Menjadi
presiden sebuah negara besar bukan perkara mudah. Indonesia adalah negara yang
sangat besar. Sebuah negara dengan luas hampir dua juta kilometer persegi, dan
dengan segala gunung, sungai, laut. Jumlah penduduknya terbanyak keempat
sedunia.
Dengan kekayaan
sebesar itu, dan dengan rakyat sebanyak itu tentu jabatan presiden dan wakil
presiden Indonesia adalah dua orang yang tentu punya tanggung jawab yang besar
pula. Akan tetapi Presiden dan Wakil Presiden hanyalah dua orang dari dua ratus
empat puluh juta masyarakat Indonesia.
Memimpin Indonesia
adalah kolaborasi. Bekerja sama membangun harmoni dengan semua lapisan dan
golongan. Tidak sepatutnya – saya, kamu, kita – berharap terlalu tinggi pada
seorang Presiden saja tanpa memulai untuk bekerja keras lebih dulu. Dalam pidato
kenegaraan pertamanya, Bapak Presiden kita yang baru pun mengucapkan, “Kita
tidak akan pernah mencapai kemerdekaan jika tidak bekerja keras”. Ya,
sesungguhnya ia adalah orang yang mengerti betul bahwa tugas memperbaiki negara
ini bukan hanya ada di tangannya seorang. Ia sebut “KITA” bukan “KAMI” atau “SAYA”.
Ia sadar betul bahwa ia adalah harapan baru yang sebenarnya bertugas untuk
mengajak semua rakyatnya mau memulai bekerja bersama, melakukan kolaborasi.
Kesadaran
itu direalisasikan dengan berusaha merangkul seluruh masyarakat Indonesia. Ia
menghancurkan batas yang selama ini kokoh berdiri di antara masyarakat dan
pemimpin negaranya. Ia dobrak habis pembatas tersebut mulai dari hari pertama
ia dilantik menjadi presiden. Ia sadar betul bahwa ia bukanlah seorang manusia
super yang bisa menyelesaikan seluruh permasalahan di negeri sebesar Indonesia
ini. Yang dilakukannya adalah menanam kepercayaan rakyat sebesar-besarnya pada
masyarakat seluas-luasnya.
No one can do
everything, but everyone can do something. (Immortal Technique)
Jokowi
memang adalah tokoh utama dalam lakon kali ini. Jokowi, dengan tidak
mengecilkan nama seorang Jusuf Kalla, adalah seorang yang akan mengemban
harapan dari seluruh rakyat Indonesia dan mungkin juga masyarakat dunia di
pundaknya. Dia yang dipercaya akan menjadi contoh pembawa perubahan bagi Indonesia
khususnya. Tapi alih-alih berbicara banyak tentang pemimpin, aku lebih memilih
memusatkan diri pada mereka yang dipimpin.
Menurutku penekanannya
dalam babak baru Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pada
siapkah kita dipimpin? Karena siapapun yang memimpin Indonesia, ketika kita
menjadi masyarakat yang tidak siap dipimpin, siapapun tidak akan berhasil
memimpin Indonesia.
Jabatan presiden
adalah hanya akan bertanggung jawab selama lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Sedangkan masa depan Indonesia toh tidak akan berhenti hingga lima sampai
sepuluh tahun ke depan saja bukan? Masa depan Indonesia tentu lebih jauh dari
itu. Terlalu naif kupikir kalau meletakkan seluruh tanggung jawab perubahan
pada satu orang. Karena, sekali lagi, masa depan Indonesia jauh lebih besar
dari tanggung jawab satu orang saja.
Dengan menyatakan
diri siap dipimpin, berarti kita memberikan kepercayaan – bukan membebankan
harapan – pada seorang presiden. Kita mau saling mendukung, mengkritik jika
perlu dengan tujuan yang satu. Kita bisa memulai mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan kecil untuk membantu Presiden menyelesaikan tanggung jawab
besarnya
Kalau proses
memajukan bangsa ini kita setujui sebagai suatu kolaborasi, toh Presiden ‘hanya’
akan memegang peranan yang sedikit lebih besar dari seluruh rakyat Indonesia. Kita
sebenarnya punya tugas, punya cita-cita yang sama untuk memajukan Bangsa
Indonesia.
Tidak ada
yang bisa dijanjikan dari sekadar “harapan baru”, kecuali dengan mulai
bergerak. Tidak pula ada yang bisa dipastikan dari sekadar ide revolusi mental,
kecuali dengan mulai berubah.
Selamat,
Pak Jokowi – JK atas pelantikannya. Kami siap dipimpin!