Setelah kesekian kalinya saya menonton film tentang pergerakan mahasiswa Indonesia yang dipimpin oleh Soe Hok Gie, Seorang Tionghoa yang sangat kritis menentang Soekarno di akhir kepemimpinannya. Ada hal yang tiba-tiba menarik perhatian saya saat menonton film “Gie” kali ini. Satu adegan saat ada malam keakraban di kampus, Ira, yang diperankan oleh Sita Nursanti menyanyikan folks song yang terkenal saat itu. “Donna Donna” lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Joan Baez ini kata Ibu saya adalah lagu wajib mahasiswa pecinta alam di masa itu. Jadi memang wajar sebenarnya kalau lagu ini dipilih untuk menjadi soundtrack film “Gie”. Tapi waktu itu saya merasa harusnya ada hal lain yang berhubungan dengan setting film itu.
Bertanya
pada Google yang mahatahu, saya
menemukan hal-hal yang sangat menarik untuk dapat menjelaskan rasa penasaran
saya. Mungkin ini hanya pikiran sok tau saya saja atau memang ada hubungannya,
saya tidak bisa meyakinkan kecuali saya bertanya langsung pada sutradara atau music scoring film “Gie” itu. Ada
simbol-simbol yang bisa dijelaskan dan ternyata berhubungan dengan keadaan
politik Indonesia di tahun 1960an tersebut.
Kata
Ibu saya, “Donna Donna” itu memang
sangat terkenal di tahun-tahun sekitar 1960. Apalagi di kalangan mahasiswa
pecinta alam di Indonesia. Hampir di setiap acara pecinta alam, di camp saat mendaki, mereka menyanyikan
lagu itu. Kata Ibu mirip sepert lagu wajib pecinta alam. Dan seperti yang sudah
saya tuliskan tadi bahwa folks song sedang
menjadi hype. Joan Baez adalah
seorang ratu folks song tersebut,
maka jadilah ia sangat terkenal.
Lirik
lagu itu menceritakan tentang anak lembu yang dipekerjakan oleh petani dan
berakhir pada penyembelihan. Lembu atau kerbau, yang saya ketahui dalam tradisi
suku-suku di Indonesia juga adalah hewan yang biasa dijadikan pekerja atau
hewan sembelihan. Kecuali di Solo dengan kebo
bule-nya seperti itulah nasib lembu atau kerbau.
Lembu
tidak bisa melawan majikannya, ia diikat dan selalu dipaksa untuk bekerja.
Membajak sawah, memutar penggilingan gandum dalam pembuatan mie secara
tradisional, itu tugas kerbau. “Stop
complaining!” said the farmer”. Kebo
saja tidak bisa melawan apalagi gudel
(anak kerbau dalam bahasa Jawa). Dan yang dibahasa dalam lirik lagu “Donna Donna” adalah calf bukan buffalo. Menurutku ini sebagai ungkapan ekstrim yang menjelaskan
keadaan kaum yang teraniaya. Pada akhirnya lembu yang tidak produktif atau
mecoba melawan berakhir pada penyembelihan itu. “Calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why.”
Lembu yang terikat pada cincin
yang ditusukkan ke hidung, membuatnya harus patuh dan tidak dapat melawan.
Kehidupan kaum buruh di masa itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat
Indonesia kebanyakan. Pengaruh politik PKI dan koalisinya dengan Soekarno
membuat paham komunis cukup kuat tertanam pada akar kehidupan masyarakat
Indonesia. Masyarakat juga tidak ubahnya seperti lembu yang terikat. Harus
patuh dan tidak dapat melawan. Kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya
membatasi gerak masyarakat untuk meperoleh kebenaran dan menyuarakan kebenaran,
karena semuanya dibungkam.
Perhatian
saya pribadi tertuju pada keadaan politik di setting film tahun 1960an. Politik pada masa
itu identik dengan pergerakan PKI, kedekatannya dengan Soekarno, serta gerakan
“menghilangkan” segala unsur PKI di Indonesia. PKI bergerak membela kaum buruh,
kaum yang tereksploitasi. Ketika mereka berupaya untuk sadar akan kondisi
kelasnya mereka dibungkam bahkan dihancurkan. PKI waktu itu dituduh sebagai
dalang pembunuhan 8 jenderal yang kemudian menyulut emosi seluruh masyarakat
Indonesia. PKI sebenarnya bergerak membela kaum tersingkir, kaum buruh.
Soeharto dengan cerita-ceritanya
kemudian menanamkan kebencian terhadap PKI dan ajaran komunisnya. Melalui buku
sejarah yang dipakai untuk kurikulum sekolah, film tentang G30S/PKI yang setiap
tahun selalu ditayangkan di televisi kebencian itu dipupuk dan dilestarikan. “Reproduksi
stigma adalah alat politik. Soeharto dianggap pahlawan karena dia berhasil memproduksi
stigma terhadap PKI tersebut.” (Arie Sudjito, 22 Maret 2012).
Kemudian yang terjadi adalah
banyak kasus yang menceritakan tentang kesewenang-wenangan tentara dalam
menghancurkan PKI. Mereka yang terlibat atau dianggap terlibat atau dituduh
terlibat menghilang begitu saja. Dari buku yang saya baca “Suara Perempuan
Korban Tragedi ‘65” hasil penelitian Ita F Nadia, mantan anggota Komnas
Perempuan, juga diceritakan pengalaman mereka yang dituduh menjadi anggota
Gerwani. Perkosaan fisik dan mental harus mereka alami. Pelakunya? Para tentara
yang menangkap mereka atas nama komando. Ini hal yang ingin disampaikan pada
lirik “Calves are easily bound and slaughtered, never knowing
the reason why.” Mereka kemudia ditindas lebih jauh tanpa tahu apa alasannya. Mereka
menjadi hanya menjadi orang yang tertuduh, walaupun tidak semuanya benar.
Mengulang lagi mengenai tulisan
ini, saya tidak yakin ini pemikiran sok tahu saya yang sok menggabung-gabungkan
lagu dengan fakta atau memang ini benar. Jadi jangan langsung percaya dengan
apa yang kamu baca, dan jangan langsung menghakimi siapa pun juga. Karena
jadinya hanya akan mengulang sejarah kehilangan, sejarah kelam yang pernah
dilalui oleh bangsa ini di tahun 1960an. Sejarah yang seharusnya dipahami dan
bukan langsung dianggap sebagai kebenaran mutlak dari para penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar