Hawa segar yang
kadang ditiup angin dingin di sekitaran lereng Gunung Merapi selalu menemani
langkah Mbah Wijiharjo setiap harinya. Mbah Wijiharjo tinggal di Dusun
Ngetehan, letak tepatnya ada di Pakem, Sleman, tidak terlalu jauh dari Museum
Gunung Merapi. Dusun tempat tinggal Mbah Wijiharjo ini adalah sentra tanaman
bunga krisan dan juga letak peternakan kambing etawa yang cukup terkenal.
Mbah Wijiharjoharjo,
begitu ia diminta untuk disebut, walaupun sebenarnya ia bernama Karsih. Wijiharjo
adalah nama suaminya. “Lha kalau sudah
jadi suami istri kan nama istrinya ikut nama suami,” kata Mbah Wijiharjoharjo
menjelaskan menggunakan Bahasa
Indonesia yang fasih dengan logat khas pedesaan Jawa. Tidak banyak orang seusia
Mbah Wijiharjo yang tinggal di pedesaan yang dapat berbahasa Indonesia dengan
cukup lancar. Ia bisa dengan baik berbicara bahasa Indonesia karena sewaktu
kecil sempat bersekolah dan lulus dari Sekolah Rakyat[1].
Mbah Wijiharjo tidak ingat berapa usianya saat ini, tapi ia masih ingat betul
kalau tahun 1950 adalah tahun ia lulus dari Sekolah Rakyat.
Mbah Wijiharjo tinggal di sebuah rumah kecil, sudah bertembok tapi terasa lembap di dalamnya. Mungkin karena kurang ada cahaya matahari yang bisa masuk ke dalam rumahnya. Dapurnya masih tradisional, tanpa kompor. Hanya ada tungku kayu untuk memasak dengan lubang di atapnya untuk jalan keluar asap dari pembakaran kayu. Rumahnya hanya ada tiga ruangan, gelap, dan kamar mandinya ada di luar rumah dekat sumur. Perabotnya banyak yang sudah tampak rapuh. Rumahnya memang bukan seperti rumah nyaman yang biasa dibayangkan oleh orang kebanyakan, tapi di sinilah ia tinggal bersama dengan suaminya.
Ketika masih muda
dulu, suami Mbah Wijiharjo adalah seorang tukang kayu. Seorang tukang kayu yang
melanglang buana kata seorang tetangganya, Bu Sigit, yang sambil bergurau minta
dipanggil sebagai “Kanjeng Ratu”.
Kata Kanjeng Ratu juga, usia suami
Mbah Wijiharjo sama dengan Pak Harto jika masih hidup sekarang. “itu suaminya
simbah lahirnya sama persis sama taun lahirnya Pak Harto,” ucap Kanjeng Ratu dengan bersemangat. Sejak
dulu Mbah Wijiharjo sering tinggal sendiri di rumah selama suaminya bekerja
berpindah-pindah tempat ke Sumatera, Kalimantan, dan sempat cukup lama menetap
di Cilacap. Mbah Wijiharjo adalah istri kedua dari suaminya. Mereka tidak
dikaruniai anak dari pernikahannya ini. Oleh karena itu maka keduanya
mengangkat seorang anak. Ditambah dengan seorang anak dari pernikahan pertama
suaminya jadilah Mbah Wijiharjo tinggal berempat, dulu.
Sekarang ini Mbah
Wijiharjo selama sudah lebih dari lima tahun belakangan harus memanggul “beban”
yang lebih, setelah suaminya jatuh sakit karena usianya yang sudah sangat
renta. Sekarang sang suami hanya bisa terbaring di atas dipan kayunya dengan
alas kasur kapuk yang sudah semakin tipis. Keadaannya yang sudah seperti itu
membuat mbah Wijiharjo merasa sedikit terbebani. “Ya kadang suka menyesal,”
katanya berkomentar mengenai keadaan suaminya. Penyesalan akan kondisi suaminya
sekarang sama sekali tidak mengurangi semangat setianya. Kejujurannya tentang
perasaan itu toh tidak juga membuat
Mbah Wijiharjo kemudian menyerah pada keadaan. Ia masih terus setia mengurus
suaminya sambil terkadang ditemani oleh anak angkatnya.
Setiap hari Mbah
Wijiharjo harus mengerjakan tugas rumah tangga sendiri. Mulai memasak makanan
untuk dirinya, mengambil air dari saluran air di depan rumahnya, sampai mengangkut
kayu untuk dikeringkan yang selanjutnya dijadikan kayu bakar di dapurnya. Mbah
Wijiharjo juga harus meladeni suaminya. Menyiapkan bubur bayi untuk makan
suaminya setiap siang dan sore, sampai mengantarkan ke kamar mandi. Semuanya
dijalani oleh Mbah Wijiharjo demi bakti pada suami yang dicintainya, suami yang
berdua mereka telah mengikatkan janji sehidup semati.
Bagaimana pun
juga, Mbah Wijiharjo tetap menjalani kehidupannya tersebut dan yang penting
tetap menikmatinya. Mbah Wijiharjo ini adalah seorang yang sangat murah senyum,
kalau istilah Jawanya sumeh. Dalam
setiap cerita yang dilontarkannya selalu saja ada senyum yang menunjukkan
garis-garis keriput di wajahnya tampak jelas terlihat. Garis wajah yang menggambarkan
ketegaran dalam hidupnya. Teringat ketika Mbah Wijiharjo bercerita tentang
ketika harus menolong suaminya pergi ke kamar mandi. Karena suaminya sudah
tidak dapat lagi beraktivitas sendiri, Mbah Wijiharjo harus selalu membantunya
melakukan apapun. Mbah Wijiharjo sering tidak kuat ketika harus memapah suaminya
itu seorang diri ke kamar mandi. “Ra
kuat. Trus yo mung nyendher tembok karo bengak-bengok njaluk tulung karo
tanggane,” kata Mbah Wijiharjo lagi-lagi dengan ditemani tawa kecil
darinya. Setianya terhadap suami seharusnya bisa jadi panutan nyata bagi semua
orang yang mengenalnya.
Perasaan miris muncul ketika menemukan banyak
kesetiaan yang ditunjukkan oleh seorang “cilik”,
seperti Mbah Wijiharjo. Kepada suaminya, ia masih tetap mencintai dan memegang
janji setianya tanpa pamrih. Padahal di dalam negeri yang sama, para
penguasanya selingkuh terhadap rakyatnya sendiri, ironis. Janji yang terucap
dulu ketika berusaha duduk di kursi pemerintahan hanya berhenti sampai di sana,
sampai pada sekadar ucapan. Tak lebih. Janji setia untuk menjadi pelayan
malahan menjadikan diri sebagai penampung harta kekayaan. Para penguasa yang
selingkuh dengan uang yang membuat lupa pada ucapannya tersebut.
“Nek wong gedhe konangan
selingkuh malah kondhang
Nek wong cilik sing konangan diarak telanjang
Apa kaya ngene jeneng negara berjuang
Segala sesuatu ditentukan dengan uang”[2]
Janji bukanlah
suatu hal yang mudah untuk ditepati, tapi bukan berarti setiap orang layak
menjadikannya bisa dikebiri. Membuat sebuah janji bukanlah hal yang mudah,
tetapi berusaha untuk menepati janji akan jadi jauh lebih sulit. Sosok Mbah
Wijiharjo mengajarkan tentang kesetiaan dan usaha untuk menepatinya. Sikap yang
sudah semakin miskin tinggal dalam hati kebanyakan orang di masa ini.
Beruntunglah masih bisa menjumpai Mbah Wijiharjo yang membuktikan setianya,
menunjukkan bakti seorang istri pada suami yang tidak lekang dimakan waktu,
tidak habis dihapus usia.