Dari sepanjang waktu selama aku
hidup, kali ini benar-benar titik di mana aku tidak punya kepastian aku harus
melakukan apa setelah ini. Biasanya aku selalu sudah punya tujuan konkret
supaya bisa aku menyiapkan langkah-langkah menuju ke sana. Tapi kali ini, yang
bisa aku pastikan hanyalah aku menyiapkan langkah tanpa tujuan yang pasti.
Terlalu banyak destinasi yang ingin aku capai, aku belum yakin di mana arah
mana yang harus aku tuju.
Sekarang aku masih mahasiswa
tingkat akhir, sedang mengerjakan skripsi. Aku sangat semangat dengan tugas
akhirku ini karena aku mengerjakan sesuatu yang benar-benar aku suka. Aku berusaha
mencurahkan seluruh kemampuan terbaikku untuk ini. Aku ingin segera
menyelesaikan dan melihat akan jadi seperti apa nantinya skripsi ini.
Tapi di balik itu aku tidak tahu
akan melakukan apa setelahnya. Skripsi, sidang, wisuda, lalu apa? Kerja? Kerja apa?
Sekolah lagi, uang dari mana? Beasiswa? Bisa saja. terus, pertanyaan-pertanyaan
itu terus berputar di dalam benak. Banyak pilihan, terlalu banyak yang ingin
aku lakukan. Tapi nyatanya, aku harus memilih, aku harus menentukan.
Krisis. Berasal dari kata dalam
Bahasa Yunani, “Krisis”. Artinya saat
penentuan.
Katanya aku sedang dalam masa
krisis. Berarti ini saatnya aku harus menentukan. Keputusan yang akan menentukan
kelanjutan dari perjalanan kehidupanku. Pada akhirnya hanya aku sendiri yang
bisa menentukan kelanjutannya. Hanya aku sendiri yang bisa melewati krisis
dalam fase ini. Memilih kerja, sekolah lagi, di mana, bagaimana caranya? Hanya aku
yang bisa menjawabnya. Bukan orang lain.
Semua orang pasti akan mengalami
masa krisis. Aku pun yakin jika usia ini adalah masa rawan krisis. Masa di mana
aku harus dipaksa menjadi dewasa, dengan dan tanpa bantuan orang lain. Ini masa
di mana kamu akan sering bernostalgia. Nostos,
masa lalu. Algos, menderita.
Bernostalgia berarti kamu merasa menderita untuk bisa kembali ke masa lalu.
Saat ketika kamu merasa senang dengan penderitaanmu untuk kembali ke masa lalu.
Saat ketika kamu ingin kembali
pada romantika masa lalu. Masa di mana semua sudah siap di tempatnya. Bangun
pagi menemui meja makan sudah siap sarapan pagi, disuapi ibu. Sekolah, belajar
dan dituntun oleh para guru. Istirahat, berkumpul di kantin bersama
teman-teman. Jam dua siang saatnya tidur siang. Mandi lalu pergi bermain bola
di lapangan hingga adzan Maghrib menandakan waktunya pulang. Semuanya jelas,
sangat terang. Tidak perlu ragu dengan apa yang dilakukan
Tapi inilah hidup. Tidak mungkin
selamanya berjalan dalam terang. Bahkan dalam sehari pun ada perubahan dari
siang ke malam. Itu proses alamiah. Terang dan gelap.
Katanya aku sedang berada dalam
kegelapan. Sedang berusaha menerka arah mana harus melangkah untuk menuju
terang. Tanpa cahaya, bukan berarti aku jadi takut untuk melangkah maju. Tanpa bergerak,
aku akan selamanya ada dalam gelap, tanpa terang. Melangkah maju, ke mana pun
arahnya pasti akan membuatku mendekat pada terang yang lain. Caranya adalah
dengan tetap melangkah, biarkan waktu yang menemanimu berjalan.
Hanya dalam gelap kamu bisa
menemukan terang dan untuk menjadi terang kamu harus lebih dulu menemukan
kegelapanmu. Sesungguhnya terang dan gelap adalah satu kesatuan dalam dua
bentuk yang berbeda. Karena dengan menjadi terang kamu harus menemukan
kegelapan yang lain. Sehingga cahayamu berguna bagi yang lain. Juga supaya
hidupmu tidak selalu terang. Percayalah, hidup dalam terang terus menerus akan
membuatmu bosan. Kamu juga tidak berharap bahwa setiap hari akan selalu terang,
bukan? Selalu ada secercah terang dalam gelap dan setitik gelap dalam terang. Tinggal
kamu merespon akan jadi apa kamu ketika ada dalam gelap dan terang.
Jadi artinya, keadaan gelap ini
akan memaksaku menemukan terang yang lain. Aku berharap agar aku bisa segera
menemukan terang itu. Banyak orang juga berkata kalau aku pasti bisa
menghadapinya. Katanya.