Senin, 19 Maret 2012

Brani Turun ke Jalan, Rapatkan Barisan

Hari ini, setelah sekian lama tinggal di Negara yang menjunjung tinggi demokrasi ditunjukkan dengan banyaknya demonstrasi masyarakatnya, akhirnya saya mendapat kesempatan melihat demonstrasi tersebut. Yah walaupun agak terlambat, tapi saya masih bisa melihat sisa-sisa keramaian yang disebabkan oleh demonstrasi mahasiswa tersebut.


Demonstrasinya adalah tentang menuntut pasangan pemimpin Negara SBY – Budiono mundur dari jabatannya karena dianggap telah gagal memajukan Indonesia. Issue yang diangkat adalah tentang kenaikan harga BBM yang akan dimulai per tanggal 1 April 2012.

Bukan tentang setuju atau tidak setuju saya dengan kebijakan dari presiden itu, saya lebih ingin berbagi tentang apa yang saya rasakan terhadap apa yang disebut mengekspresikan aspirasi terhadap pemerintah, demonstrasi.

Sebenarnya kadang saya merasa kasihan dengan para mahasiswa yang berpanas-panas berdiri, berteriak di bawah terik matahari. Masih lagi menambah panas dengan membakar. Membakar ban bekas, membakar foto sang pemimpin, membakar amarah pasukannya. Usaha-usaha seperti itu sampai sekarang masih tampak sangat sia-sia. Entah karena pemerintah yang kelewat tutup telinga, dan matanya. Atau memang karena cara menuntut dengan berteriak itu sudah tidak relevan. Untuk didengarkan dan diperhatikan kan juga tidak selamanya harus dengan berteriak.

Sekarang coba dibandingkan, setelah demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto mundur dari jabatannya, ada berapa banyak demonstrasi yang berhasil mengubah pemikiran para pembuat kebijakan? Sejauh yang saya tau ada lebih banyak demo yang tidak berhasil mencapai tujuannya daripada yang berhasil. Bahkan saya mencapai kesimpulan kalau demonstrasi itu hanya akan menghasilkan dua kemungkinan : tidak didengarkan atau ricuh. Kalau demonya damai, tidak didengarkan. Kalau tidak didengarkan kemudian menghalalkan kegiatan destruktif. Intinya, demonstrasi tidak menghasilkan keuntungan.

Orang-orang yang berdiri di jalan, di barisan depan, yang mengaku mahasiswa atau orang yang peduli dengan keadaan negaranya. Atau mungkin peduli dengan lima puluh ribu rupiah?

Bekas-bekas "peperangan"


Pak Pulisi : Mau jadi pahlawan? pahlawan kesiangan lo!

Solusinya? Jelas kalau menurut saya demonstrasi bukanlah suatu solusi. Apalagi jika harus dengan cara merusak. Banyak cara yang bisa dicari atau mungkin diciptakan. Tapi sekali lagi kerusuhan dan membakar ban itu tidak menyelesaikan masalah.

Kalau saya boleh berbagi, mungkin boleh kalau rakyat negeri ini mulai dengan memercayai pemerintah. Kenaikan harga BBM bukan sesuatu yang pantas dilawan dengan lemparan batu. Kalau semua mau mencari tahu alasan kenapa BBM dinaikkan, bisa saja menemukan sisi positifnya. Kalau setiap kebijakan pemerintah sudah dilawan dengan berbagai alasan, tidak aka nada kepercayaan, dan tidak ada kerja sama juga antara pemerintah dan rakyat.

Harusnya orang-orang yang berdemonstrasi itu bisa berefleksi juga, karena bahkan menaati peraturan tentang membuang sampah dan lampu lalu lintas saja banyak orang yang menolak. Itu kan tidak sulit.



Kamis, 15 Maret 2012

Menciptakan Surga

Ini pemikiran yang saya dapat ketika mengikuti kuliah Sosiologi Agama. Maaf kalau mengganggu keimanan, dan mungkin agak berpemikiran sekuler. Tapi bukan berarti saya tidak beragama. Saya tetap berdoa dengan cara saya sendiri kepada Tuhan yang sama dengan Tuhan yang kamu tujukan doanya.

Kuliahnya adalah tentang teori-teori dari para pemikir sosial. Bagaimana cara pandang mereka terhadap agama. Empat raksasa-raksasa teori sosial : Auguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber dan Karl Marx punya cara pandang yang berbeda mengenai agama. Karl Marx tentang agama itu candu dan Max Weber tentang etika protestan mungkin yang paling terkenal. Tapi saya paling tertarik pandangan Auguste Comte terhadap apakah itu agama, khususnya mengenai hidup kekal.

Dalam salah satu bagian dari pemikirannya, Comte berpendapat bahwa kehidupan kekal itu adalah hidup dalam kenangan. Seorang itu bisa saja meninggal, mati raganya tapi kebanyakan akan tetap hidup dalam kenangan orang-orang di sekitarnya.

Kemudian saya mencoba menghubung-hubungkan dengan konsep surga dan neraka yang selalu dijelaskan secara imajinatif. Surga tempat yang nyaman di awan ke tujuh, pakaian serba putih dengan pintu gerbang emas besar yang dijaga oleh seorang kudus, tempat di mana orang kehilangan nafsu duniawinya dan hidup bahagia selamanya. Neraka yang panas, merah, penuh dengan penyesalan dan teriakan kesakitan dari orang-orang yang tidak pernah berbuat baik bagi sesamanya. Tempat di mana orang-orang yang sudah merasakan kebahagiaan duniawi menghabiskan sisa hidupnya yang selamanya itu.

Ide-ide orang tentang konsep surga dan neraka ini tidak pernah memuaskan rasa penasaranku terhadap apa itu surga dan apa itu neraka. Karena bagaimana pun juga mengenai “when you never try you’ll never know” itu masih tetap tinggal dalam pemikiran setiap manusia. Walaupun ada di Alkitab dituliskan mengenai “berbahagialan orang yang tidak melihat namun percaya” masih sulit rasanya. Tapi sekali lagi bukan berarti saya menolak keagamaan saya, saya tetap merasa agama ini penting bagi saya. Hanya sisi penasaran saya juga butuh dipuaskan kan?

Kalau hidup kekal itu adalah hidup dalam kenangan orang lain, berarti hidup kekal surga itu timbul dari kenangan-kenangan baik seseorang dalam ingatan orang lain. Kenangan-kenangan tentang semangat berbagi, kesetiaan, kepahlawanan, dan hal lainnya yang dianggap baik oleh si pemilik kenangan. Begitu pula dengan neraka. Neraka adalah tempat di mana kenangan buruk seseorang menetap dalam ingatan orang lain. Perilaku-perilaku yang tidak sesuai keinginan dan dianggap buruk oleh si pemilik ingatan. Ingatan berdasar kebencian, sirik, dan lain sebagainya.

Saya lebih percaya dengan konsep neraka dan surga yang satu ini. Daripada surga dan neraka yang imajinatif yang biasa dikenalkan pada saya sampai beberapa waktu yang lalu. Mengapa saya lebih percaya pada konsep ini? Karena bagaimana pun juga saya pernah punya kenangan yang artinya saya bisa jadi pernah mengalami surga dan neraka dalam diri saya sendiri. Artinya surga dan neraka itu bukanlah sesuatu yang pasti. Itu adalah konsep yang dapat diciptakan, yang artinya bisa jadi seorang yang sama itu tinggal dalam surga kenangan A tapi tinggal di neraka milik D. sama sekali tidak menutup kemungkinan karena pengalaman orang tidak akan sama, kalau pun sama pasti ada perbedaan cara memaknainya.

Saya bisa membuat surga sendiri bagi orang-orang yang saya kenal, dan bisa jadi saya memilih untuk tidak menciptakan neraka untuk semua orang. Biarlah mereka hidup kekal dengan cara yang baik. Yang jelas surga yang saya ciptakan sudah ditinggali oleh banyak orang, salah satunya Bapak.