Seminggu yang lalu, selama lima hari, saya mengikuti sebuah
rangkaian acara Nation Building Beswan Djarum di Semarang. Selama lima hari itu
juga saya bertemu dengan lima ratusan teman dari seluruh Indonesia yang
sama-sama menjadi penerima beasiswa dari Djarum Foundation.
Ya, saya bangga berkesempatan menjadi salah satu bagian
dari Beswan. Sejak dari SMA saya sering melihat iklan Beswan di televisi,
dan sejak saat itu saya selalu ingin bisa bergabung. Ternyata setelah melalui
beberapa tes, saya benar bisa mewujudkan lagi satu keinginan saya. Yang membuat
saya lebih senang adalah paling tidak selama setahun ke depan, saya tidak
(terlalu) tergantung pada curahan finansial dari Ibu dan kakak kakak saya. Sejak Bapak saya hanya bisa dirindu tanpa pernah kembali, saya selalu ingin untuk bisa belajar mandiri. Tidak tergantung.
Selama lima hari saya dan 500an teman yang lain mendapat
pengalaman yang menyenangkan. Selalu bersama teman, tidur di hotel mewah, naik
bus yang selalu dikawal voorijder. Pengalaman yang mungkin untuk
sebagian peserta adalah yang pertama kalinya.
Di balik kegembiraan dan euforia selama mengikuti Nation
Building sebenarnya ada kegelisahan dalam pemikiran saya. Lagi-lagi saya merasa
latar belakang ilmu sosiologi yang saya pelajari ini membuat saya skeptic dan
cenderung sinis. Kadang saya merasa ilmu yang saya pelajari ini sangat “kiri”. Punya
mimpi membantu orang-orang tertidas sekaligus orang-orang yang sewenang-wenang.
Hal-hal kecil yang bisa jadi kadang mengganggu tetapi saya syukuri bisa peka
terhadap hal tersebut. Untungnya adalah selalu ada tuntutan untuk selalu
menjadi obyektif dalam memandang semua hal.
Akan saya bagikan kegundahan dan kegelisahan yang saya
rasakan itu. Ilmu Sosiologi yang saya pelajari sangat dekat dengan ajaran Marx.
Dia adalah salah satu dedengkot ilmu sosial yang sangat brilian, cenderung gila
menurut saya. Dia adalah pejuang kaum proletar, pejuang bagi mereka yang tidak
punya akses untuk mencapai impiannya. Dengan segala daya dan upaya dia
menjelaskan sudut pandangnya tentang kebusukan system kapitalisme yang
mengungkung seorang manusia dalam kerja yang merugikan diri tapi menguntungkan system.
Mudahnya, dia adalah pejuang kaum buruh yang tereksploitasi.
Dalam satu kesempatan, 500 penerima Beswan Djarum ini
dibawa melihat keadaan pabrik rokok milik PT. Djarum di Kota Kudus. Kami semua
berkunjung ke SKT atau Sigaret Kretek Tangan. Pabrik ini berisi ribuan orang
yang bekerja melinting rokok kretek yang menjadi komoditas PT. Djarum. Dimulai dari
hitungan ini :
Ada 5000 orang pekerja dalam satu ruangan SKT setiap shift
kerja yang kesemuanya adalah perempuan. Setiap pekerja dapat membuat kurang
lebih 2000 batang rokok dalam satu shift yang biasanya 6 jam. Kalau asumsinya harga
per batang rokok adalah Rp 800,00 maka setiap orang akan menghasilkan rokok seharga
Rp 1.600.000.
Rp 1.600.000 itu dikalikan dengan jumlah pekerja di SKT,
hasilnya Rp 8.000.000.000 per hari, per shift. Saya tidak tahu pasti ada berapa
shift dalam sehari. Tapi anggaplah ada 2 shift saja per hari, berarti ada
barang seharga Rp 16.000.000.000 Itu adalah hitungan omset kotor PT Djarum setiap HARI. Seminggu?
Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun? Banyak?
Hitung sendiri.
Sedangkan pekerjanya? Kalau sehari dia bekerja satu shift,
dan selama satu minggu dia bekerja 5 kali berarti barang yang dihasilkannya
adalah Rp 1.600.000 dikali 5 kali kerja, Rp 8.000.000 seminggu, Rp 32.000.000
sebulan. Gaji yang didapatnya? Tidak mungkin lebih dari UMR Jakarta sebesar Rp
2.200.000. Ada selisih kurang lebih Rp 30.000.000 dari apa yang dihasilkannya
dengan yang didapatkannya. Setiap bulannya, dan berkali lipat kalau dihitung
per bulan dst.
Sisi baiknya, pabrik SKT di Kota Kudus itu menurutku jauh
lebih manusiawi daripada pabrik-pabrik lain yang pernah saya lihat di TV atau film
semacam “Ruler of The World” karya John Pilger. Pabrik PT. Djarum itu terbuka, udara
dapat dengan mudah bersirkulasi, terang karena masih ada sinar matahari yang bisa masuk.
Masalahnya, memang tidak mungkin kalau pekerja mendapat
upah sesuai dengan apa yang dihasilkannya. Dari mana perusahaan dapat terus
eksis kalau tidak punya profit? Itulah yang membuat saya menjadi lebih gundah
lagi. (Hampir) Tidak ada yang bisa dilakukan dengan system yang terjadi sampai
sekarang.
Dari hitungan kasar tadi saja, bisa dibayangkan besar
profit yang dihasilkan oleh PT. Djarum. Tidak heran kalau mereka menjadi salah
satu perusahaan terkaya di Indonesia. Untuk apa saja profit besar tersebut? Salah
satunya adalah untuk memberikan uang saku bagi para Beswan. Bisa jadi uang
sebesar Rp 750.000 yang kita dapat setiap bulannya, plus bekal lain yang tidak
kita dapat dalam bentuk uang besarannya lebih daripada yang didapat oleh para
pekerja di pabrik SKT. Padahal siapa yang berkontribusi besar bagi perusahaan?
Beswan? Jelas bukan. Kita hanya penerima, belum jadi pemberi.
Apa kita bisa membantu kehidupan para pekerja? Tidak,
secara langsung. Tapi paling tidak kita bisa menghargai kerja mereka dengan
menggunakan beasiswa dengan sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya seperti apa? Cuma pribadi
teman-teman sendiri yang bisa menjawabnya. Dan salah satu kesempatan terbaik
kita adalah dengan menyelenggarakan Community Empowerment secara maksimal. Katanya
kan kita “generasi yang membanggakan bersama Beswan Djarum”. Hahaha :D