo dan Bu Widari bisa menjadi pasangan suami istri.
Mungkin kisah cinta mereka akan berlanjut menjadi lebih baik, tidak ada
penyesalan. Tapi mungkin juga mereka akan pecah di tengah jalan. Mungkin
saja janji Pak Widodo pada Bu Widari tidak akan bertahan selama ini.
Siapa yang tahu?
Ketiadaan teknologi kala itu membuat janji anak
muda itu bertahan selamanya, dan menjadi fenomenal karenanya. Ketiadaan
teknologi juga yang membuktikan bahwa kekuatan janji tentu bisa
mengalahkan waktu. Saat ini, kita terlalu cepat merasa curiga, terlalu
mudah berasumsi. Rasa rindu menjadi sekadar tanpa kabar 12 jam, 7 jam,
53 menit, bahkan 3 menit. Tidak ada lagi rasa rindu yang terikat kuat di
dalam hati. Jadi, sampai saat ini aku masih bisa percaya bahwa rindu
terdalam itu memang menunggu yang tak kembali.