Separuh wanita, separuh pria. Seorang wanita yang hidup
“terjebak” di dalam raga pria. Mereka yang dianggap tabu dan dipandang
menyimpang oleh lingkungan. Dijauhi secara sosial dan pandangan religius.
Bahkan kadang keluarga pun tidak mau lagi menerimanya sebagai bagian di
dalamnya. Belum lagi kesulitan mendapat kerja, baik di sektor formal maupun
informal, itu yang membuat mereka kebanyakan menggantungkan nasibnya pada
kerja-kerja yang lagi-lagi menjadi stereotype bagi tindakan menyimpang mereka.
Tapi sadarkah kamu kalau mereka juga manusia, yang butuh makan, butuh teman,
butuh ibadah? Mereka juga butuh merasakan cinta yang sama, dari keluarga, dari
lingkungan pertemanan.
Di Thailand, banyak orang yang menjadi ladyboy. Melihat
waria di sana adalah hal biasa, bahkan ada sekolah khusus bagi waria. Artinya
bahwa kecenderungan menjadi seorang waria memang sudah terlihat dari awal, dan
artinya juga di Thailand penerimaan mereka akan hal itu sudah sangat tinggi.
Thailand adalah sebuah Negara kerajaan yang aktivitas religiusnya cukup tinggi.
Tuhan dalam pandangan mereka adalah sempurna. Sempurna dalam arti segalanya.
Tuhan tidak bisa hanya dipandang sekadar laki-laki atau perempuan. Tuhan lebih
sempurna dari dua jenis kelamin tersebut. Tidak ada yang bisa menghakimi mana
jenis kelamin yang benar dan belum tentu ada salah satu yang salah.
Menjadi seorang waria bukanlah pilihan, bukan juga penyakit.
Kalau bisa memilih, sejak lahir mereka pasti akan memilih salah satu. Kalau itu
penyakit, coba carikan dokter yang bisa menyembuhkannya. Mereka akan dengan
senang hati menerima obatnya. Seperti yang dikatakan oleh Bu Maryani, seorang
waria yang mendirikan pesantren khusus waria di sekitar Notoyudan.
Pesantren Waria ini adalah tanda harapan dari kaum waria.
Harapan mereka untuk sebuah penerimaan. Penerimaan dari orang-orang sekitar.
Penerimaan akan keberadaan dan keberibadahan waria. Bahwa waria juga punya hak
yang sama dalah beribadah. Bahwa Tuhan menciptakan mereka sempurna juga adanya,
tidak hanya separuh.
Para waria seperti yang sering berkegiatan di pesantren
waria itu semacam dipaksa untuk terus hidup di lingkungan kota besar. Hampir
tidak tersedia penerimaan yang cukup di lingkungan sekitar ketika mereka ingin
tinggal di desa yang hubungan antarindividunya masih intim. Untuk itulah mereka
berkutat di tengah kota besar, di mana mereka bisa “bersembunyi” dengan cara
melebur dalam kehidupan kota yang semakin individualis. Pergi ke kota dan
meninggalkan masa lalu mereka, di mana banyak orang yang mengenal mereka
sebelumnya.
Tantangan generasi orang tua kita adalah tentang penerimaan
keputusan yang berhubungan dengan masalah keyakinan. Orang tua dari anak muda
di masa seperti ini masih banyak yang merasa keberatan ketika anaknya
memutuskan untuk pindah agama, atau misalnya memilih pasangan yang tidak
seiman. Sepertinya hal itu menjadi masalah besar bagi keluarga. Masalah besar
bagi nama baik orang tua, bisa dianggap tidak berhasil mendidik anak sesuai
ajaran agamanya.
Bisa jadi tantangan generasi muda saat ini di masa depan
adalah menerima orientasi seksual anak kita kelak. Buatku, akan sangat sulit
rasanya ketika anak lelakiku mendatangiku dengan perasaan cemas dan berkata,
“Pak, aku gay”. Bisa jadi anakku akan melontarkan protes yang sama atas
kekolotan orang tuanya dalam menerima keadaan. Bisa jadi, sangat mungkin.
“Bahwa Tuhan tidak pernah menghakimi, hanya manusia yang selalu berusaha menuhani manusia lain” – Bu Maryani