Rabu, 11 Maret 2015

Arirang dan Rasa




Arirang, Arirang, Arariyo…
Arirang gogaero neom-eoganda.
Nareul beorigo gasineun nim-eun
Simnido motgaseo balbyeongnanda.


Alunan lagu Arirang hampir selalu berhasil membuat para pendengarnya takjub. Kadang bukan hanya karena suara yang merdu, tapi kedalaman rasa orang Korea saat menyanyikannya yang berhasil menyihir. Berhasil merasuk ke dalam hati mereka yang mendengarkannya.

Arirang menjadi semacam “lagu kebangsaan” kedua bagi masyarakat Korea, dan juga sudah tercatat oleh UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage punya makna besar dalam kehidupan masyarakat Korea. Walaupun memang sudah banyak yang hanya terbawa arus, tidak paham makna. Tapi kamu tidak perlu ragu dengan cinta yang dituangkan orang Korea saat menyanyikan Arirang. Kamu pasti bisa merasakannya.

Kata Arirang tidak punya arti secara langsung yang bisa diterjemahkan. Lagu ini bercerita tentang seorang perempuan yang harus merelakan kepergian seorang lelaki yang disayanginya. Tidak ada yang pernah mengenal pembuat lagunya juga, tapi kemudian lagu ini menjadi sangat populer saat Korea berada di bawah kolonialisasi Jepang. Saat itu memang banyak pasangan yang harus sama-sama merelakan diri untuk tidak bersama sementara waktu, atau mungkin juga selamanya.

Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa lagu perpisahan yang tragis ini bercerita tentang terpisahnya Korea menjadi dua bagian, Korea Utara dan Korea Selatan. Kala itu konflik kepentingan dan perbedaan dua ideologi besar dunia mengorbankan Korea terpecah. Korea Utara dipengaruhi paham komunisme dari Tiongkok sedangkan Korea Selatan dipengaruhi liberalisme, turunan dari paham Amerika Serikat.

Kalau kamu tertarik untuk mengetahui sejarah konflik di antara kedua negara ini, kamu bisa coba menonton film Taegukgi: The Brotherhood of War . Film yang cukup menarik dan cukup gamblang tentang konflik kedua negara bersaudara itu. Tentunya dengan sedikit ‘bumbu’ ala drama Korea.

Seorang perwakilan dari National Folk Museum of Korea mengatakan, “Arirang merepresentasikan semua penderitaan sekaligus kebahagiaan rakyat Korea. Lagu itu tertanam sangat dalam dalam hati rakyat Korea sebagai DNA kebudayaan.” Tak heran jika lagu ini selalu sangat indah dinyanyikan. Sekali lagi bukan hanya karena nada, Arirang terdengar sangat bermakna karena rasa.

----
Artikel ini dimuat di website resmi Indonesia-Korea Youth Exchange Program

Kamis, 05 Februari 2015

So, What Do You Want To Do?

Yesterday, I had my very first job interview.

A front-man told me to wait for Pak Raman in a room. In that room, there was a big table and 6 office chairs. I sat on a chair the nearest by the door. While waiting, I filled a document gave by a man from front office.

He greeted me before I can realize that he came in to the room. Pak Raman came in with his widest smile. He wore black 'sorban' and a nice batik shirt from Jogja that have Prabu Yudhistira character on it. He is an Indian with his cool english-bahasa indonesia accent. He is absolutely a very nice guy.

We started the conversation. The first question for me is, 'what do you want to do?' Then I told him that I got a recommendation from my brother's friend. He said that digital media industry have a very good future. And it will be great if I can start my first job in that industry.


The conversation went very good, he shared about the digital industry. He totally knew that I still new and know nothing about digital media industry. Pak Raman asked me the same question, 'what do you want to do?' I told him that I can write well, I told him that I got the best paperwork when I study in my university. I can analyze thing, and I love to do research.

Then he told me about his carrier history. He started his first job as a media planner, and now he lead a digital media company. And again, he asked me the same question, 'what do you want to do?' I stopped. I was thinking whether I gave a bad answer to his question. Why he kept ask me the same question, three times!

That man knew that I confused and he started to speak wisely, "for now, forget what you can do well. I ask you what you want to do. What I see from a young talent, like you, is not just a good grade or what he can do well. I look for a potential. Yes you have a potential, but you need to perform your potential in the future. Your GPA, your CV is your past that you have to prove with performance."

"I know that you had good performance from your CV. Your recent performance will 'just' be a potential for the future and your standard, poof! will rise. You have to do better than before, because now everyone knows that you have a good potential. It will be like that over and over again. You need to perform better, 'cause you know that your standard now is even higher."

"How can you improve your standard? He continued. By your attitude to response criticism. When you got critics, all you need is to listen carefully. Then choose which one can build you up, which one that you can just leave it. If you are trapped in the criticism, you will not going anywhere. You will sink."

"Now, again, forget about what you can do well. I don't need to ask you what you can do well, I can read it from your CV. I just wanna know what you want to do. If you can tell me about it and I know what you want to do, I can consider where I will put you in the team. If you feel you are good in A, but you want to do B, it's okay. Because, if you want, you will put your extra effort on it even if you are not good (yet)."

I was amazed by his words. I forgot that this is a job interview. I got a big lesson from my (maybe) future boss. I realize again that life is a dialectics. I will always face thesis and antithesis. Its a circle of life, so I need to always move. I have no limit, except I limited myself. Life have no edge. The edge is when I'm not alive anymore.

Then he asked me once again
"So what do you want to do?"

Jumat, 30 Januari 2015

Gara-Gara Panakawan


DI Sriwedari jadi Petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya jualan ciu cangkol 
dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
Nong ji nong roo... 

***
Untuk yang belum kenal, Semar dan ketiga adanya : Petruk, Gareng dan Bagong, dalam cerita pewayangan sering disebut dengan Panakawan (baca : ponokawan). Mereka adalah pelayan para ksatria. Keempat tokoh ini adalah penanda utama kisah pewayangan Nusantara. Mereka adalah pembeda bagi cerita wayang Nusantara dengan kisah pewayangan dunia lainnya. Merekalah yang membedakan wayang Nusantara dengan tayangan televisi yang sedang heboh disaksikan masyarakat Indonesia. Kamu tidak akan pernah menemukan sosok jenaka Semar, Petruk, Gareng dan Bagong selain di kisah pewayangan asli Nusantara.


Panakawan (atau banyak juga yang menyebut Punakawan) pertama dikenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu tokoh paling penting dalam penyebaran Agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Aku masih sangat ingat, tertulis di buku pelajaran sejarah, penyebaran Islam di Indonesia kebanyakan melalui jalan kebudayaan. Sunan Kalijaga menggunakan kisah pewayangan untuk menyebarkan paham dan ajaran Islam ke masyarakat Jawa.

Paling tidak ada dua kisah besar pewayangan, Ramayana dan Mahabharata. Kedua kisa ini pertama kali dibawa dari kebudayaan Hindhu-Budha dari India. Kita semua tahu kalau Nusantara dulunya menjadi tempat kejayaan kerajaan-kerajaan besar Hindhu-Budha karena letaknya yang strategis.

Belum ada listrik, bahkan belum ada sepeda, apalagi wifi – wayangan menjadi salah satu dari tidak banyak pilihan hiburan yang dimiliki masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu. D.I Yogyakarta, di tempatku tinggal, masih sering diadakan pertunjukan wayang kulit. Cukup banyak juga orang yang datang menyaksikannya. Tetapi biasanya dipenuhi oleh orang-orang paruh baya, atau malahan anak-anak kecil yang dibawa serta oleh orang tuanya. Sangat sedikit anak muda yang tertarik untuk menghibur diri dengan datang ke pertunjukan wayang kulit. Anak muda lebih suka menghabiskan semalam suntuk di cafĂ© dengan meminum milkshake atau cocktail daripada sekadar menghirup teh manis panas, atau wedang jahe sembari duduk lesehan mendengar uyon-uyon dari para pesinden dengan alunan gamelannya (pun berlaku untuk penulis)

Gara-gara (baca: goro-goro) menjadi babag paling menarik dalam sebuah pagelaran wayang kulit. Gara-gara ditandai dengan kemunculan para Panakawan. Dialog dalam gara-gara bisa sangat menyimpang dari keseluruhan cerita wayang pada malam itu. Semacam waktu istirahat dalam pertunjukan semalam suntuk itu. Sangat ringan, tetapi membawa pesan yang dalam. Biasanya juga, dhalang menyampaikan pesan moral lewat perbincangan jenaka di antara Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Dalam gara-gara jugalah Sunan Kalijaga memasukkan da’wah untuk menyebarkan ajaran Islam. 

Kini panakawan menjelma dalam berbagai macam wujud. Banyak yang membuat bentuk visualnya menjadi sangat kekinian. Tentu untuk mendekatkan keempat tokoh ini kepada kaum muda di Nusantara ini. Karena buatku menjadi penting untuk mengetahui bahwa Panakawan adalah empat tokoh penting yang jadi penanda kisah pewayangan Nusantara. Paling tidak kamu bisa dengan yakin bercerita apa sebab kisah wayang dari Nusantara dengan yang beredar di dunia. Jawabmu, "Beda gara-gara Panakawan!"


Panakawan, buatku mengajarkan banyak hal. Salah satunya adalah menertawakan kesusahan diri. Menerima segala manis dan pahit kehidupan untuk menjadi pribadi yang menerima kenyataan dan berusaha menghadapinya dengan ringan hati. Nilai hidup yang kebanyakan keluarga Jawa ajarkan turun temurun: pasrah dan nrimo.

-------------------------------------------------
sumber gambar :