Lagu ini, beberapa waktu lalu terputar secara tidak sengaja di playlist Ipod milikku. Lagu yang tentu sangat tidak asing, untukku, untuk banyak orang yang lain juga. Meskipun sering aku mendengar lagu tersebut, tetapi baru siang itu aku mendengarkan liriknya. Hahaha, pasti kamu juga tidak jarang melakukan hal sepertiku. Sering mendengar, tetapi baru lama berselang memperhatikan lirik lagunya. Sama!
Siang itu, tiba-tiba menjadi perenungan untukku.
“Jika surga dan neraka tak pernah ada. Masihkah kau, sujud kepada-Nya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada. Masihkah kau menyebut nama-Nya?”
Lagu itu memaksaku melihat ke dalam diri sendiri. Mencoba melihat sekitar. Mencoba bertanya, Masihkah? Apa selama ini perbuatan baikku hanya karena aku ingin masuk surga? Apakah selama ini aku tidak berbuat jahat hanya karena aku tidak ingin masuk neraka? Kenapa aku tidak berbuat baik hanya karena aku mau berbuat baik. Kenapa aku harus tidak berbuat jahat hanya karena tidak ingin masuk neraka. Dua “tempat” yang bahkan mungkin tak pernah ada. Mengapa aku tidak melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibat abstraknya? Dengan alasan yang sudah pasti nyata.
“Bisakah kita semua benar-benar sujud sepenuh hati
karena sungguh memang Dia memang pantas disembah, memang pantas dipuja”
Bisakah? Apakah aku terlalu sombong untuk mau yakin bahwa Ia memang sudah layak dan sepantasnya disembah dan dipuja? Kalau aku bisa merendahkan hati lebih jauh lagi sesungguhnya aku tidak perlu janji surga dan neraka untuk bisa dan mau menempatkan-Nya di tempat tertinggi. Iman akan Dia seharusnya cukup membuatku berbuat yang terbaik hanya demi kemuliaan-Nya yang semakin besar.
“Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya?
Atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga”
Apakah benar jika ketulusan itu sudah punah? Karena bahkan pada-Nya pun aku masih berharap pamrih. Berbuat baik pun harus berharap didekatkan pada surga dan dijauhkan dari neraka. Mengapa tidak aku membuang jauh konsep surga dan neraka kemudian berbuat baik begitu saja. Atau memang ternyata benar kalau semua orang butuh “bayaran” untuk segala sesuatu yang dikerjakannya?
Aku tidak meragukan keimanan siapapun kecuali diriku sendiri. Aku hanya skeptis pada diri sendiri, apakah benar aku tidak pernah tulus berbuat baik? Memang benar ketulusan sudah punah (?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar